Nasihat Ruslan Effendy Untuk Penulis Pemula

Oleh: Darwin*
Sumber: Pinterest
Saya pikir tidak berlebihan jika mengatakan saya adalah orang yang beruntung diterima Ruslan di rumahnya. Waktu itu saya sedang melakukan perjalanan pulang dari Panton setelah menyatakan diri serta cinta saya yang tak main-main itu. Walaupun akhirnya saya kecewa pada pacar saya, karena memang dia orang yang susah diyakinkan, saya segera menghubungi seorang kawan yang adalah keponakan Ruslan. 

“Kebetulan aku baru keluar dari Panton. Bisakah kau hubungkan aku dengan pamanmu? Ada sesuatu yang mengganjal dipikiranku.” Dan seperti selalu, si kawan segera mengabulkan keinginan saya. Di Meureudu, Ruslan menyambut saya dengan kehangatan kue-kue buatan istrinya, serta pertanyaan-pertanyaan selayaknya kawan kepada seorang kawan. Dia berusia 55 tahun, dan saya menginjak 23 sejak dua bulan lalu.

“Aku selalu gagal dalam percintaan.” Kata saya.

“Kapan terakhir kau menulis?”

“Aku sudah berhenti.”

“Itu pilihanmu?”

“Tidak sepenuhnya.”

“Jadi?”

“Aku selalu gagal dalam percintaan.”

“Sebab itu kau berhenti menulis?”

“Aku tidak berbakat.”

“Mengapa kau tidak mengeluhkan hal itu dengan cara yang sama?”

“Maksudmu, Pak?”

“Kau gagal meyakinkan pacarmu itu lalu mencobanya lagi. Lantas kenapa kau tidak mengakui bahwa kau gagal menulis dengan bagus dari pada bilang tidak berbakat?”

“Apa bedanya?”

“Jelas berbeda.”

“Aku tidak melihat ada perbedaan.”

“Kau empat langkah mundur saat menganggap dirimu tak berbakat. Kau bahkan tidak diselamatkan oleh harapan seperti yang dapat dilakukan pola pikir satunya.”

Ruslan beranjak dari teras ke dalam rumah lalu keluar dengan tiga lembar cerita pendek yang baru selesai ia tulis, lalu menasihatiku panjang lebar tentang kelemahan imanku pada diriku sendiri, seolah ia benar-benar tahu permasalahanku yang telah menenggelamkan hasratku menulis. Ruslan penulis hebat yang gemar berpuasa. 

Malam itu, kepulanganku dari Panton adalah membawa ceritaku yang melilit untuknya, barangkali ia suka pada tawaranku dan aku bangga apabila kisahku itu ia angkat ke dalam cerita-ceritanya. Tetapi, kemudian ia justru membangkitkan gairahku:

Mula-mula kau harus mempunyai kesungguhan yang keras seperti batu, serta keinginan memiliki kemampuan bertahan seperti batu. Maksudku, kau memulai perjalananmu sebagai penulis dan tidak punya pilihan selain bersungguh-sungguh. Tulisan buruk nyatanya hanya bertahan sesaat, ia akan terangkat oleh kegigihan berlatih si penulis—sekalipun di perjalanan ia berkali-kali menghantam si penulis menjadi pecundang, maka itu hanya sesaat. 

Kesadaran semacam ini perlu kusampaikan seribu kali kepadamu, sebab menjadi penulis adalah keputusanmu sendiri dan penulis anyar sepertimu rentan sekali keram, meskipun setelah berpegang teguh kepada “menulis adalah melatih otot-otot imaji,”

Nasihat ini kuluncurkan karena ingatan kepada masa silam dan kupikir kau juga harus merasakan kebahagiaan yang sama setelah berlatih mati-matian. Dashrath Manjhi, mulai membelah gunung di 1960 dan baru menyelesaikan pekerjaannya dua puluh dua tahun kemudian. Kau boleh mengira bahwa orang seperti Manjhi tidak akan pernah jauh dari anggapan gila, tetapi dia pula tidak pernah surut membelah gunung dengan hanya pahat dan palu. 

