Fakkar, Dari Perjalanannya dengan Al-Quran Hingga Khatamkan Qiraat Asyarah Sughra
(Foto Fakkar (kanan) dan sang guru, Syekh Abdul Qadir al Djibuti (kiri) saat menerima ijazah sanad. Foto Dokumen Pribadi) |
Terpampang jelas simpul senyum seorang pemuda berkulit langsat yang baru saja mengkhatamkan sepuluh riwayat Qiraat Sughra. Fakkar, demikian nama pemuda ini, ada juga yang memanggilnya “Syekh” lantaran perawakannya yang kental dengan jubah dan akrab dengan ilmu agama. Beliau merupakan putra dari bapak Khaidir dan Ibu Mardiana, pasangan yang berasal dari Aceh Besar.
Segelas kopi faransawi menemani perbincangan kami malam itu. Gaya
beliau yang santai ala-ala “the man enjoying his life” membuat pembicaraan
semakin rileks. Saya membuka perbincangan dengan sebuah pertanyaan klise.
"Bang, pernah
ikut daurah quran khusus gitu untuk menghafal quran sebelum masuk
pesantren?"
“Hahaha, Daurah-daurah
yang seperti itu kapan adanya?”
jawab beliau sambil tertawa.
“Dulu masa-masa kecil kita mana ada itu (daurah), dunia aja belum ada” sambungya dengan penuh canda.
“Untuk Quran belum se-booming sekarang, anak
kecil sekarang yang gak bisa bicara aja udah hafal 30 juz Quran" tambahnya lagi lengkap dengan
logat Aceh besarnya, sambil tertawa renyah.
Saya yang mendengar jawaban itu ikut terkekeh, tak sanggup menahan tawa.
Pemuda yang sudah akrab dengan Al-Quran sejak di bangku Madrasah Tsanawiyah Madrasah ulumul Quran, Pagar Air, Aceh Besar
ini mulai menampakkan gegalat-gelagat recehnya. Ya, bisa diakui, tren daurah
khusus menghafal Al-Quran memang baru
enam tahun terakhir mulai hits di Aceh. Apa lagi menghafal khusus
di hadapan sang guru yang memiliki sanad bersambung hingga Rasulullah saw,
rasanya masih sangat langka, bahkan di Indonesia.
Mengenai apa itu Qiraat Asyarah Sughra, belakangan ini saya baru tau bahwa Qiraat Asyarah Sughra merupakan
sepuluh cara membaca Al-Quran yang menjadi pegangan di seluruh pelosok dunia. Penjelasan lebih lanjutnya, “Qiraat” memiliki arti bacaan-bacaan, yakni bacaan yang memiliki beberapa tata cara
baca dalam Al-Quran dengan kaidah yang telah ditentukan di setiap bentuk bacaan.
Asyarah artinya sepuluh, yaitu Imam Qiraat yang sepuluh, Imam 'Ashim, Imam
Nafi', Imam Ibnu Katsir, Imam Abu 'Amr, Imam Kisa'i, Imam Ibnu 'Amir dan Imam
Hamzah. Ketujuh qiraat imam ini terkumpul dalam kitab Mandhumah Syatibiyah
yang dikarang oleh Imam Syatibi. Tiga imam qiraat lain, yaitu Imam Abu Ja'far,
Imam Ya'qub dan Imam Khalaf Al-'Asyir terkumpul dalam kitab Mandhumah
Ad-Dhurrah yang dikarang oleh Imam Jazari. Inilah kesepuluh imam qiraat
yang memiliki tata cara baca dan kaidah berbeda dalam Al-Quran.
Di setiap Imam
Qiraat memiliki dua rawi, maka total rawi dari sepuluh Imam Qiraat ialah dua puluh rawi. Rawi ialah
imam yang mengambil cara baca Al-Quran dari Imam Qiraat. Lalu, di setiap rawi memiliki satu thariqah. Nah, satu thariqah inilah yang disebut
dengan Sughra. Bagaimana dengan Kubra? ya, setiap rawi memiliki banyak thariqah-nya.
Pertanyaan yang sering mengganjal di antara kita adalah mengapa banyak cara dalam membaca Al-Quran? Jawabannya, lantaran Al-Quran
diturunkan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah Saw. dengan Ahruf Sab'ah (Tujuh cara baca),
lalu Rasulullah Saw. membacakannya kepada setiap sahabat dengan bacaan yang berbeda dan
perbedaan inilah saling melengkapi dalam lafaz dan makna Al-Quran itu sendiri. Para
sahabat yang dibacakan qiraat yang berbeda-beda ini kemudian diutus oleh
Rasulullah Saw. ke negeri-negeri yang beliau tentukan. Demikian penjelasan
singkatnya.
