Perlukah Membela Palestina?

Oleh: Annas Muttaqin*
(Sumber: Nomorsatu)
Saat membaca judul tulisan ini, mungkin sebagian beranggapan mengapa pembelaan terhadap Palestina perlu kembali ditanyakan. Bukankah ini terkesan sebuah lelucon. Bukankah sangat jelas, bahwa Palestina sudah sepatutnya dibela. Bukankah membela Palestina menjadi kewajiban kita. “Bukankah”, “bukankah?”, dan “bukankah?” Yang lain sejenisnya.

Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang “Perlukah kita membela Palestina?", mari kita membahas bagaimana seharusnya kriteria sesuatu hingga mesti dibela? Dalam KBBI “membela” diberi arti menjaga baik-baik, memelihara, merawat. Membela juga diartikan sebagai memihak, melindungi dan mempertahankan.

Dengan arti yang demikian, maka dapat dipahami bahwa sesuatu yang perlu dibela adalah sesuatu yang mungkin hilang, rusak atau bahkan sedang dirampas. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Palestina sedang barada pada kondisi yang sedemikian rupa? Lebih detailnya lagi, apakah Palestina hilang, rusak, atau dijajah? Sehingga patut dibela? Benar, bahwa Palestina porak-poranda. Rudal-rudal laknat Zionis menjadi awan yang harus disaksikan oleh setiap mata. Wujud pegunungan adalah reruntuhan bangunan, dan nyanyiannya bukan angin segar yang menyejukkan melainkan isak tangis para ibu kehilangan balita dan sebaliknya.

Pemandian mereka adalah air mata serta darah saudaranya dan pengeringnya adalah kesabaran dari dalam lubuk hati yang paling dalam. Dinding-dinding beton yang mengelilingi wilayah Gaza mengubah Palestina menjadi penjara raksasa paling mengerikan di dunia. Belum lagi blokade besar-besaran yang diterima rakyatnya. Siapapun yang mengulik perihal Palestina akan menyadari hal yang sama. Dengan segala usaha perampasan laknat yang dialami, apakah mereka hilang, rusak, atau bahkan terjajah?

Jawabannya ialah tidak. Sejak peristiwa Nakba, 1948 Palestina sudah merasakan hal yang sama bahkan lebih mengerikan. Rakyat Palestina terlahir dari rahim perjuangan. Mereka diusir, rumahnya dibakar, hartanya dirampas, sanak keluarga dibunuh, budayanya dimusnahkan, bahkan setelah wafat pun kebengisan tersebut tak usai. Dengan upaya genosida tersebut nyatanya Palestina masih ada. Hingga detik ini, bahkan denyut perlawanan mereka semakin menyala. Justru mereka mampu mengubah tank-tank penjajah menjadi rongsokan, pesawat-pesawat tempur berjatuhan hanya dengan senjata rakitan. Masihkah Palestina perlu dibela?

Palestina bukan hanya tempat, rakyat dan negara, Palestina adalah wujud dari perjuangan itu sendiri. Palestina tak rusak, tak terjajah, dan tak akan hilang. Lantas apa yang perlu dibela? Tak ada yang perlu dibela dari Palestina, tak ada juga yang perlu dikasihani. Terlebih pembelaan dan rasa belas kasihan itu berasal dari foto-foto yang beredar di jejaring sosial, jangan pernah! Mereka yang telah syahid adalah pejuang, sedangkan perempuan, manula dan bayi-bayi mereka yang wafat adalah bentuk pemberontakan bagi kolonialisasi Barat, teroris terbesar dunia. 

Mereka tak hanya pejuang bagi negaranya, namun pejuang bagi keadilan dunia. Tak ada yang patut dibela dari riwayat hidup para pejuang. Pembelaan hanya bagi orang-orang yang lemah, dan Palestina tidak demikian.
(Sumber: Darussalam.Id)
Lantas kemudian, apa yang sepatutnya dibela? Yang sepatutnya dibela adalah diri kita. Diri kita yang meneriakkan kemanusiaan tak lebih hanya sebatas suara yang keluar dari kerongkongan. Yang sepatutnya dikasihani adalah diri kita, pion- pion mungil yang hidup dalam kenyamanan dan gagal paham arti perjuangan hingga sangat lancang berani menyematkan kata pembelaan pada para pejuang. Diri kita yang hanya memaknai kemanusiaan dari rasa belas kasihan melalui foto dan video di jejaring sosial dan luput dari pemahaman.

Palestina tak butuh pembelaan, yang mereka butuhkan justru dukungan dan penghargaan atas sikap terhormat mereka yang telah berjuang dan bertahan. Sikap inilah yang dicerminkan oleh Al-Azhar. Al-Azhar salah satu lembaga besar yang ada di Timur Tengah hingga kini menyatakan sikapnya secara jelas mendukung perjuangan rakyat Palestina, bahkan Hamas atas pencaplokan tanah mereka, upaya Al-Azhar mendorong negara muslim mengambil tindakan, menyemangati para pejuang Palestina serta melayangkan kecaman-kecaman keras terhadap Israel dan Amerika tak pernah berhenti.


Saking kerasnya gaungan Al-Azhar, Grand Syekh Al-Azhar pada 1 November 2023 lalu mendapat kecaman langsung dari INSS. Sebuah Institusi Israel yang menganalisis masalah keamanan Nasional dan militer Israel. Kecaman tersebut meminta agar Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib diganti dan dicopot kedudukannya. Reaksi ini tentu menandakan pengaruh besar yang diterima Israel atas apa yang Al-Azhar gaungkan.

Tak ada sikap abu-abu bagi Al-Azhar dalam mendukung kemanusiaan dan kemerdekaan bangsa Palestina. Semuanya jelas dan benderang. Tak ada narasi kasihan apalagi pembelaan dari Al-Azhar terhadap pejuang Palestina, yang ada adalah dukungan, penyemangat, dan bergerak secara nyata.

Jika kemanusiaan menjadi alasan kita membela Palestina, maka sungguh yang sedang kita bela adalah nilai diri kita sendiri, bukan Palestina. Karena kemanusiaan adalah fitrah yang Allah anugerahkan pada setiap individu sejak lahir. Membela kemanusiaan berarti mempertahankan separuh dari diri kita sendiri, bukan orang lain.

*Tulisan merupakan dari Mimbar Dakwah el-Asyi 152 Palestina

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top