Catatan Journeylistic Kru Media KMA ke Tanta
Oleh: Siti Humaira*
Dok. KMA |
Hal yang lebih istimewa adalah saya
dan dua teman saya turut meramaikan
rihlah ini, padahal kami bukan bagian dari kru. Ah, anggap saja kami tamu
spesial, atau mahasiswa baru yang mau di-upgrading oleh para senior
Media KMA.
Siapalah yang tidak senang
kalau diajak jalan-jalan. Ini kali pertama kami keluar dari Kairo menuju
provinsi yang ‘katanya’ bernuansa pedesaan, dipenuhi ladang pertanian hijau dan
ramah lingkungan. Kepadatan Darrasah dan lintas membosankan bolak balik
Asyir-Sabi-Darrasah, membuat kami tak ragu lagi memenuhi tawaran ini.
Setelah memeriksa linimasa Google Maps yang saya punya,
perjalanan selama kurang lebih dua jam ini benar-benar memenuhi ekpetasi.
Melalui bingkai jendela mobil, kami menikmati hamparan ladang hijau dan formasi
pohon kurma yang tumbuh sembarangan. Pemandangan yang sedikit banyaknya
menyembuhkan rasa rindu akan kampung halaman.
Sejak tadi, saya menanti-nanti ladang sawah menyapa penglihatan. Namun, agaknya harapan saya terlalu tinggi. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk
mengeluarkan ponsel dan mengabadikan momen hijau ini. Tidak lain untuk di-posting
di akun instagram pribadi, tak lupa menambahkan musik favorit biar makin hits.
Jam menunjukkan pukul sebelas
kurang beberapa menit, kami tiba di Desa
Daqadus, tempat dilahirkannya Al-Imam Ad-Du’ah Syekh Mutawalli Asy-Syarawi,
sekaligus lokasi beliau dikebumikan. Kata senior, tempat ini belum masuk ke
wilayah Thanta, melainkan masih di Provinsi Daqahliah. Kami pun memasuki komplek pemakaman beliau,
di depannya terdapat bangunan khas madrasah yang terdiri dari beberapa tingkat.
Kabarnya, di sini terdapat maktabah, hadhanah dan Markaz Tahfidzul Quran untuk pelajar muda di sekitar
lokasi ini.
Tempat ini tampak terawat dan
bersih. Sebelum memasuki makam, kami diarahkan untuk mendengar beberapa syarahan
mengenai sosok pendekar para mufassir kontemporer ini. Kali ini,
Tgk. Kadhan Imam Maulana sebagai
pemateri, mulai merakit maklumat yang membuat kami semakin terinspirasi.
Dari banyaknya materi yang
disampaikan, salah satu yang paling membuat saya takjub adalah himmah
sang ayah dalam mendidik putranya agar kelak menjadi seorang alim.
“Setelah tamat Tsanawiyah,
sang ayah ingin menyekolahkannya ke Kairo, masuk kuliah Al-Azhar. Tapi sang
anak gak mau. Masih pingin di Zaqaziq sama kawan-kawan. Masih pingin menekuni dunia tani. Tapi sang ayah tetap kekeuh,
karena itu himmah sang ayah. Syekh Sya’rawi ini, saat mengetahui niat ayahnya, bersiasatlah beliau. ‘Bisa ni, saya
syaratkan persyaratan yang berat biar ayah terbebani.’ Di-list-lah kitab
induk yang memang
mahal. Seperti
ulum hadist, lughah, dan tafsir. Tujuannya agar ayah merasa terbebani, ‘Oo, meuhai
rupajih. Bek lah ta ba aneuk keudeh.’ Ternyata, sang ayah pas liat list
itu, dibelik semuanya. Seraya pas jumpa anaknya berkata, ‘Nak, Ayah tau ni,
yang kamu tulis ini bukan diktat kuliahmu. Bukan tingkat kamu untuk baca semua
ini. Tapi ayah belik semua ini untuk kamu untuk apa? Agar kamu suatu saat
menempuh ilmu dari kitab-kitab yang ayah beli ini.’ Terenyuh Syekh Sya’rawi di situ. Sedih dan
tersentuh batinnya. Sejak saat itu, beliau mengokohkan niatnya untuk menjadi
thalibul ilmi.” Demikian paparan Tgk. Kadhan.
Setelah itu, kami memasuki
makam dan berdoa di sana. Lantas makan siang dan melaksanakan Shalat Zuhur. Tak lupa,
setelah berfoto bersama kami bersiap-siap meninggalkan tempat ini dan melanjutkan
perjalanan ke destinasi selanjutnya.
