Dosa Besar Ke-14; Mengambil Tanah Orang Lain atau Melawan Pemerintah
Oleh: Darul Quthni bin Ramly bin Sarong bin Idris
Sumber: Google |
1.
Mungkin ini akan sulit kau percaya,
tapi aku pernah melihat Perling melangkah masuk rumah makan dan ia digiring seribu
peri yang membentuk sayap pada kedua sisi punggungnya. Mungkin aku
berhalusinasi. Mungkin juga penglihatanku benar. Peristiwa itu seperti mengulang
diri setiap tujuh ratus tahun sekali, dari lingkar hikayat orang-orang zaman dahulu,
yang aku yakini seluruh penduduk bumi akan menentangku untuk membuktikannya.
Aku mengetahui namanya Perling setelah beberapa kali melihatnya
berjalan keluar rumah dan memayunginya dengan awan. Beberapa kali aku berupaya
mencegatnya dan menanyakan namanya. Tapi sehari-hari ia berjalan cukup jauh dan
pulang saat hari sudah gelap dengan menempuh jalan yang berbeda, melewati rumah
makan Sufi dan menyisir danau Sibgatullah. Aku mulai memayunginya dengan awan sejak
hari itu dan mengikutinya kemana pun ia pergi.
Suatu kali ia keluar pukul sepuluh pagi dan memergokiku di persimpangan
di ujung deretan toko-toko.
“Kapan kau akan berhenti mengikutiku dan merasa cemas sepanjang
jalan?” Katanya.
“Aku hanya ingin tahu namamu,”
“Tapi kau tak akan berhenti mengikutiku meskipun setelah tahu
namaku.”
Ia berjalan lagi dan berjalan cukup jauh sampai aku kehilangan
jejaknya. Dan keesokan hari aku sudah menunggunya di ujung deretan toko-toko.
Ia sengaja melewatiku beberapa langkah dan kemudian berbalik.
“Siapa namamu?”
Ia menatapku dan tidak serta-merta memberitahuku namanya. Tapi ia
menyebutnya saat hendak berlalu. Lalu aku mengikutinya dan mengiringinya
berjalan. Kami berjalan bersampingan seakan seseorang ikut berjalan di
tengah-tengah kami.
“Kenapa kau tidak lagi mendatangi leluhurmu?”
“Itu urusanku.” Kataku.
“Hmm.. Seharusnya tidak kutanyakan itu.”
“Tidak apa-apa. Kau boleh bicara apa saja. Tapi itu tadi bukan
urusanmu.”
“Kenapa kau mengikutiku? Aku bukan leluhurmu.”
“Aku menyukaimu...”
“Aku tidak percaya kata-katamu. Kau juga mengatakan itu kepada
istrimu.”
“Karena memang dia istriku. Aku menyukaimu dan itu akan membawaku
jauh darinya. Aku ingin selalu jalan-jalan denganmu. Kulihat kau gemar menempuh
jarak-jarak yang jauh.”
“Kau sangat bersungguh-sungguh merayuku.”
“Kata orang, itulah yang harus kulakukan.”
“Kau tidak takut kalau akan ada yang memburumu?”
“Aku bisa melupakan semua perasaan itu kalau sedang bersamamu.”
“Tapi akan ada yang memburumu. Mereka jelmaan amarah dari masa
silam,”
“Aku tak memusingkan itu. Lagipula aku selalu lolos dari musuh-musuhku.
Aku mengendalikan keberuntungan hidup mereka. Kenapa kau memikirkannya? Kau
berubah pikiran?”
“Aku hanya memikirkan keselamatanmu.”
Perling mempercepat jalannya dan meninggalkanku di sebuah mulut
lorong di antara deretan toko-toko yang memanjang dan melengkung. Perempuan itu
memberiku tatapan isyarat yang ia sendiri terlihat gelisah saat melakukannya. Saat
ia berjalan sudah cukup jauh dan punggungnya dikerubungi makhluk-makhluk kecil,
tiba-tiba kepalaku terasa nyeri dan jalanku mulai agak doyong. Ini kali kedua melihatnya
dikerubungi kawanan peri dan kepalaku menanggung perasaan yang aneh: Aku terkenang
kepada ingatan-ingatan yang tak pernah ada di masa laluku; seakan-akan Perling ada
di sana menyaksikan seluruh kejahatanku saat suatu kali kularungkan pamanku ke Sibgatullah.