Sekarang bayangkanlah, dua perkakas yang dipakai Manjhi itu juga perkakasmu dan kau memakainya untuk memecahkan distraksi apabila sewaktu-waktu ia muncul dari arah kasur, rencana piknik, dan bisikan pacar-pacarmu. Sehingga kau dapat dengan bebas berlatih dalam keadaan bumi terguncang sekalipun. Meleburkan diri ke dalam pekerjaan-pekerjaan gila.

Kau tidak memerlukan bakat melakukan hal-hal yang menurutmu berat. Kau hanya perlu bersungguh-sungguh. Namun, agar pernapasanmu selalu stabil dan jiwamu kokoh, kau mesti setuju terlebih dahulu bahwa seluruh waktu yang kita habiskan untuk sesuatu, hanya memberikan kita sedikit dari apa yang ia punya. Kita mesti menghabiskan seluruh yang lain untuk sedikit-demi-sedikit sisanya. Maksudku, kalau kau membenamkan bubu sore hari, jangan angkat sore hari itu juga. Hasil yang baik tidak datang dengan cara seringkas itu. Tuhan tidak menyukai sikap gegabah. 

Berproseslah. Kesabaranmu atas segala kesulitan akan membentuk daya kendali atas dirimu sendiri dan menghapus ketakutan-ketakutan. Dan ketakutan adalah kesulitan bagimu, maka jangan takut menghasilkan tulisan yang buruk. Berlatihlah sesering mungkin, tulislah dengan buruk—tulisan buruk lebih baik dari pada tidak sama sekali—lalu ulangi. Sehingga, saat kau tampil kemudian hari, dirimu adalah mesin penghasil tulisan bagus yang telah melewati proses yang baik.

Urutkan seperti ini: Kesungguhan berlatih, konsistensi, lalu hasil yang akan membuat dadamu berbunga-bunga. Di samping itu, kau mesti segera menyingkirkan pemahaman miring tentang “pencapaian sejati” yang selama ini telah memberatkan pikiranmu dan mulailah langkah baru dengan kesungguhan yang tak akan dapat diremuk, tak kapan dan tak di mana kau berlatih.

Baiklah.

Tentu kau pernah mendengar ucapan seorang penyair yang tujuh bulan lalu berpindah ke langit. Ia meninggal dunia setelah melucutkan “celana” beserta sejumlah kantong nasihat.

“Lebih baik muncul saat matang dari pada tenggelam di awal.” Ucapnya sambil menyiapkan perjamuan Khong Guan.

Hasrat ingin tenar tidak hanya merasuki penyanyi dangdut. Anak muda sepertimu tentu juga pernah bermimpi menulis sepuluh novel lalu tujuh di antaranya diganjar penghargaan, “tiga sisanya sengaja kubuat jelek,” katamu, misalnya, saat diwawancara. Tidak ada yang hebat dari penulis yang sesumbar di hadapan penulis lain; ia tidak tahu persis seperti apa geliat kepenulisan yang orang lain lalui. Sekali lagi, ketenaran bukanlah tujuan, kalaupun nanti kau dikenal banyak orang janganlah petantang-petenteng, itu hanya akan merusak reputasimu. Kautahu, petentengan tidak lain adalah hasil dari proses yang gegabah. Itulah sebabnya aku mengingatkanmu agar jangan berpikir untuk muncul lebih cepat dari seharusnya. Penulis yang kualitasnya buruk tidak akan bertahan lama di pasaran, apalagi penulis buruk yang petentengan, ia memikul dua keburukan sekaligus yang susah diterima orang-orang. Tugasmu hanya berlatih, mengakrabi karya-karya maestro dan mendekatkan buku ke kepala. Lalu biarlah nuranimu diperhalus dan pikiranmu dipertajam oleh apa yang kaubaca.

Nasihat di atas mungkin memberimu batasan-batasan. Tetapi itulah yang pertama harus kauterima. Dan perhatianmu kepada buku-buku lebih berarti dari pada kegiatan menulis itu sendiri, serupa memperkaya diri dengan tujuan bagi-bagi harta. Jika kau menulis sesuatu yang orang lain sudah ketahui, apakah tulisanmu akan menambah wawasan mereka? Ada sekian tugas penulis, merayu pikiran sendiri untuk rajin membaca termasuk yang utama.

