Bertemu Pujangga
Oleh: Zarvia Li'aunillah*
![]() |
(Sumber: Pinterest.com) |
Suara tembak terus menari di pendengarannya, tangisan, juga teriakan datang menghiasi dinginnya udara. Tempatnya kelam, tak ada yang tahu sekarang malam atau siang, riuh angin disertai siuran bambu hutan melengkapi horornya.
Beberapa kilauan bahkan guntur menggetarkan tanah kering dan retak jadi hancur, menghantarkannya pada ruang mengerikan, ia lebih garang dari terkaman singa, ribuan kertas mengepakkan lembarannya lalu mendarat tak beraturan, senyuman yang dikenal dulu, kini menjadi tangis.
Sudah puluhan keberapa tubuh ini terhantam jurang? Entahlah, yang ia ingat matanya buta, mungkin juga tubuhnya lumpuh, telinganya terus berdengung, puluhan cambuk berduri sangat girang berlompatan di tubuhnya, satu wujud tinggi besar terus menatapnya tanpa napas, kesakitan yang dialami tak ada bandingan mengenai tatapannya.
"Tuhan, jika ini akhir dari kisahku, tamatkanlah episode ini, kini kuterima kekalahan, aku siap berada di lampu merah." Pintanya pada Zat yang tak pernah meninggalkannya.
Pemuda yang terkenal sangat gagah berani, terlalu asyik, saat ini orang-orang bakal asing memandangnya, bahkan ia juga lupa siapa dirinya, kini tubuhnya kecil, kurus, letih, ia berada dalam kesuraman yang amat, kebingungan yang akut. Setitik cahaya datang dari kejauhan mendekatinya, lambat laun cahaya itu datang menghiburnya dari kesepian, tangan lemahnya melambai, berusaha menggapai cahaya itu.
Dunia penuh dengan kejutan, mungkin saja ini legenda atau saja kenyataan, tiba dan tiba ia berada dalam rumah kayu, beralaskan tanah, beratapkan pelepah, bertiangkan kayu yang kurang kokoh, berkasurkan jerami. Si pemuda heran, dimanakah ia sekarang, akankah ini alam setelah dunia?
“Tubuhmu masih banyak luka, jangan banyak gerak dulu.” Seseorang yang tampaknya seperti gadis, berbaju putih, tapi wajahnya tak dapat dipandang, entah itu matanya yang masih buram atau kepalanya yang masih mumet efek tabrakan yang menghantam kepalanya. “Diamlah, aku akan membantumu mengobati luka ini.”
Tak sanggup bergerak mulut, si pemuda menuruti, kembali memejamkan matanya lagi, “Mungkin kini saatnya aku bertemu malaikat, lalu menjawab soal ujian.” Pikirnya.
Namun ia salah, saat membuka matanya lagi dan tubuhnya sudah tak sesakit kemarin, ia pun bersandar. Kini si pemuda bisa berpikir, tempatnya masih sama, mungkin untuk bertemu malaikat ia harus tinggal dulu di sini. Namun, jika memang ini kuburan, mengapa seluas ini? Kini otaknya benar-benar berfungsi.
Lantunan indah menghiasi pendengarannya. Ia terhipnotis, lupa dengan kebingungannya, lupa dengan luka di kakinya, lupa dengan tulang tubuhnya yang retak. Tiba-tiba telinganya sudah di depan badan pintu, tepat di belakang gadis yang sedang duduk sambil melantunkan ayat suci itu. Si gadis sadar dan segera memakai cadarnya, menyelesaikan bacaan lalu minta permisi padanya. Si pemuda merasa putus asa dan kecewa, barulah kakinya terasa sakit, ia pun hilang keseimbangan hingga jatuh. Seorang pria paruh baya membawa kresek hitam, baru saja masuk satu langkah segera membantu si pemuda, “Aduh anak muda, kan belum sembuh, kenapa harus keluar?” Si Bapak memapah dan medudukka si pemuda di kursi sofa, lantas mengecek keadaannya, memastikannya sudah membaik. “Bapak siapa?”
Seorang paruh baya bernama Syafiq, seorang petani, kadang juga penegur, pemantau, banyak ngomong. Satu lagi, sangat hobi memberi nama si pemuda suka hatinya, kadang Ahmad, Firdaus, Firman, dan lain-lain, tapi penulis suka menyebutnya dengan Ahmad.
Pak Syafiq orang yang sangat ikhlas, berhati baik dan peduli. Soal putrinya, ia tak banyak bercerita, hanya kalimat “Ini anak saya, kami hanya tinggal berdua di rumah ini.” Ketika Ahmad bertanya tentang keluarganya yang lain, Pak Syafiq hanya melengkunkan bibirnya, lalu mengalihkan topik lain.
Pak Syafiq juga seperti ustaz, mengajari Ahmad salat, mengaji, mengisahkan kisah-kisah nabi, orang-orang terdahulu, bahkan ia berhasil membuat Ahmad menangis kedua kali setelah ia terlahir ke dunia.
Seingat Ahmad, dahulu kemana-mana ia membawa segepok uang, tiap malam ia bersenang-senang dengan judinya, kadang sering sia-sia, saat itu ia tak sadar bahwa itu boros, sekarang selembar mata uang kecil pun tak tersimpan di kantongnya, tapi semenjak mengenal Pak Syafiq dan menuruti tiap apa yang diajari, seperti tanam padi, kacang, jagung, memberi umpan hewan ternak, memerah susu, menjual susu ke pabrik keju, lalu Ahmad mendapatkan upahnya, ia merasa sangat cukup.
Ahmad hebat, ngajinya mantap, tali pembatas Qurannya sudah di surah yasin, tahajudnya pun rutin tak perlu pak Syafiq cubit jempol kakinya lagi agar matanya terbuka.
