Ujian di Petala Subuh
Oleh : Muhammad Farhan Sufyan*
(Sumber gambar: Google.co.id) |
Sepi telah menjadi sahabat di rumah tersebut, sebab letak yang jauh dari
kegaduhan masyarakat. Jalannya berliku dan jauh. Syaqqah yang memiliki
dua kamar itu berada di puncak flat paling tinggi. Tak ayal, hawa dingin seakan
pembunuh tak bersenjata menggerogoti semangat bergerak dan belajar.
Akan tetapi, semuanya tak berlaku bagi Rusydi. Mahasiswa jurusan Tarikh
wal Hadharah ini memang dikenal jenius dan bersemangat tinggi. Semalaman
dia mengulang-ulang kembali muqarrar yang akan diujiankan besok. Seluruh
mahasiswa di Kairo mengenalnya. Pelajar ulet yang rajin ber-talaqqi, hari-harinya
dihabiskan untuk mengkhatamkan kitab turats. Baginya, metode ini lebih efektif
dalam membentuk keilmuan, yakni mengkaji kitab dari sampul hingga bab akhirnya.
Manhaj yang sangat diagungkan ketimbang dunia perkuliahan. Begitu besar himmah yang dimiliki Rusydi, muqarrar
yang tersusun dari bab yang begitu banyak, dicomot dari referensi yang tak
terbilang, mampu diselesaikan dalam waktu yang singkat, sebulan sebelum
ujian. Akibatnya, Rusydi punya waktu tidur malam yang sangat pendek. Hak tubuh
yang seyogianya diberikan, malah dikorbankan.
Detak jam terus berkelanjutan. Pukul 07.00 Clt. Waktu itu tak bisa
dikendalikan oleh manusia, akan tetapi manusia dapat mengatur waktu dengan me-manage
sebaik mungkin aktifitas dalam kesehariannya.
“Rusydi!! Sudah jam 07.00, kamu gak ikut ujian?”
Rusydi mulai bangkit. Matanya masih sayu, tubuh juga tampak berat.
“Udah! Sini aku bantu bangun, kamu belum shalat subuh!” seru pemuda itu
seraya menarik tangan Rusydi. Namun, begitulah keseharian Rusydi. Walaupun
dikenali sosok yang jenius, ia masih saja dikalahkan oleh waktu subuhnya.
Usai berhasil menyadarkan Rusydi. Pemuda tadi hendak menghubungi orang
tuanya, meminta doa agar dimudahkan segala urusan. Sebenarnya, dari sebelum
azan subuh ia telah mencoba membangunkan. Tapi tetap saja susah, Rusydi bukan
tak sanggup atau dengan sengaja meninggalkan shalat subuh, melainkan karena begadang
semalaman. Hal yang telah maklum dari pondok. Sahabatnya ini memang punya
kebiasaan begitu. Malam begadang untuk belajar, keesokannya tidur. Berbeda saat dulu di pondok, walaupun begadang terpaksa bangun. Kalau tidak
siap-siap ditimpa hukuman membersihkan kamar mandi, jalan keliling selokan atau
bisa-bisa diberdirikan di depan asrama putri. Ditambah lagi peraturan di
pondok, menjadikan santrinya mengikuti arus, semuanya diatur oleh aturan. Lagi,
ustad-ustad seumpama pasukan Yanisari. Siap sedia dengan air, menyembur tiap kasur
dan pemiliknya.
“Mam, gimana? Jawabanku semalam, udah paham, kan?” tanya Rusydi usai meng-qadha
shalatnya.
Dari sudut kamar, pemuda itu hanya memberi isyarat. Ia sedang ngobrol
dengan ibunda. Belum bisa menjawab pertanyaan.
“Pokoknya, yang paling itu bukan nilainya, nak. Tapi kesehatanmu, jaga
tubuh jangan sampai sakit. Kekuatan fisik dan mental harus dirawat dengan
baik-baik. jangan pernah bandingkan diri kita dengan orang lain,” ujar sosok
ibunda dengan bahasa begitu menyentuh.
“Baik, Bu! Semoga diberikan hasil terbaik,”
Sejurus kemudian, pemuda tersebut menyapa Rusydi. Pertanyaan semalam memang
belum tuntas, masih perlu dijelaskan kembali. Namanya Umam, sosok yang penuh
keyakinan bahwa ilmu dapat diambil dari siapa saja. Tidak merendahkan sesama,
bahkan bila perlu ia akan belajar kepada siapapun yang dianggapnya lebih mampu.
