Pentingkah Bioskop & Konser di Aceh?
Oleh: Muhammad Fairuzzabadi*
Dunia di era serba modern yang didominasi oleh Gen Z dan Milenial ini, harus diakui bahwa hiburan sudah banyak mengalami “pemakluman” setelah melewati masa-masa “penghakiman”- nya. Oleh mereka, hiburan kerap dianggap sebagai elemen tambahan namun krusial demi berlangsungnya kehidupan yang sehat. Hal ini kemudian menjadikannya melekat pada masyarakat hari ini, bahwa jika diurutkan Top 50 prioritas manusia, hiburan tidak pernah lengser dari tujuh besar.
Tidak mengherankan, rentetan ini ada karena perkembangan zaman yang masif. Segalanya serba mudah, tak terkecuali dalam industri hiburan. Bioskop dan konser contohnya. Kedua hal tersebut cocok sekaligus reachable bagi hampir seluruh kalangan masyarakat. Oleh karenanya, bioskop dan konser merupakan hiburan— dalam bentuk pertunjukan—yang ramai diminati, terutama oleh kawula muda. Dengan hanya membayar tiket saja, kita bisa menikmati film atau musik dengan vibe yang fantastis. Sangat worth it, bukan?
Namun, bagaimana rasanya tinggal di daerah yang tidak terdapat bioskop maupun konser?
Adalah Aceh, salah satu daerah di Indonesia yang memiliki keistimewaan dan otonomi khusus. Salah satunya kewenangan untuk menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya. Maka dari itu, penerapan syariat di Aceh dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Ketiadaan bioskop hampir dua dekade belakangan merupakan salah satu bentuk penerapan syariat Islam di bumi Serambi Mekah. Beberapa ulama dan pemerintah setempat menilai, bahwa bioskop tidak sesuai dengan syariat dan keberadaannya dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan cenderung menjadi sarang maksiat.
Oleh karenanya, pemerintah memutuskan untuk melarang bioskop di Aceh sejak 2004. Padahal, dalam riwayatnya, bioskop sendiri pernah berjaya di Aceh sebelumnya sejak pertama kali muncul di era kolonial antara 1920-an dan 1940-an, tepatnya pada tahun 90-an.
Jika dibandingkan dengan konser, nasib keduanya sedikit berbeda. Beberapa tahun terakhir, konser mulai hadir di Aceh. Namun, dalam pelaksanaannya tetap menerapkan konsep syariat. Dalam hal ini di antaranya yakni; penonton laki-laki dan perempuan dipisah, band/artis yang tampil diseleksi dan lagu-lagu yang dibawakan tidak terlewat dari proses penyaringan.
Menurut hemat penulis, kebanyakan dari kita sepakat akan keberadaan konser di Aceh dengan konsep yang sudah ditetapkan. Namun, bagaimana dengan bioskop? Perlukah ia lestari di Aceh?
Tentu saja jawabannya tergantung. Tergantung kepada siapa kita bertanya. Namun, dari beragam tanggapan, kita bisa menarik dua jawaban pasti, iya dan tidak. Dan dalam lingkaran yang dipenuhi pro-kontra ini, sebenarnya wacana untuk menghadirkan kembali bioskop di Tanah Rencong sudah diusungkan sejak 2018 silam. Namun, sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan terwujudnya usungan tersebut. Hal ini disebabkan stigma yang terus beredar dan melekat dalam masyarakat, bahwa kehadiran bioskop akan menjadi sarang maksiat atau menimbulkan adanya pelanggaran syariat. Padahal, bersama wacana tersebut, konsep yang senada dengan syariat juga disertakan, seperti memisahkan antara penonton laki-laki dan perempuan, menyaring terlebih dahulu film-film yang akan ditayangkan, jam tayang yang tidak bertabrakan dengan waktu salat dan lain sebagainya.
Stigma ini kemudian membuat banyak orang kecewa dan dinilai terlalu berlebihan, terutama oleh kawula muda dan para sineas. Karena nyatanya, bioskop tidak segelap itu, apalagi dengan wacana yang disertai konsep syariat di dalamnya. Dengan adanya wacana tersebut, kekurangan dalam perencanaan pembangunan bioskop telah diminimkan—walaupun tidak menutup kemungkinan kekurangan lain akan muncul.
Banyak juga yang menyayangkan kejadian beberapa waktu lalu, ketika ada pasangan dari Aceh yang menghabiskan uang sebanyak Rp 5,7 juta demi berangkat ke Medan, Sumatera Utara, hanya untuk menonton film di bioskop. Walaupun sangat jarang ada yang mau menghabiskan uang sebanyak itu hanya demi menonton film di bioskop. Namun, tidak jarang masyarakat Aceh yang rela bepergian ke Medan hanya untuk menikmati film di bioskop.
Berbicara tentang kelebihan, ada banyak sekali kelebihan hadirnya bioskop dan konser di Aceh. Dari segi ekonomi misalnya. Jika kita berkaca pada sejarah bioskop dan konser di Saudi, kita akan tahu seberapa masifnya hasil positif dari keputusannya mencabut larangan konser dan bioskop setelah tiga dekade lebih, di antaranya; mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Kayanya pilihan hiburan juga menjadi salah satu nilai lebih dari hadirnya bioskop dan konser di Aceh. Selain itu, dengan diizinkannya bioskop kembali beroperasi juga berarti terbukanya kesempatan bagi sineas Aceh untuk unjuk gigi. Menurut mereka, bioskop bukan sekadar ruang hiburan masyarakat. Lebih dari itu, ada ratusan pembuat film di Aceh yang membutuhkan ruang pemutaran film tersebut untuk mengapresiasi karya[1]karya film lokal. Dewasa ini, karya[1]karya sineas Aceh di Indonesia cukup mentereng dan sering memenangkan berbagai penghargaan.
Sejatinya, perlu atau tidaknya bioskop dan konser hadir di Aceh tidak akan memiliki jawaban yang pasti jika ditanyakan kepada seluruh masyarakatnya. Bahkan setelah disajikan kelebihan dan kekurangannya, pro-kontra tetap sebuah keniscayaan. Segala sesuatu memang mempunyai sisi kurang dan lebihnya. Namun, sudah semestinya kita sebagai manusia bijak dalam memilih dan memilah, menilai dan memastikan.
Pentingkah Bioskop dan Konser di Aceh? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.
*Tulisan merupakan dari Haba Nanggroe el-Asyi edisi 150
Posting Komentar