Baca Juga: Maryam Supraba
Melihat perkembangan Ahmad yang sangat meningkat, sudah tentu pak Syafiq sangat bahagia. Untuk merayakan kemenangan ini, ia mengajak Ahmad jalan-jalan sekadar menikmati suasana desa. Sejak awal kali Ahmad tiba disini, selalu membuat ia bingung, banyak pertanyaan yang ingin ia utarakan tentang desa ini, mulai dari kesepiannya, keindahannya, ketenangannya, baginya tempat ini seperti surga, tapi Ahmad tak berani bertanya pada pak Syafiq, karena ia tahu walaupun pak Syafiq banyak ngomong, tapi sangat hemat kata, ia hanya berbicara pada hal yang dirasa penting saja. Akan tetapi, diantara semua pertanyaan itu ada satu yang sangat penting bagi Ahmad yang harus ia tanyakan, "Gimana ya, Pak, aku bisa ke desa ini?" Seketika pak Syafiq terdiam mendengar soalan Ahmad, ia segera memutar arah, berjalan lebih cepat, mengisyaratkan Ahmad tuk mengikutinya, Ahmad yang heran dan penasaran terus mengikutinya hingga ia menuruni beberapa jurang, tiba di jurang yang ke lima pak Syafiq berhenti tepat di samping tumpukan sampah yang sangat banyak
"Jika kamu benar-benar ingin tahu jawabannya, bersihkan dulu seluruh sampah ini, tak tersisa sedikit pun." Ucapnya setelah tiga menit memandangi gunungan sampah. Yang benar saja, Ahmad sudah benar-benar jadi anak yang sangat taat budi. Namun, dalam puluhan menit, tugas bersih-bersihnya berjalan dengan lancar, pak Syafiq tersenyum lebar melihat tekad Ahmad yang sangat, ia rela menerjang tumpukan sampah yang berbelatung demi satu soalan.
"Jadi apa jawabannya?"
"Jawabannya sudah kau dapatkan dari apa yang kau lakukan, di sinilah saya menemukanmu. Di antara tumpukan sampah ini ada sebuah peti yang membuat saya curiga, peti kecil yang tak sesuai ukuran tubuhmu, di situlah kau terbungkus. Kondisimu sangat tragis hari itu, saya kira akan mengambil cangkul untuk menggali tanah lalu menguburmu, namun ternyata nadimu masih berdenyut.” Ahmad terpangah mendengar cerita ini, ia bingung, siapa yang rela memperlakukan dirinya setega ini? Sial, memorinya hilang, sama sekali ia tak ingat hanya ada bayangan-bayang yang ia anggap seperti hantu dalam memorinya.
“Sudahlah, Man, jangan terlalu dipikirkan, sekarang pergilah ke pintu sana, semua orang pasti sedang menunggumu.” Benar, Ahmad tak sadar, ternyata dalam sebuah pohon besar ada pintu kayu kecil yang sangat imut, tapi ia tak menghiraukannya.
“Siapa yang sedang menungguku, Pak? Aku saja tak ingat siapa diriku.”
“Sudah, jangan banyak tanya, kini sudah saatnya kamu tahu segalanya.” Dengan paksa, pak Syafiq terus mendorong Ahmad yang masih kebingungan, ia membuka pintu itu, mendorong Ahmad masuk kedalam ruangan yang bercahaya, terang sekali, lagi dan lagi ia masuk ke alam lain, sebuah ruangan bernuansa putih, dipenuhi alat medis, denyutan monitor ICU yang bernyanyi nyaring di telinga Ahmad. Pak Syafiq benar, banyak orang yang menunggunya disini, “Apakah mereka keluargaku? Atau mereka para penjahat yang ingin menagih siksaanku lagi?” Pikir Ahmad.
Dua minggu berjalan mulus.
Kini Ahmad sudah tak sendirian lagi, ia sudah menemukan keluarganya, memorinya memang hilang tentang keluarga, setelah kecelakaan dahsyat yang menimpanya saat berlomba balap motor sebulan lalu, itulah yang menyebabkan dirinya koma bahkan banyak lupa, hanya kenangan bersama pak Syafiq yang melekat di otaknya, tapi kenangan itu sungguh menjadi obat untuk Ahmad, setelah ia menceritakan pak Syafiq pada kakaknya, ia mengatakan bahwa itu bentuk sayangnya tuhan pada Ahmad untuk menyadarkannya. Ahmad yang dulunya gemar bermain judi, rajin hadiri party diskotik, suka berkeluyuran hingga matahari terbit, bahkan ia lupa kodratnya sebagai muslim, kini semua bersyukur melihat air mata Ahmad mengalir, Allah sudah mengabulkan doa keluarga Ahmad.
Pak Syafiq yang menemukan Ahmad diantara tumpukan sampah, menunjukkan betapa banyak dan sangat busuk dosa yang sudah ia lakukan, tapi pak Syafiq sengaja menyuruh Ahmad untuk membersihkan sampah-sampah itu, toh itu dosanya Ahmad sendiri, bagi Ahmad pak Syafiq adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan agar ia bisa tahu kembali jalur hidup yang sebenarnya.
“Ya Allah, terima kasih karena Engkau tidak pernah meninggalkanku pada jurang yang sangat kelam, terima kasih karena Engkau masih memberikanku kesempatan untuk bertemu pada bulan suci ini. Maafkan aku yang selalu buta, maafkan aku yang selalu tuli, maafkanku yang selalu bisu untuk terus mengingat-Mu.” Ucap Ahmad di atas kursi roda, sambil menikmati cahaya bulan purnama.
Marhaban ya Ramadhan.
*Penulis merupakan mahasiswi tingkat dua jurusan Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Editor: Siti Humaira
Posting Komentar