Baiklah.

Selanjutnya adalah nasihat yang kuulang-ulang, bahwa matahari selalu cantik pada dua waktu. Tetapi, kau harus menghindari pembukaan cerita dengan cara-cara yang sudah orang lain pakai. “Matahari pagi mengintip dari balik awan,” tulismu misalnya. Berapa banyak orang di dunia ini memulai cerita mereka dengan menulis hal yang sama denganmu?

Di dalam kegiatanku merebus telur, kau tentu melihat air yang merebus telur. Orang lain mengatakan api yang merebusnya, yang lain lagi mengatakan wajan, tetapi menurutku akulah yang merebusnya. Kau mengerti maksudku, bukan? Lihatlah sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga saat menulis ‘matahari’ kau tidak selalu mengaitkannya dengan dua waktu itu, sesekali tulislah:

Matahari seperti kuning telur saat kawanan burung melintas...

Contoh lain:

Hari ini panas sekali, seakan Tuhan menaruh matahari sejengkal di atas kepalaku...

Pembukaan yang menarik dan jarang orang pakai adalah kunci arus sungai. Jika kau memulainya dengan cara yang bisa ditemukan di tempat lain, lalu bertele-tele, ceritamu adalah sungai yang kering, hanya akan ada aliran yang tersendat-sendat; setiap kali cerita dilanjutkan, pembacamu akan berulang kali menenggak air putih. Pembukaan mempengaruhi kejadian-kejadian berikutnya. Kau perlu memikirkan hal-hal yang relevan untuk ceritamu, membuang bagian-bagian yang dirasa tak perlu.
Sumber: m.vk.com
Coba simak penggalan cerita berikut, aku menulisnya selepas makan mi caluk tempo hari:

Rosamund Mintama membunuhku dengan sambal kacang yang ia campuri ludah kodok. Saat kemudian aku dicabut ke langit, Tuhan mendengarkan penderitaanku dan kisah bagaimana aku ditaklukkan. “Pertarunganmu lebih keras dari yang kaukira. Tegarlah.” Katanya. Lalu Dia memerintahkanku untuk kembali ke bumi, “katakan kepada mereka bahwa kematianmu di tanganKu.” Maka, aku segera meluncur ke bumi dan hal yang pertama kulakukan adalah mendekap istriku. Ia sangat kecewa melihatku hidup lagi dan memasang wajah setan setiap kali menatap wajahku.


Aku menahan diri tidak dulu meneruskan pesan Tuhan kepada Rosamund. Khawatir ia akan meludahiku saat kubilang aku adalah seorang utusan Tuhan, lalu istriku itu mencoba kedua kali membunuh seorang nabi yang mana adalah suaminya sendiri. Aku tidak tega melihatnya digongseng di neraka sebab tiga dosa besar yang ia perbuat. Sekali waktu kusampaikan kepadanya, “kalau kau mencintai Effendy, menikahlah dengannya. Asal jangan meludahiku, karena aku seorang nabi utusan Tuhan.” Tetapi ia tetap meludahiku. Perempuan itu selalu menolak kebenaran dan menganggap semua yang ia perbuat adalah kebenaran lain yang tak terpatahkan. Tersayat hatiku melihatnya seperti itu.

Setelah peristiwa pengutusan itu, Rosamund tetap menganggapku sudah mati dan ia semakin berani memboyong Effendy ke dalam rumah dan mengunci kamar lalu keluar dalam keadaan rambutnya terurai basah. Si biawak keluar belakangan sambil menyengir ke wajahku.

“Baru tahu, kau memiara hantu di rumah.” Gumamnya seraya melenggak keluar.

Rosamund mengantar si biawak ke mulut pintu, dan setelah kejadian itu mataku tak pernah menyingkir darinya. Ia berdiri menyandarkan bahu ke kusen dan melipat kedua tangannya, menghadap ke arahku. Sementara itu aku duduk di kursi jati yang rapat ke dinding.