Seakan-akan ia ada di sana mendengar bisikanku kepada kepala negara pembantaian
untuk orang-orang Rakkundo. Seakan-akan ia ada di sana saat kubunuh ketiga anakku.
Aku berjalan seperti memikul tiga tubuh dengan rasa nyeri di
kepala, aku berusaha keras menyingkirkan sederet nyeri itu dan berjalan dengan langkah-langkah
yang baik. Aku bisa bersembunyi di mana saja bahkan di dalam bungkus tusuk
gigi, tapi sekarang sekeping bau pun tidak bisa kusembunyikan. Aku tersandung saat
melewati persimpangan di ujung deretan toko-toko sehingga menyingkap jubahku
dan menguarkan bauku yang telah ditandai selama bertahun-tahun.
“Mukalla! Di sana! Mukalla si pawang hujan!”
Itu adalah musuh-musuhku. Aku sangat terguncang melihat mereka
menganjung pedang dan ingin menguliti tubuhku. Benar kata Perling, mereka
adalah jelmaan amarah masa silam. Dahulu mereka kutenggelamkan dengan kiriman
hujan empat puluh lima hari setelah memotong tangan kiri kepala negara, karena mereka
tak terima tanah yang mereka diami ditunjuk-tunjuk dengan tangan yang dipakai untuk
cebok. Peristiwa pemotongan itu membuat kalap seisi negara. Aku baru kembali
dari gunung saat mendengar orang-orang membicarakan peristiwa itu.
“Mereka ingin menguasai istana.” Kata salah seorang.
“Yang benar saja? Mereka keturunan perompak yang mendarat di laut
kita tujuh puluh lima tahun lalu dan ingin menguasai istana? Itu tidak bisa
dibiarkan.”
“Mereka persis seperti moyang mereka.”
“Benar. Pelan-pelan mereka menggerogoti daging bangsa kita.” Kawannya
menggertakkan gigi.
Peristiwa itu terjadi pada hari Rabu dan dua hari kemudian saat
menghabiskan bubur, kudengar mereka sudah mengepung istana. Sejumlah tentara
dipotong dan mati kehabisan darah. Istriku dengan mulutnya yang meletup-letup
mendesak agar aku segera berangkat ke tanah yang mereka diami dan dipagari
tembok-tembok tebal di dekat laut.
“Mereka memotong tangan saudaraku,” katanya sambil memelukku. “Balaslah
dendamku, guyur mereka selama enam puluh hari.” Dia bersungguh-sungguh
memintaku untuk membalaskan dendamnya.
Maka aku kembali ke gunung dan bersila di batu curug selama dua
kali matahari tenggelam. Malam hari aku turun ke pesisir dan bersila di luar
tembok tebal. Merapal enam ribu kali mantra leluhurku. Dan pada hari Senin aku mulai
mengguyur tanah mereka dan satu per satu para pecundang yang gencar mengepung
dan menyerang istana terberak-berak dan terkencing-kencing saat kabar banjir besar
tersiar ke sekitar istana. Pada hari kedua puluh sembilan, mereka menyerah dan
mundur dari istana, sementara di sejumlah tempat wajahku mulai dicari-cari.
Baca juga: Semuanya Kawe Kecuali Nasib
Aku pulang mengendap-endap sepanjang jalan dan di rumah istriku menendang pantatku saat tahu kalau aku mengakhiri hujan di hari keempat puluh lima.
“Kukira itu cukup untuk membalaskan dendammu. Tanah mereka sudah
menjadi lautan.” Kataku.
“Tapi mereka masih tersisa.”
“Merekalah yang menanggung deritanya.”
“Sia-sia jika semua mereka harus mati.” Kataku lagi.
