Zakat Hanya untuk Memenuhi Kewajiban?

Oleh: Hanif Maulana*
(Sumber: lexica.art)
Tulisan ini tidak membahas apa itu definisi zakat, pembagian, syarat dan ketentuannya. Karena itu semua sudah masyhur di kalangan kita, khususnya bagi pelajar ilmu agama. Jika ingin murajaah, silakan ditinjau kembali buku fikih atau dengan membaca kembali tulisan tentang zakat satu dan dua tahun yang lalu di website ini.

Tulisan ini hanya ingin membahas sebuah pembahasan yang jarang sekali ditilik oleh masyarakat, kenapa Islam mewajibkan membayar zakat? Hingga perperangan pun pernah meletus akibat sekolompok dari kaum muslimin enggan untuk membayar zakat di masa kekhalifahan Abu Bakar. Apa saja adab dan etika batin yang harus diperhatikan saat berzakat? Agar zakatnya benar-benar lillahi ta'ala.

Dikutip dari perkataan Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bab tentang rahasia-rahasia zakat. Bahwa, setiap kata yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali adalah umpama mutiara, setiap lafaznya mengandung makna yang sangat mendalam. Bagaimana tidak, lihat saja seperti Imam Murtadha Az-Zabidi menjelaskan setiap lafaz dari kitab Ihya di dalam karyanya yang berjudul 'Ithaf As-Saadah Al-Muttaqin'.

Ada delapan tugas yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali:

“Ketahuilah, bahwa barang siapa yang menginginkan akhirat melalui zakatnya. maka ia harus memperhatikan beberapa tugas/kewajiban, diantaranya:

Tugas yang pertama, memahami kewajiban zakat dan maknanya serta pola ujian yang diberikan oleh Allah. Kenapa ia dijadikan sebagai salah satu dari pada pondasi agama, padahal ia adalah bentuk pengeluaran harta, bukan termasuk ibadah fisik.


Setidaknya karena tiga makna:

Makna yang pertama, mengucapkan kalimat syahadat berarti melazimkan ke-tauhid-an dan kesaksian untuk meng-esa-kan Tuhan dalam ibadah. Syarat sempurnanya kesetiaan seorang hamba pada Tuhan adalah tidak menyisakan satu pun yang dicintainya selain Dzat yang Maha Esa. Karena sesungguhnya cinta itu tidak menerima adanya sekutu.

Tauhid dengan sekadar ucapan saja tidak cukup, ia harus diuji dengan meninggalkan sesuatu yang dicintai. Salah satu contohnya adalah harta, yang didambakan oleh semua orang. Karena merupakan alat untuk menikmati dunia, merasa nyaman di dalamnya dan menjauh dari kematian, meskipun di dalam kematian itu dia akan berjumpa dengan Yang Maha dicintai. Maka mereka diuji dengan pembuktian atas klaim cinta mereka pada Allah.

Setelah memahami makna di atas, manusia terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama, orang-orang yang sudah memahami tauhid dengan sebenar-benarnya, mereka tidak meninggalkan dan menyimpan satu dirham maupun dinar baginya. Tidak lagi melihat zakat sebagai 'beban kewajiban'. Sampai-sampai dikatakan kepada mereka, “Berapa wajib zakat jika seseorang memiliki harta 200 dirham?” Mereka menjawab, “Bagi orang awam, sesuai hukum syariat, maka wajib atasnya 5 dirham. Adapun bagi kami (level tertinggi), itu wajib memberikan seluruhnya.”

Oleh karena ini, kita mendapatkan Abu Bakar menginfaqkan seluruh hartanya, Umar memberikan setengahnya. Rasulullah bertanya kepada Umar, apa yang kamu sisakan untuk keluargamu? Umar menjawab, seumpama yang saya berikan tadi (setengahnya lagi). Kemudian ditanyakan kepada Abu Bakar, maka beliau menjawab, Saya meninggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.

Yang kedua, level mereka berada di bawah level dibawahnya. Mereka adalah orang-orang yang menahan hartanya (tidak menghambur-hamburkannya), memperhatikan masa-masa genting dan musim-musim kebaikan. Tujuan mereka dalam menyimpan harta adalah untuk berinfak sesuai dengan kebutuhan, bukan untuk bersenang-senang dan menikmatinya. Mengalokasikan harta yang lebih dari kebutuhan mereka kepada berbagai bentuk kebaikan. Mereka juga tidak membatasi diri pada kadar kewajiban zakat saja.

