Maryam Supraba

Oleh: Darwin*
(Sumber: www.singulart.com)
Satu hal yang senang kuingat-ingat, saat dulu berkuliah di Kairo, di antara silih bergantinya musim dan peristiwa panjang datang dan perginya orang-orang, ialah memiliki seorang kawan baik yang dari hari ke hari melihat gurat wajahnya saja sudah cukup memenuhi kantong ingatan.... Itu hal yang baik dan aku selalu senang mengingat hal-hal baik tentangnya. Meski aku harus kehilangannya dalam waktu sangat cepat, saat dia terbujur di atas tilam dengan detak yang tak lagi terdengar.

Kenyataan itu menggarang air mataku setiap kali mendekat ke pembaringannya. Arus darah mengeras dan segala sesuatu menjadi hening saat-saat kematiannya, seperti kehidupan dalam kandungan dan kesunyian membengkak serupa penyakit yang tak akan pernah ditemukan untuknya obat. Sehingga aku kesulitan mengembuskan napasku sendiri; sesuatu yang entah apa seperti berusaha keras menarik nyawaku. Aku juga merasa telah kehilangan kemampuan berbicara dan merangkak dengan kecenderungan menyendiri. Merasa orang-orang yang datang setelah kematiannya mengulang-ulang suaranya di telingaku. Kekalutan-kekalutan itu kemudian memengaruhiku membakar barang-barangnya—kelak aku menyesal, dan kesedihan kala itu seperti penyakit yang merambati tubuh—sepatu, bunga plastik, koper, dan buku-buku, dan kecerobohan itu meninggalkan lebih banyak ruang hampa di hatiku.

Beberapa benda yang terselamatkan kemudian kujual dan sumbangkan atas namanya. Kujejalkan barang-barangnya ke ruang depan, lalu berseranggung dengan wajah lesu dan mata sembab menunggu setiap orang yang datang. Dan setiap kali barang-barang itu diangkut, seolah kepingan demi kepingan dari tubuhku terlepas dan membentuk suatu kehilangan yang akan selalu dikembalikan waktu kepadaku. Aku menjadi pelari dalam lingkaran yang besar, berpacu dengan kenyataan yang tak akan pernah berubah. Demikianlah. Beberapa waktu aku meringkuk memeluk keguncanganku sendiri, sembari harus mengunyah kesedihan yang dia tinggalkan; dia telah membuatku menangis semasa masih hidup dan membuatku menangis setelah kematiannya.

Itu dua belas tahun lalu. Barangkali kau mengira kejadian itu sudah sangat lama dan ingatanku tentangnya berkurang. Hari-hari ini, setiap kali melihat langit, hal pertama yang tebersit di benakku adalah raut wajahnya; suara syekh Tablawi di lorong-lorong Kairo, harum bukhur di toko rempah, dan hiruk-pikuk di jalan-jalan. Semuanya mengambil tempat di benakku. Terkadang aku berakhir dengan menangis mengurai ingatan-ingatan tersebut. Kangen. Haru. Ingin kembali dan mengulang waktu bersama Maryam Supraba.

Suatu kali aku berseteru dengannya. Dia seperti bukan Supraba dan bicara tidak dengan cara Supraba.

“Bahkan saat kau berhadapan dengan anak kecil pun, kecurigaan adalah cara paling buruk untuk bertanya.”

“Aku hanya bertanya kau dari mana saja?”

“Aku bisa pergi ke mana saja dan itu bukan urusanmu.” Ketusnya.

Dia melemparkan tasnya ke atas kursi, lalu hilir mudik di kamar seperti orang menahan kencing. Aku tidak mengerti apa yang telah memengaruhinya, tetapi sesuatu yang buruk tampak tengah melilit jiwanya. Dia menerbitkan kata demi katanya dengan tarikan kulit wajah yang membuatku ngeri, ditambah ruapan bau badan seolah baru saja bangkit dari tumpukan sampah. Aku merunduk dan berpura-pura membaca catatan kuliah. Lalu berbunyi saat tidak tertahankan lagi.

“Empat hari kau tidak masuk kuliah dan menganggap aku salah telah bertanya?”

Supraba mendiamkan pertanyaanku, lalu keluar membiarkan pintu terbuka.