Sahabat seperjuangan Rusydi ini, walaupun tidak memiliki kegeniusan yang sama
namun ia punya kedewasaan bersikap secara emosional dan spiritual lebih unggul.
“Aku ga ngafal sih, karena ini menurutku gak terlalu penting. Tapi aku
paham, coba ya kujelaskan!” jawab Rusydi.
Di luar hawa dingin masih tak berubah. Angin juga tak mau mengalahkan
diri. Namun Rusydi dan Umam telah begitu yakin dengan persiapan jauh-jauh hari.
Umam keluar lebih dahulu, dia bergegas ke depan rumah untuk menunggu Rusydi.
“Jeh, kamu pakek jaket maba? Sudah dua tahun di Mesir loh!” tanya
Rusydi.(Jaket maba ialah julukan buat jaket tebal yang biasanya dibeli mahasiswa
baru setibanya di Mesir. Kebiasaanya mahasiswa baru akan selalu mengenakannya
kemanapun mereka bepergian bersama-sama)
“Iya, emang jaket ini di-design hanya untuk dua tahun? Kan
fungsinya waktu puncak musim dingin tiba,” jawab Umam.
“Iya, tapi …’
“Kalo kamu merasa gengsi, kamu tau ga? Sudah berapa banyak senior kita
yang pulang ke Indonesia merasakan sakit tulang saking sering kedinginan.
Anehnya, orang Mesir saja yang tinggal di daerah iklimnya sendiri mau pakai
jaket ini. Lah kita, orang Asia!?”
Rusydi mengangguk diam. Kini mereka hampir sampai, tak sadar perbedaan
pendapat tadi membuat jarak terasa dekat.
“Bittaufiq! Doaa lahh!” pinta Umam.
“Yaa rabb, aku yakin dengan maddah yang satu ini, pasti bisa!”
“Ya, semoga dapat mumtaz lagi, Rusy!”
Baca juga; Az-Zamakhsyari, Sang Mufasir Balaghah
***
Sejuk. Tanaman begitu hijau. Pohon-pohon seakan bersujud, bertasbih
memuji segenap rasa syukur. Bahkan mendoakan bagi mereka yang merasa gagal
menjawab soal. Pemandangan kampus tampak jauh berbeda dari biasanya, mata dari
berbagai sudut saling bertatapan. Buku-buku dibuka. Lembaran-lembaran talkhisan
juga ikut berjatuhan. Andaikan sebelumnya suasana hari-hari kuliah begini,
kita tak perlu bersusah payah memaksa diri menghafal, waktu jadwal ujian telah
diumumkan. Bahkan sampai mematikan jadwal piket masak harian. Ya, itu karena
jauh-jauh hari kita telah mempersiapkan.
Rusydi tampak keluar lebih duluan. Hal yang telah menjadi biasa baginya.
Mata orang-orang memandang dia selalu tampil berbeda karena kegeniusannya. Dari
dulu, ia tak pernah merasa gelisah usai keluar dari ruang ujian. Namun kali ini
berbeda, mukanya tampak kurang cerah. Bermuram durja nan nelangsa.
Dia mengambil tempat di bawah pohon rindang. Tangannya mengacak-acak
kembali muqarrar. Memastikan jawaban yang ia tulis benar, karena hati masih ragu tak
yakin. Saking tidak tenangnya, ia bahkan bertanya ke sana kemari.
“Gimana Rusy?” Sapa Umam tiba-tiba.
“Eh, Mam. Baru selesai ya?”
“Ya, aku tadi langsung ke
musala tadi untuk shalat dhuha. Wajahmu kok ga tenang begitu sih?” tanya
Umam.
“Aku silap, definisi yang aku jelaskan sama kamu tadi malah jadi soal di
paketku. Kemudian ada beberapa maklumat kayak tiba-tiba hilang. Padahal
semalaman aku udah Haqqul yaqin ngafal,”
“Lah, kamu ga coba shalawat tadi?”
“Udahh,”
“Hmmm, tenang Rusy. Jangan bahas lagi. Untuk sekarang simpan saja muqarrar
dan tawakkal hasilnya sama Allah! Terus coba kamu renungi, apa yang membuat hal
itu terjadi?”
“Maksudmu?” Tanya Rusydi.
“Aku gatau pasti sih. Apakah tips ini sesuai. Tapi menurutku, kerap kali
kita tak sadar Allah sedang menguji kita lewat berbagai keresahan. Salah satu
caranya itu menyelesaikan masalahnya dengan tawakkal. Artinya tawakkal itu
salah satu jalan keluar dari permasalahan. Kemudian evaluasi, termasuk
ragu-ragu tadi, mungkin ada penyebabnya yang didatangkan untuk menguji kamu,”
Umam mencoba menenangkan.
