Maqashid Cinta
Sumber: Google |
Oleh: Lam Alif*
Baca dahulu: "Kalo Memang Dia, Takkan Kemana"
Amar kembali menunjukkan padaku pesan WhatsApp yang sudah lama tersimpan di hp-nya. Pesan yang tak akan pernah ia hapus. Pesan yang berisi jawaban dari seorang gadis Malaysia. Tujuh bulan Amar bersabar menanti jawaban dari gadis itu.
Namanya Hanan Humaira, memang aku yang mengenalkannya pada teman terdekatku ini; Amar Al-Hafiz. Awalnya kukenalkan Amar pada Hanan dengan tujuan agar Ia dapat mengajarkan Hanan dan teman-temanya berbagai diktat perkuliahan semester lima jurusan Tafsir. Namun ternyata perkenalan itu malah menjadi suatu plot kisah penting dalam hidup Amar. Yah... selain merasa bersalah, aku juga merasa harus bertanggungjawab atas apa yang tengah menimpanya.
“...sekali lagi saya memohon maaf ustaz.” Kalimat akhir dari rentetan pesan panjang yang dikirim si gadis Malaysia.
Betapa panjang pesan itu, yang intinya; Ia menolak Amar.
Terakhir kali Amar curhat kepadaku mengenai Hanan adalah dua tahun yang lalu. Saat kami masih berada di semester akhir kuliah di Universitas Al Azhar, Mesir. Semester akhir memang fase di mana seorang pemuda seperti kami mulai mencari pasangan hidupnya. Sebab kami paham aturan agama, paham batas-batasan antara pria dan wanita sehingga ketika hati butuh secercah cinta, jalan keluarnya hanyalah dengan menghalalkan seorang permaisuri yang cantik dan salihah.
Dengan dorongan perasaan itulah, Amar sangat ingin menyampaikan perasaan dalam hatinya kepada Hanan. Seorang wanita yang berdarah campuran Aceh-Malaysia.
Saat itu aku hanya berkata “Kalau memang dia, takkan kemana, Mar. Nanti jika sudah saatnya, langsung kau jemput”. Sungguh nasehat yang tak mungkin bisa meredakan gejolak hati seorang yang sedang jatuh cinta.
Awalnya kukira kisah Amar dan Hanan bukanlah kisah yang begitu menyentuh, hanya kisah biasa dengan plot yang datar.
Mereka bertemu di kelas bimbel - Amar memiliki perasaan kepada Hanan dan Amar menyampaikan perasaannya - dan... Hanan menolak Amar.
Ya... hanya sebatas itu, mereka tidak punya kenangan apapun selain jumpa di kelas bimbel. Mereka pun tidak berpacaran, gak nge-date di restoran, gak pernah jalan berduaan, gak bergenggaman tangan mengelilingi kota menikmati surya perlahan menghilang, atau melakukan hal lain yang dianggap sebuah pelanggaran.
Dengan kisah sesimpel ini, seharusnya ketika perasaannya tak terbalas, Amar bisa dengan mudah melupakan Hanan.
Namun, sepertinya cinta Amar bukan cinta biasa. Amar seorang yang hasil tes personalitinya versi “16 personalities” adalah tipe Advokat; seorang yang introver, visioner, intuitif, lebih emosional ketimbang rasional, punya sisi kesetiaan yang kuat, serta seorang yang bergerak berdasarkan sebuah tekad keyakinan dari dalam hati. Ia tak akan melangkah jika ia tak yakin, namun bila ia telah yakin tak ada yang dapat menahan langkahnya. Ia rela mengorbankan apapun demi menggapai apa yang ia tuju.
Masalahnya adalah ketika ia mencintai seseorang yang tak mencintainya. Saat ia berjuang demi orang yang tak ingin diperjuangkan.
Dua tahun Amar bersabar menanti kelulusan gadis Malaysia itu. Walau sudah ditolak, Amar tetap kukuh untuk berjuang. Rencananya setelah wisuda, Amar ingin kembali mengajukan proposal untuk Hanan. Proposal yang dahulu dikembalikan Hanan dengan alasan bahwa ia 'tak siap'.
Ya... 'tak siap' yang terkadang kita para lelaki bisa salah mengartikan. Bagi Hanan kata 'tak siap' itu berarti kata 'tidak' yang disampaikan secara halus. Namun bagi Amar, 'tak siap' itu adalah sebuah 'harapan' yang harus diperjuangkan.
Kisah mereka pun berlanjut menuju sebuah akhir yang 'indah', tergantung cara kita melihat keindahan itu sendiri.
***
Sumber: Google |
“Aku harus ke bandara Med. Menemui Hanan, bertanya terus terang padanya tentang makna tak siapnya dahulu. Sebelum semuanya terlambat. Mungkin saja aku masih punya kesempatan untuk melamarnya lagi sebelum ia dilamar orang”. Ujar Amar sembari mencoba bangkit dari pembaringannya.