“Urus saja apa yang menjadi urusanmu.” Katanya beberapa lama kemudian—seberpaling dari jendela tempat biasa dia menjemur. Dia lalu menghambur ke kamar mandi. Sementara aku menyalakan dua batang bukhur di dalam kamar, menyarukan bau sengit dari tempat pembuangan sampah. Beberapa kali aku mencoba mengajaknya bicara tetapi berkali-kali pula dia memotong dan mengubah mulutnya menjadi kian tajam. Perseteruan itu menjerat kami sembilan hari. Menjalani hidup tanpa bicara. Tanpa bertumbukan mata.

Aku berpikir keras tentang Supraba. Hingga saat malam turun, kumiringkan badanku kemudian menangis di sisi bantal. Dia tidak pernah memperlakukanku seburuk itu bahkan dengan jelingan mata sekalipun. Sementara hari itu dia tidak sudi menatapku, berlaku seolah menghindari onggokan sampah dan bicara dengan gumpalan perasaan yang entah apa. Aku tidak mengerti sama sekali. Dia seperti bukan Supraba. Di sela-sela sedu sedan yang kututupi dengan bantal, dari balik punggungku, hanya suara-suara langkahnya yang bisa kudengar, sebelum akhirnya keheningan menengahi kembali. Perih hatiku mana kala melihatnya berjalan keluar masuk tanpa sekalipun menatap mataku, menyapa, dan mengajak bicara.

Itulah ingatan burukku tentangnya. Di lain hari, dia memamah makanan yang wangi dan memperdengarkan kunyahannya kepadaku. Memperlihatkan gerak laku seakan-akan dia hidup sendirian di rumah itu.

Tetapi, aku tiga tahun bersama Supraba. Sembilan hari tidak mengurangi sedikit saja rasa sayangku padanya. Meskipun kelak, hingga sebelum kematiannya, Supraba tidak pernah memberitahuku sepatah pun di mana dia selama empat hari itu. Aku merasa dia sudah tidak harus melakukan itu. Apa pun yang menjadi alasan terduga, berada di luar kendaliku.

Aku senang mengingat hal-hal baik tentangnya.
(sumber:google,com)

Pada akhirnya dia datang kepadaku dengan mata berkaca-kaca dan melingkari tubuhku dengan tangannya. Menatap mata dan menyebut namaku. “Maafkan aku, Ling.” Ucapnya. Dia seperti terlahir kembali dengan kejutan-kejutan mendebarkan.

Punggungku merasakan gerak kaku tangannya yang hendak melepas lingkaran itu, tetapi aku segera memeluknya lebih erat lagi. Dan sejak saat itu merasa aku harus selalu melindunginya dari segala kemungkinan pengaruh buruk benda terlihat dan tak terlihat. Aku tidak ingin kehilangannya lagi. Hari-hari ini setan bisa saja bersembunyi di balik selimut bahkan di dalam rongga mulut. Mereka menjadi sangat kuat saat berkelompok dan sembunyi-sembunyi. Dan meskipun kenyataannya begitu, bukankah tipu daya setan sudah tertulis di buku-buku pedoman dan semua orang bisa membacanya? Aku hanya perlu bersungguh-sungguh menjaga Supraba dari gigitan setan dengan segala bentuk daya upaya yang bisa kuluncurkan—barangkali, perasaanku saat itu tak ubahnya kesungguhan doa perempuan Imran untuk anak keturunannya.

“Maafkan aku, Ling, telah bersikap buruk padamu.”

“Aku hanya berpikir kita akan baik-baik saja.”

“Aku sudah menyakiti perasaanmu, Ling.”

“Aku baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja.” Lama sekali kami berpelukan, seolah lengket oleh lem.

Setelah peristiwa itu, hubungan kami kian diharumkan oleh bukhur, perjalanan rutin ke kuliah, dan hal-hal lain yang terlihat amat biasa. Saban hari menaiki anak-anak tangga di belakang taman lalu menyeberang ke kampus. Kemudian menempuh jalan yang sama ketika pulang; menuruni tangga dan berbelok ke kedai jus. Sesekali kami berjalan jauh melewati dua blok hingga ke toko bunga, berputar ke deretan toko-toko rempah dan membawa pulang buku. Supraba tidak punya banyak tempat yang dia senangi, sebagian besar hanya lorong-lorong, sehingga kami menjejaki tempat-tempat yang kurang lebih sama setiap hari.