Sebagian kelompok dari tabiin berpendapat bahwa di dalam harta ada sebuah kewajiban lain selain zakat. Mereka adalah Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Atha' dan Mujahid, ulama besar pada masanya.

Yang ketiga (level terendah), adalah orang-orang yang hanya sebatas melaksanakan kewajiban. Tidak melebihi dan menguranginya. Semua orang awam cenderung mencukupkan diri pada tingkat ini karena kekikiran dan rasa cinta mereka terhadap harta, serta lemahnya kerinduan akan akhirat.
(Sumber: lexica.art)
Makna yang kedua, mensucikan jiwa dari sifat pelit, yang mana ia merupakan salah satu dari perkara yang membawa kehancuran.

Sifat pelit hanya akan hilang dengan membiasakan diri untuk bersedekah. Karena rasa cinta terhadap sesuatu -harta misalnya- itu tidak akan sirna kecuali dengan memaksa diri untuk meninggalkannya, hingga kebiasaan itu terbentuk. Maka zakat dalam pengertian ini adalah sebuah penyucian. Penyucian tergantung pada sejauh mana seseorang memberikan hartanya, serta sejauh mana ia merasa gembira saat mengeluarkannya dan senang saat mengarahkan harta tersebut kepada Allah Ta'ala.

Makna yang ketiga, mensyukuri nikmat yang diberikan. Allah Swt. telah memberikan nikmat pada hamba-Nya, baik dalam tubuhnya maupun hartanya. Ibadah-ibadah fisik merupakan bentuk syukur atas nikmat tubuh, sedangkan ibadah harta adalah syukur atas nikmat harta.

Betapa rendahnya seseorang yang melihat orang miskin yang rezekinya telah dipersempit dan sangat membutuhkan bantuannya, namun dirinya tidak mau untuk bersyukur atas nikmat kecukupan yang diberikan kepadanya dan kebutuhan orang lain padanya. Padahal ia hanya diminta untuk mengeluarkan seperempat atau sepersepuluh dari hartanya.

Tugas yang selanjutnya, hendaklah seseorang meremehkan (menganggap kecil) harta yang telah diinfakkannya. Karena jika ia menganggap pemberiannya itu besar, maka akan muncul sifat ujub, bangga akan amalnya. Sedangkan rasa bangga (ujub) adalah salah satu penyebab kehancuran dan dapat membatalkan amal.

Allah Swt. berfirman: "Dan pada hari Hunain, ketika kamu merasa bangga dengan jumlahmu yang banyak, namun jumlah itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun." (QS. At-Taubah: 25).

Dikatakan, “Ketaatan, semakin dianggap kecil oleh pelakunya, maka semakin besar nilainya di sisi Allah. Dan dosa, semakin dianggap besar oleh pelakunya, maka semakin kecil nilainya di sisi Allah.”

Tugas selanjutnya dan yang terakhir, memberikan sedekah kepada orang yang benar-benar bisa memanfaatkan sedekah tersebut, tidak cukup hanya memastikan bahwa penerima termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima. Dalam golongan itu, ada sifat-sifat khusus yang harus diperhatikan agar sedekah lebih bermakna dan bermanfaat.

Jumlah mereka ada enam, diantara enam tersebut adalah:

Yang pertama, orang-orang shalih dan bertakwa yang berpaling dari dunia dan hanya fokus beribadah.

Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu makan kecuali makanan orang salih, dan jangan sampai harta kamu dimakan kecuali oleh orang yang bertakwa.”

Yang kedua, para thalibul ilmi. Hal ini karena sedekah kepada mereka adalah bentuk dukungan dalam mencari ilmu. Dan ilmu adalah ibadah yang paling mulia, asalkan niatnya benar.

Disebutkan bahwa Abdullah Ibnu Mubarak seringkali mengkhususkan kebaikannya (harta dan bantuan) kepada thalibul ilmi. Ketika seseorang bertanya kepadanya mengapa ia tidak menyebarkan bantuannya lebih umum, ia menjawab: “Aku tidak mengetahui kedudukan yang lebih mulia setelah kenabian selain kedudukan ulama. Jika hati mereka disibukkan oleh kebutuhannya, maka ia tidak akan bisa fokus pada ilmu dan tidak mampu belajar dengan sungguh-sungguh. Maka membebaskan mereka dari kebutuhan duniawi agar mereka bisa fokus pada ilmu itu lebih utama.”

*Penulis merupakan mahasiwa fakultas Ushuluddin, jurusan Hadist, Universitas Al-Azhar, Kairo.

Editor: Muhammad Arief Munandar

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top