Dok. KMA |
Kuliyah Al-Quran Al-Azhar
Di depan sebuah gedung
fakultas bertuliskan Kulliyah Al-Quran al-Karim lil Qiraat wa Ulumiha, kami
telah disambut oleh seorang senior asal KMA yang berkuliah di fakultas ini,
Tgk. Ronald Hilman. Setelah memasuki
gedung, kami bertemu dengan ‘amid kuliah, Duktur Abdul Fattah Khidhr.
Beliau bersama asatidz pendamping lainnya, menuntun kami ke beberapa
ruangan di dalam gedung fakultas. Dimulai dari ruang muhadharah. Lalu dengan antusiasnya beliau
memaparkan sistem belajar mahasiswa di kuliah ini. Selanjutnya, kami dibawa ke
auditorium luas, dilengkapi dengan susunan kursi aundience yang teratur. Kami
mulai mengisi kursi terdepan dan duduk menyimak seraya ikut meramaikan ruang
diskusi. Beberapa dari kami melempar pertanyaan seputar perkuliahan. Perhatian
saya silih berganti tertuju kepada para penutur Bahasa Arab fusha dalam ruangan
ini.
Di akhir pembicaraan, seorang
senior meminta diberikan nasehat kepada kami semua sebagai penuntut ilmu agar
kami tidak menyesal di kemudian hari. Setelah saya simpulkan, ada tiga poin
besar yang Duktur sampaikan dalam petuah berharganya,
Yang pertama, ij’al
‘amalaka lillah. Jadikan setiap amal perbuatanmu semata-mata karena
mengharap keridhaan Allah. Hal ini berpulang kepada firman Allah, Inna
shalaati wa nusuki wa mahyaya wa mamaati lillahi rabbil aalamiin. Senada
dengan sabda Rasulullah Saw. Innamal a’maalu binniyyat.
Yang kedua, i’lam annaka
wa anta tathlubul ‘ilm, anta fi buhbuhatil jannah, fi dauhatil jannah.
Menempuh jalan menuntul ilmu, berarti kita berada di jalan menuju surga. Kita
berada di bawah naungan calon penghuni surga. Sebagaimana tutur Rasulullah Saw.
Man salaka thariqan yaltamisu fiihi ‘ilman, sahhalallahu lahu thariqan ilal
jannah.
Yang ketiga, sebarkanlah
agamamu dengan akhlak Islam. Dengan mencintai saudaramu sebagaimana engkau
mencintai dirimu sendiri. Wal islam yaqul, eh? Hibbi li akhiika maa tuhibbu
linafsih. Ini menjadi wasilah hidayah bagi non-muslim, untuk memeluk agama
kedamaian kita, agama Islam, agama yang berakhlak Al-Quran.
Terakhir, prosesi penyerahan
cinderamata di ruang ‘amid kuliyah. Tidak lupa kami mengambil beberapa dokumentasi
di setiap ruang yang kami kunjungi, begitu pun di depan gedung fakultas. Sebelum berangkat melanjutkan perjalanan,
kami bertanya-tanya kepada Tgk. Ronald, senior asal KMA yang berkuliah di sini,
seputar perkuliahan dan pengalaman beliau selama belajar di takhasus ini.
Lengkapnya, teman-teman bisa membaca di postingan akun instagram el-Asyi.
Kami mau lanjut perjalanan
dulu...
Dok. KMA |
Petang di Masjid Imam Ahmad Al-Badawi
Hembusan udara dingin mulai
terasa, waktu Magrib
pun kian mendekat, kami tiba di Masjid Imam Ahmad Al-Badawi. Arsitektur unik
yang membius pandangan, saya merasa takjub atas kemegahan masjid ini. Karena
coraknya yang berbeda dari masjid di Kairo pada umumnya. Sebelum memecahkan
rasa penasaran di dalam sana, kami dihimbau untuk berkumpul di halaman masjid
guna menyimak sedikit pemaparan mengenai sosok Imam Ahmad Al-Badawi. Dalam kesempatan ini,
Tgk. Muhammad Farhan Sufyan mengambil alih.
Imam Ahmad Al-Badawi merupakan sosok
ulama tersohor di Mesir, bahkan di tanah Arab. Karena beliau dikenal sebagai
Wali Quthb, yang dikaruniani kealiman dan karamah yang tidak biasa.
Dari banyaknya paparan yang
disampaikan oleh pemateri, satu hal yang tersemat dalam ingatan saya, adalah
himmah ibunda sang Imam dalam mendidik putra kesayangannya. Hal ini tampak dari
karamah beliau, yang mana beliau mampu bertemu dengan Rasulullah Saw. Secara yaqadhah,
tidak hanya dalam mimpi.