Supraba menyukai taman. Berkatnya aku makin menikmati bersantai di taman melihatnya membaca buku dan mendengarkannya bercerita tentang kehidupan orang-orang zaman dahulu dan kisah-kisah penyelamatan paling gemilang sepanjang sejarah umat manusia. Pengerukan gunung dan peristiwa air bah dan seekor merpati yang hinggap di buritan kapal setelah banjir bandang. Di lain waktu, dia bercerita tentang ikan besar yang menelan seorang nabi Allah dan membiarkannya hidup selama empat puluh hari di dalam perut, juga tentang seekor anjing berjaga di mulut goa beserta peristiwa yang melingkupi tujuh pemuda.

Tujuh pemuda tertidur selama 309 tahun itulah hal terakhir yang dia ceritakan kepadaku sore hari sebelum kami pulang.

“Kurasa segala hal yang membentur kita di masa silam akan meninggalkan pelajaran di masa mendatang,”

“Itulah sebabnya Tuhan melibatkan seekor anjing?”

“Itulah sebabnya juga Tuhan menjadikan tidur mereka 309 tahun.”

Di perjalanan pulang, Supraba mengeluh sakit kepala, “Nyeri di sini dan di sini,” katanya. Dia memijat-mijat pelipisnya dengan ujung jemari dan merasakan denyut yang tak biasa di batang leher. “Makin sakit,” rintihnya. Kemudian menempelkan tapak tangan di tengkuk, kedua matanya menggeriap seperti hendak mengatup, lalu berjalan seperti orang yang melangkah dalam genangan lumpur.

“Sepertinya kau butuh sejenis pereda. Aku akan pergi membelinya untukmu,” kataku, “Nanti menyusulmu ke atas.”

Supraba telanjur tidak mendengar kata-kataku. Ada tumpukan batu-bata empat langkah di depan dan dia berjalan kian doyong seperti perempuan tua dan nyaris saja menyungkur tumpukan benda keras itu. Aku segera berubah pikiran dan serta-merta menggenggam tangannya dan memapahnya hingga ke rumah—lantai ketujuh dari tujuh—lalu membaringkan tubuhnya yang mulai memerah di atas tilam. “Tengkukku nyeri sekali, Ling.” Dia menyelipkan tangannya ke balik jilbab dan mengusap batang leher. Kedua matanya mengatup hingga pelupuk membentuk garis-garis terlipat. “Nyeri sekali, Ling.” Rintihnya lagi.

Aku beranjak menjauh dari pembaringannya lalu berhenti di antara gagang pintu dan kecemasan, membalikkan muka ke arah yang aku sendiri tidak pasti. Saat kemudian meletakkan pergelangan tangannya di kening, dia menggumamkan namaku dan menumpuk kebingungan yang padat, “Perling? Tenggorokanku sakit sekali....”

Aku menatap nanar tubuhnya yang terbaring melalui bahuku, lama sekali, seolah menunggu gulungan benang terurai. Dalam gerak yang sangat lambat, melepas gagang pintu sembari tangan kanan memutar kunci. Lalu aku berbalik dengan helaan napas tersendat, mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, menyelidiki benda-benda. Melangkah perlahan dari satu sudut ke sudut yang lain dan tidak juga mendapati bau ataupun bayang-bayang yang berkelebat. Tetapi, dari kejauhan lamat-lamat terdengar bunyi benda tajam meluncur seperti menyayat udara, melambung-menukik sebelum kemudian berputar-putar di atas kami. Aku terpaku di satu titik, memiringkan kepala dan memasang telinga. Beberapa saat kemudian, saat-saat berusaha menangkap kebenaran bunyi itu, sesuatu menghantam keras daun jendela. “Ling, ada yang ingin masuk....” Di luar, anjing-anjing mendengking.

Kudekati jendela dan aku membukanya. Embusan angin mengempas ke wajahku dan selinap bau busuk makanan kaleng. Kuloloskan pandanganku ke bawah sana, ke deretan pohon-pohon dan dedaunan yang rontok di bahu jalan. Kawanan anjing berhenti mendengking dan bertinggung seperti bayi lucu saat satu demi satu mulai mengerubungi seekor burung hitam yang memukul-mukulkan sayapnya ke tanah. Lalu, saat burung itu tidak lagi bergerak, dan paruhnya menancap di jendela, anjing-anjing itu menengadah dan menatapku, seolah menatapi seorang musuh yang sebentar lagi akan menyerang mereka.[]

*Penulis merupakan mahasiswa fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar.


Editor: Muhammad Farhan Sufyan


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top