Seminggu sudah Amar terkapar di atas kasur. Fisiknya sehat-sehat saja, namun batinnya bergejolak setelah minggu lalu ia mendapat kabar bahwa Hanan harus buru-buru pulang ke kampung halamannya hari ini.
“Harus buru-buru pulang?” pikiran Amar tak karuan memprediksi beragam kemungkinan alasan Hanan harus segera pulang ke kampung halamannya.
“Med, apa mungkin ada seorang pemuda Malaysia di sana yang sudah melamar Hanan, sehingga ia harus buru-buru pulang?” Amar menodongku dengan sebuah prediksi terburuk yang dipikirkannya.
Aku tak menjawab.
Aku khawatir, keadaan Amar saat ini tak baik. Pikirannya kacau. Hatinya masih bercampur aduk. Dari ekspresinya aku tahu, ia masih trauma dan takut ditolak, namun di sisi lain ia masih ingin berjuang. Yang dibutuhkannya sekarang hanyalah sebuah kepastian. Agar ia tahu langkah ke depan; Bertahan atau merelakan.
Dengan membopong tubuh Amar yang tampak lesu, kami berangkat menuju bandara. Berharap masih sempat berjumpa dengan Hanan sebelum ia masuk ke ruang check-in.
Taksi yang kami tumpangi menjajal jalanan dengan sangat cepat. Hanya sekitar dua puluh menit kami sudah sampai di bandara. Kami diturunkan tepat di bawah tulisan besar yang terpampang di Terminal dua Cairo International Airport itu; 'Departure'.
Karena tak banyak turis berlalu-lalang hari ini, dengan mudah aku dan Amar menemui sekumpulan gadis berwajah Asia Tenggara dengan pakaian yang biasa mereka kenakan; kerudung panjang menutupi dada, gamis menjulur hingga menutupi mata kaki, warna-warna lembut yang tak mencolok, outfit yang sederhana tapi anggun dipandang mata. Tidak salah lagi, itu pasti Hanan dan teman-temannya.
Kami mendekati kerumunan itu. Aku tak melihat Hanan. Amar juga tak melihatnya.
Aku dan Amar semakin mendekat, hingga beberapa dari mereka menyadari kedatangan kami. Sontak mereka sedikit membuka celah, membiarkan kami melihat seseorang yang berada di pusat kerumunan itu.
Gadis itu duduk di atas kursi roda. Mengenakan kerudung kuning, baju gamis hitam, yang dibalut dengan jaket balto panjang bewarna coklat muda.
"Hanan..." gumam Amar.
Tak seperti biasanya, gadis itu tampak lesu, wajahnya pucat, sorot matanya yang biasa cerah penuh semangat, kali ini tampak redup. Ia seperti bukan dirinya. Hanan sakit.
Menyadari kedatangan Amar, Hanan menoleh dan sedikit memberi senyum. Senyum tanpa ekspresi, agaknya senyum untuk sedikit menutupi rasa sakit yang tengah dialaminya.
Amar bingung harus memberi reaksi apa. Ia tak tahu kalau Hanan sakit. Tak ada yang memberi kabar. Sakit apa? separah apa sakitnya? tak ada yang ia tahu. Rasanya ia ingin mencaci dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia tak dapat berbuat apa-apa saat orang yang dicintainya tengah sakit parah, alih-alih membantu, Hanan sakit saja baru sekarang ia tahu.
"Terimakasih sudah datang Ustaz. Maaf Hanan tak beri tahu Ustaz jika saya akan pulang hari ini." Ucap Hanan lirih, napasnya tampak tersengal.
Amar tak dapat menjawab. Ia menghela napas. Mencoba untuk tenang. Segala macam rencana yang sudah ia siapkan, seluruhnya diurungkan. Ia ingin berkata sesuatu namun lidahnya kelu.
"Tampaknya ada sesuatu yang ingin Ustaz sampaikan ke Hanan kah?" tanya Hanan. Ia bisa dengan jelas membaca eskpresi Amar.
Amar menggeleng sambil memejamkan mata, tak tega melihat keadaan Hanan saat ini.
"Tak usah dipendam Ustaz. Silahkan sampaikan. Hanan akan jawab pertanyaan Ustaz. Kita tak tahu kapan akan berjumpa lagi."
Amar tetap diam.
"Saya tau, bahwa Ustaz masih simpan perasaan itu buat saya. Perasaan dua tahun yang lalu pernah Ustaz sampaikan ke saya. Yang dahulu saya kata ke Ustaz bahwa saya tak siap. Saya pun yakin dengan rasa setia dalam hati Ustaz itu. Saya pun tahu betapa tulus Ustaz berikan rasa itu kepada saya.