Tgk. Farhan menuturkan,
“Jadi, semua itu merupakan arahan dari ibunda beliau yang shalilah. Awalnya
beliau mengatakan, ‘Saya sudah belajar semua ilmu, wahai Ibunda.’ Tapi
Ibunya menjawab, ‘Kamu tidak akan mencapai orang yang besar, jika kamu belum
menemui Rasulullah.’ Setelah itu beliau bertemu dengan Rasulullah, tapi di
dalam mimpi. Ditantang lagi sama ibundanya, ‘Kamu kalau berjumpa lewat mimpi
aja itu belum hebat, tapi harus berjumpa lewat yaqadhah.’ Nah, berjumpa
lagi lewat yaqadhah. Terakhir kali beliau belum juga dianggap orang
hebat oleh uminya. ‘Kamu kalau berjumpa sekali saja yaqadhah itu masih
biasa. Pada akhirnya beliau bisa berjumpa dengan Rasulullah, yaqadhah secara
berkali-kali.”
Setelah itu, kami
memasuki masjid dan berziarah ke makam
Imam Badawi. Melaksanakan Shalat Magrib dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Dok. KMA |
Malam, di Makam Syekh Ibrahim
Dasuqi.
Dua unit mobil ini kembali
memangkas jarak. Gelap malam mulai menyelimuti, tubuh mulai kelelahan, mata pun
mulai remang-remang. Para penumpang sudah lama terlelap dengan nyaman. Lupakan
sejenak tentang story instagram padang hijau tadi atau foto-foto di Kuliyah Quran. Maaf teman, di sini tidak ada
jaringan.
Pukul delapan lewat, kami
tiba di Masjid Syekh Ibrahim Dasuqi, seorang ulama yang tidak hanya faqih,
beliau juga merupakan seorang sufi ber-tariqah Syihawiyah Al-Burhamiyah.
Karena waktu mulai menyempit,
masjid pun akan segera ditutup, kami bergegas memasuki masjid, dan menziarahi
makam Sang Syekh, lantas menyimak paparan Tgk. Zia Urrahman, sebagai pemateri
kali ini.
Syekh Ibrahim hidup semasa
dengan Imam Badawi. Beliau pernah diangkat menjadi Syaikhul Islam pada masa
Sulthan Dhahir Bairbars.
Sama seperti tokoh-tokoh
sebelumnya, hal yang paling menakjubkan bagi saya, adalah cerita mengenai sosok
orang tua atau nasab dari wali Allah ini. Orang-orang hebat selalu lahir dari
orang tua yang hebat.
“Beliau masih termasuk
keturunan ahlu bait, Al-Husainiyyah. Ibunda beliau merupakan keturunan dari Khalifah Sidi Ahmad Ar-Rifai.
Jadi juga seorang shalihah dan abidah.”
“Kalaupun Sidi Abu Hasan
Asy-Syadzili ini berjumpa dengan Syekh Ibrahim Dasuqi, berarti berjumpa melalui
ayahnya. Ayahnya merupakan orang alim juga.” Demikian paparan Tgk. Zia.
Banyak faidah,
maklumat serta pengalaman baru yang kami dapat dari perjalanan kali ini. Malam
semakin larut dan kota Kairo telah menunggu kepulangan kami.
Kesungguhan para ulama dan
peran orang tua mereka dalam perjalanan menuntut ilmu, layaknya menguatkan
tekad kita untuk meneguhkan niat dan membangkitkan semangat. Walapun orang tua
kita tidak pernah membelikan kitab-kitab besar untuk kita, ataupun menantang
kita untuk bertemu Rasulullah, bahkan kita tidak terdeteksi punya nasab sampai
ke ahlu bait, tidaklah menjadi alasan untuk berhenti mewarisi himmah para ulama
terdahulu.
Bukankah keberadaan kita hari
ini di tanah Al-Azhar merupakan amanah dan harapan besar orang tua kita?
Bukankah terlahir dalam agama Islam, menuntut ilmu agama serta menelusuri jalan
para ulama, merupakan nasab mulia menuju Rasulullah? Lantas apa lagi yang kita
keluhkan?
Semoga Allah Swt. Senantiasa
menganugerahi ketulusan dan himmah yang kuat bagi kita para penuntut
ilmu, agar kelak kita tidak menyesal telah menyia-nyiakan nikmat terbesar ini.
Sampai hari ini, separuh hati
saya masih tertinggal di bumi Thanta. Entah siapa yang berkenan menjemputnya
kembali?[]
*Penulis merupakan mahasiswi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo
Posting Komentar