“Aduh, Mam. Kok kamu malah membutku tambah pening,” gerutu Rusydi.
Umam hanya tersenyum kecil, “Kita pulang saja dulu,” ajaknya.
“Sebentar!”
“Udahlah! Memang masih dapat diulang jawabannya? Kan enggak! Aku yakin
kamu itu diuji sama Allah karena subuhmu yang masih berantakan!” bentak Umam.
Ia tak sadar berucap terlampau gamblang.
“Tapi, itu kan bisa di-qadha, aku juga ga sengaja,”
“Emang bisa? Konsep qada shalat begitu? Sengaja tidur telat-telat tiap
malam kemudian subuhnya ditelantarin? Ya, aku tau alasanmu itu belajar. Tapi
hukum shalat subuh tepat waktu itu wajib. Ga boleh melewati waktu yang telah
ditentukan. Jika memang boleh, untuk apa dibataskan waktu shalatnya! Kalau
subuhmu masih telat karena begadang, maka tidur cepat itu wajib,”
Rusydi mulai terdiam.
“Dulu itu, di masa Umar bin Khattab ada seorang yang mengutamakan shalat tahajud tapi jamaah subuh terlewatkan. Sayyidina al-Faruq kemudian berpesan
lebih baik subuhnya berjamaah ketimbang tahajud berjalan lancar. Begitu juga
kamu, shalat subuh itu wajib, belajar tidak harus larut malam juga,” Umam
mencoba menenangkan sembari merangkul.
“Tapi, Mam. Aku harus mempertahankan nilai ini. Bertahan lebih susah
dari mendapatkan,” keluh Rusydi. Keduanya kini berjalan sejajar pulang.
“Hmm, barangkali kisah ini jadi penenang kondisimu. Tentang orang yang
begitu tawakal usai ikut ujian. Dia punya prinsip, setelah keluar dari
ruang ujian gak boleh lagi membuka dan mengecek muqarrar. Bukan tanpa
tujuan, tetapi agar tidak menurunkan rasa tawakalnya kepada Allah. Ia juga tak
menggubris tiap orang yang mengajaknya membahas ulang soal. Baginya, yang sudah
berlalu biarkan jadi pelajaran. Dengan shalat dhuha, dia akan kembali berjuang
untuk tetap pada semangat yang sama menyelesaikan seluruh rentetan maddah yang diujiankan.
Kita masih punya beberapa maddah lagi yang harus diselesaikan. Aku memang tak pernah bisa mengunggulimu dalam dunia akademik. Jadi, kurasa kamu lebih paham kalo tiap maddah juga punya hak diberikan usaha sebesar-besarnya. Serahkan maddah yang telah berlalu kepada Allah, berprasangka baiklah kepada-Nya. Lalu, pesatkan kembali semangat untuk maddah yang akan dihadapi. ” Seru Umam tampak lebih bersemangat.
Rusydi mengangguk, “Kamu benar, Mam. Subuhku harus diperbaiki. Oke,
tolong nanti subuh dibangunkan!” Pinta Rusydi.
“Yah, emang pernah aku ga bangunin?” balas Umam.
“Hahaha, nanti waktu tidur juga harus lebih awal, ya?”
“Nah, itu syaratnya!”
“Bismillah,”
Di flat megah, burung-burung hinggap. Di antaranya, ada dua yang tampak saling berebut makanan. Sepanjang jalan orang lalu lalang. Sejatinya, langkah kaki memang tak akan bergerak andai salah satunya tak mau mengalah dan mempersilahkan kaki yang lain untuk maju ke depan. Jika kaki kanan dan kiri tetap pada posisinya, tubuh pasti akan terus diam di tempat. Oleh karena itu, kalau mau maju, berubah dan bergerak ke arah lebih baik. Tentu saja dibutuhkan kedua kaki. Begitu juga kehidupan, tak selamanya IQ (Intellectual Quotient) selalu di depan karena kecerdasan. Akan tetapi, diperlukan SI (Spiritual Intelligence) dan EI (Emotional Intelligence) dalam mengontrol jiwa dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yang Berkuasa. Kedua insan itu berjanji untuk saling mengingatkan. Memperbaiki diri dan terus belajar hingga panggilan ilahi. Berharap ilmu menjadi wasilah mencapai ridha-Nya. []
*Mahasiswa Al-Azhar tingkat 4 Jurusan Lughah Arabiah
Posting Komentar