Terimakasih banyak Ustaz, sudah baik ke saya. Sudah banyak sekali membantu saya dalam belajar maupun di luar belajar. Kebaikan-kebaikan Ustaz selama ini pun belum bisa saya balas. Dan lelaki seperti Ustaz sebenarnya sangat disayangkan jika tak diterima.
Tapi Ustaz... Mohon maaf... saya tak bisa.
Saya pun tak tahu kenapa...
Kenapa rasa itu tak dapat sampai pada saya. Seperti ada 'hijab' yang saya pun tak tahu apa itu.
Saya hargai perasaan Ustaz dan saya tetap hargai Ustaz sebagai guru saya." Entah kenapa Hanan bisa membaca semuanya. Semua rencana Amar, apa yang ingin ia sampaikan, apa yang ingin ia ketahui, segalanya dapat dibaca oleh Hanan.
"Sudahlah Hanan… Tak perlu kita bahas ini sekarang. Saat ini Ustaz dan teman-teman hanya ingin Hanan kembali sehat, kembali semangat dan ceria, seperti Hanan yang dulu." Jawab Amar.
"Tapi Hanan harus bahas ini Ustaz. Agar tak ada rasa sesal sebelum kita berpisah. Agar bisa jelas segala hal yang mungkin bagi Ustaz masih belum jelas." Suara Hanan semakin lirih.
"Saya begitu ingin menjaga perasaan Ustaz agar hati Ustaz tak sakit, dan saya selalu menghargai Ustaz sebagai guru saya.
Dahulu Ustaz pernah sampaikan bahwa setiap perintah syariat itu ada tujuan dan maqshad-nya yang disebut sebagai maqashid syariah.
Jika memang begitu, berarti cinta pun mesti ada maqshad-nya Ustaz. Bahwa Kita semua hanyalah sebuah wasilah untuk sampai kepada maqshad cinta itu.
Tolong jadikan saya sebagai wasilah saja, jangan sebagai maqshad dan tujuan akhir dari cinta Ustaz. Sehingga jika saya pergi, Ustaz masih akan menjumpai wasilah lain untuk sampai kepada maqshad cinta itu.
Siapapun yang nantinya Allah pilihkan untuk menjadi wasilah bagi Ustaz, hargailah ia. Cintai ia seperti Ustaz mencintai saya, dengan ketulusan, kesetiaan, pengorbanan, namun tetap jadikan ia wasilah, bukan tujuan akhir dari cinta. Karena tujuan akhir cinta hanyalah untuk Yang Maha Kuasa.” Hanan mengeluarkan seluruh isi hatinya, matanya basah tak kuat menahan kecamuk dalam dirinya.
Amar mencoba untuk memberi senyum, “Terimakasih atas segalanya, Hanan...” Hanya kata itu yang sanggup ia utarakan.
“Saya yang seharusnya berterimakasih Ustaz, atas banyak kebaikan Ustaz yang mungkin belum dapat saya balas. Izinkan saya untuk berangkat Ustaz.” Hanan menengkupkan kedua tangannya di dada, meminta pamit kepada kami.
Perlahan kursi rodanya ia gerakkan menuju ruang check-in. Amar terpaku. Memandang Hanan yang terus menjauh.
Beberapa meter sebelum melewati pintu pemeriksaan, Hanan menoleh dengan senyum khasnya “Ustaz... teruslah berjalan. Perjalanan kita masih panjang. Masih banyak yang harus kita pikirkan dan lakukan untuk umat.” Sahut Hanan.
Kemudian... Pergi.
Ya... cinta memang tak bisa dipaksakan.
***
Kini aku baru paham apa 'hijab' yang disebutkan oleh Hanan dipertemuan itu. 'Hijab" yang membuat mereka tak dapat bersatu. 'Hijab' yang tak dapat dilawan oleh setiap makhluk, Hijab itu adalah takdir.
'Takdir' yang akhirnya membawa bahagia untuk mereka berdua.
Setahun setelah pertemuan itu, Amar menikahi seorang gadis asal Aceh, yang sebenarnya sudah lama menyimpan doa untuknya.
Nanti, jika ada waktu akan kuceritakan kisah mereka berdua. Kisah yang tak kalah hebat. Kisah tentang tawakal, perjuangan, kesabaran, kesetiaan, penantian, saling percaya, saling menguatkan, saling membantu untuk sampai menuju maqshad cinta; Cinta kepada Sang Pemilik Semesta.
Ya... cinta adalah cinta itu sendiri. Ia Suci, jujur, murni, tulus, tanpa perlu banyak alasan dalam menerimanya.
Hei kawan...
Jika kau memang mencintai karena Allah, kau tak akan pernah kecewa.
Jika kau memang mencintai karena Allah, kau akan ridha dengan segala ketetapan-Nya.
Jika kau memang mencintai karena Allah, kau tak-kan mungkin melanggar aturan-Nya.
***
Editor: Aja Chairul Husnah
Posting Komentar