“Seberapa sering kalian bertemu?”

“Ia sering menginap setelah hari kau mati.”

“Tuhan akan murka atas perbuatanmu, Rosa. Jangan buat Dia memisahkanmu dariku sebab perbuatanmu sendiri.”

“Dia bahkan sudah memisahkanmu dariku.”

“Tidak. Tuhan tahu kapan kita mati.”

“Kita selesai, Malutah, kematianmu adalah akhir,”

“Tapi, sekarang kau melihat aku hidup.”

“Kau seorang penista, Malutah!”

“Kelembutan Tuhan membangkitkan aku kembali ke bumi, Rosa.”

“Oh, rupanya kau mengulangi dosa yang sama.”

“Maksudmu?”

“Kau masih mengaku dirimu nabi?”

“Kaupikir bagaimana aku bisa hidup lagi? Tidakkah kau berpikir akulah seorang nabi yang mendapatkan perintah, Rosa? Aku telah melakukan perjalanan tertutup. Dan kaupikir bagaimana aku bisa tahu bahwa kaulah yang meracuni makananku?”

Ia tercengang seperti dugaanku.

Namun, yang tidak kusangka-sangka, perempuan itu melepas lipatan tangannya dan beranjak mengasah pisau di dapur. Suaranya yang menggerutu terdengar seperti letupan-letupan kecil air mendidih. Kini aku tercengang setelah kaku dan tak bisa berganjak dari kursi; sesuatu tak kasat mata telah menyelubungi tulang-tulangku seketika Rosamund memunggungiku ke dapur. Aku memberontak, tetapi setiap kali kugerakkan otot-ototku sekujur tubuh terasa nyeri, seakan sesuatu seperti kawat menggeliat di dalam tulang-tulangku. Aku merintih, hingga terdengar gerutu istriku berangsur menjadi erangan yang menggema ke segala penjuru ruangan. Bersamaan dengan itu, menguar bau bangkai kodok, yang sudah kukenali bahkan sebelum aku diutus sebagai nabi.

Tak lama kemudian terdengar dentuman langkah-langkah berat diikuti bunyi cairan lengket yang ditarik. Sementara itu bau busuk daging asin semakin sengit. Dan dengan upaya yang sama, tiba-tiba kungkungan tak kasat mata itu terlepas. Aku segera berlari memeriksa apa yang sedang terjadi pada Rosamund. Namun, dari arah dapur sosok kodok raksasa melangkah gontai seperti penderita ambeien, lalu mengacukan pisau ke arahku.

“Perintah apa lagi yang kauterima dari langit?”

Mungkin cerita di atas tidak masuk akal, “tokoh-tokohnya tidak logis. Seorang nabi bersikap biasa saja saat melihat istrinya berbuat dosa. Kalau pun nabi palsu, kenapa ia harus sangat mencintai istrinya? Tak ada cinta di dalam diri nabi palsu, sekali pun kepada orang terdekat. Ia adalah orang yang mesti diganyang begitu ia mengaku nabi.” Mungkin begitu komentarmu. Tapi setidaknya pembukaan cerita di atas terhindar dari cara-cara yang monoton; salah satu ciri-ciri penulis yang malas berpikir.

Baiklah. Mungkin kau sudah menangkap dengan baik seluruh maksudku. Adapun nasihat, jika kebanyakan menjadi tidak baik; ia akan sukarela keluar dari liang telinga seperti halnya cacing yang tidak kerasan dengan wangi mayat. Maka, sekianlah.

Jika kau memiliki teman seorang pawang hujan, penggali kubur, tukang sulap, penyemir sepatu, penyobek karcis bioskop, nelayan, penjual donat, tukang masak, maling, pengedar, bandar, syahbandar, dan apa pun pekerjaannya sekarang, kurasa nasihat ini juga berlaku untuknya. Bahkan seseorang yang pekerjaannya mengepul arang, juga memerlukan keterampilan bercerita tentang kekusutan hidupnya menjadi pengarang.

Editor: Muhammad Arief Munandar

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top