Aku tak bisa berlama-lama dengannya di rumah karena selebaran yang
memuat wajahku, pemburu hadiah diganjar tujuh karung emas. Aku diburu di
mana-mana, oleh bangsa di dalam tembok atau bahkan pribumi. Dan selama
persembunyian aku hanya bisa sesekali mampir ke rumah untuk memastikan keadaan
istriku. Kadang-kadang kugantung seikat sawi di pintu untuk menyatakan bahwa
aku masih hidup. Namun kian hari orang-orang tampaknya benar-benar menginginkan
kepalaku; mereka membelah gunung-gunung dan meringsek mulut-mulut goa. Sehingga
aku terpaksa melanggar janji kepada leluhurku naik ke langit dan bersembunyi dari
awan ke awan. Di saat-saat itulah aku mendapati istriku membisiki seorang
pemburu hadiah untuk memburuku ke curug-curug.
Dan para pecundang yang menganjung pedang dan mengejarku adalah
orang-orang di dalam tembok yang dulu menyerang istana. Mereka keturunan
perompak yang memiliki kemampuan mengendus bau seperti anjing. Mereka cerdik
dan licik. Tujuh karung emas tak pernah ada di tangan mereka, tapi pemburuan
itu telah membuatku kelabakan dan kehilangan sedikit banyak kesaktian yang
kudapat dari leluhurku. Dan di atas itu semua, pemburuan hadiah telah
menggelapkan benak istriku, dan menjerumuskan dia ke dalam golongan orang-orang
tidak bertakwa.
Aku menghindari kejaran para pecundang di bawah gempuran rasa nyeri,
berlari seperti boneka kayu yang digerakkan tali oleh dalang yang tidak
berbakat.
“Kejar!”
“Tangkap!”
“Kuliti!”
Aku berlari dan masuk ke jalan-jalan kecil dan sempit, melompat dari
balkon ke balkon. Bergantung di terali dengan tudungku yang tersingkap. Di
bawah sana mereka menghambur seperti rombongan mirkat, dan menengadah dengan
sorot mata penuh kemarahan. Tak ada satu pun mereka yang bersuara saat
melihatku berupaya meloloskan diri. Maka kupandangi mereka melalui pundakku. Para
pecundang itu terlihat seperti kumpulan patung yang tak bisa berbuat apa-apa.
Namun, tiba-tiba, saat aku beranjak merambati terali, sebilah pedang melayang
dan menembus perutku. Aku mengerang sangat keras, sehingga burung-burung beterbangan.
Aku bersusah payah menengahkan diri ke balkon seperti ulat menggeliat di permukaan besi yang panas, lalu menggeletak tak berdaya. Pedang itu diperlakukan seperti tombak. Para pecundang telah mempersiapkan segala nasib buruk untukku. Tak pernah kusangka-sangka akhirnya aku sedekat ini kepada kematian. Setiap langkah dan susah payah yang kulakukan tidak membebaskanku sedikit pun dari rasa nyeri yang merajalela. Dan bilah-bilah pedang yang diperlakukan seperti tombak pun akhirnya menghujani sekujur tubuhku. Darahku membanjiri balkon. Aku tidak lolos dari musuh-musuhku.
2.
“Tidak banyak yang bisa kulakukan.”
“Sebenarnya kau ingin aku takluk kepada para pecundang itu. Aku
bisa saja lolos dari mereka kalau kau tidak mempengaruhi pikiranku.”
“Kau tidak punya rencana apa-apa lagi di sini. Selama ini hanya
bersembunyi dan memayungkan awan-awan di atas kepalaku.”
“Aku ingin membalas istriku.”
“Kau tidak akan bisa. Dia dijaga negara setelah peristiwa itu.
Lagi pula itu urusan mereka yang kausebut pecundang. Mereka akan menuntaskannya
bahkan tanpa perlu diminta.”
“Kau membisiki mereka?”
“Tidak. Mereka tahu kalau kepala negara adalah saudara angkatnya. Mereka
mempelajari silsilah, seperti halnya kau mempelajari silsilah leluhurmu.”
“Kabar baik. Tapi, kautahu, Perling, seharusnya aku sudah mengguyurnya
hari itu. Ia mengkhianatiku. Tapi aku tidak melakukannya.”
“Itu karena kau lelaki yang baik, Mukalla.”
“Bawa aku ke langit, Perling, aku ingin mengetahui rahasia-rahasia
langit.”
Editor: Fadhila Talia Salsabila
Posting Komentar