Perjalanan Fakkar Menyelesaikan Qiraat Asyarah Sughra
Fakkar memang sudah tertarik dengan ilmu-ilmu Al-Quran dan qiraat sejak masih remaja. Beliau sudah mengkhatamkan Al-Quran sejak di pondoknya saat duduk di bangku kelas 1 Aliyah Madrasah Ulumul Quran, Pagar Air. Kemudian Saat menginjakkan kaki di "Negeri Kinanah", atas rekomendasi Tgk. Zaky Mubarrak beliau masuk ke Lembaga Muassasah Li Ihya Turats di bawah bimbingan Syekh Abdul Qadir. Dari sinilah awal kali beliau menyetorkan hafalan qiraat pertama yaitu Qiraat Imam 'Ashim dengan dua riwayatnya, riwayat Hafs dan Syu'bah. Beliau juga memilih tafsir sebagai jurusan pinangannya dari fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar. Dua fokus ini jelas merupakan paduan serasi untuk mendalami ilmu-ilmu Al Quran.
Guru beliau, Syekh Abdul Qadir merupakan
murid langsung dari Syekh Ali Jum’ah Hafizhahullah dan belajar Ushul Fiqih
langsung bersama Syekh Thaha Rayyan Rahimahullah langsung di kediaman sang guru. Dalam jalur periwayatan qiraat, beliau
mengambilnya melalui Syekh Nabil Muhammad
Ali yang juga merupakan guru qiraat di Muassasah Li
Ihya Turats dan juga mengambil
dari Syekh Ba’bullah dalam Qiraat Ashim riwayat Hafs, dua ulama qiraat dari Mesir. Dalam
mengajarkan Al-Qur’an, Maulana Syekh sangat memperhatikan dua hal yaitu:
praktek langsung dan teori ilmu Tajwid. Ditambah lagi sebelum murid diizinkan
membaca di hadapan beliau, sang murid harus memenuhi dua Syarat utama, yaitu:
iltizam dan adab. Untuk praktek langsung Maulana Syekh sangat detail
memperhatikan pengucapan huruf yang keluar dari mulut muridnya.
Praktik ini secara tidak langsung diturunkan pada murid beliau, Fakkar.
Dalam menerima hafalan, beliau juga sangat memerhatikan dua hal ini. Tak jarang
di tengah-tengah menerima setoran hafalan Fakkar berhenti sejenak menyebutkan
sifat-sifat huruf sambil mempraktikkan makhraj yang benar keluarnya huruf
hijaiyah tersebut seraya memperbaiki bacaan si penghafal.
Fakkar awal kali mulai menyetorkan hafalannya dengan qiraat pada tahun 2018, saat masih
duduk di bangku Daurah Bahasa dengan mengambil Qiraat Imam
‘Ashim dengan 2 riwayatnya, riwayat Hafs dan Syu’bah sesuai rekomendasi sang guru. Kemudian
dilanjutkan dengan Qiraat Imam Nafi’ riwayat Warsy di tahun 2019, Qiraat Ashabus Silah
(Qiraat Imam Nafi’ riwayat Qalun, Qiraat Imam Ibnu Katsir dengan 2 riwayatnya,
riwayat Al Bazziy dan Qunbul serta Qiraat Imam Abu Ja’far dengan 2 riwayatnya,
riwayat Ibn Wardan dan Ibn Jammaz) di
tahun 2020. Setelahnya Qiraat Imam Abu ‘Amr dengan 2
riwayatnya, riwayat Ad Durri dan As Susi dan Qiraat Imam Ya’qub dengan 2 riwayatnya,
riwayat Ruwais dan Rauh di tahun
yang sama, Qiraat Imam Kisa’i dengan 2 riwayatnya, riwayat
Abu Al Harits dan Ad Durri, Qiraat Imam Khalaf dengan 2 riwayatnya, riwayat
Ishaq dan Idris di tahun 2021 dan Qiraat Imam Ibn ‘Amir dan Imam Hamzah adalah qiraat terakhir yang beliau
setorkan kepada Syekh Abdul Qadir.
Pengambilan seluruh jalur riwayat Qiraat Asyarah Sughra dengan
cara menghafal (hifzan) ini beliau
tempuh dalam waktu kurang lebih 5 tahun bertepatan dengan selesainya studi
Sarjana di Universitas Al Azhar, Kairo. Tempat
pada tanggal 9, Agustus 2022, Fakkar menyelesaikan qiraat yang kesepuluhnya. Di hadapan
Syekh Abdul Qadir dan para mahasiswa Aceh yang tergabung dalam komunitas halaqah,
Fakkar membaca setoran akhir dari surat ad-Dhuha hingga an-Nas dengan Qiraat Imam Ibn ‘Amir dan Imam
Hamzah. Khataman tersebut juga
diiringi tasyakuran sekaligus wejangan dari sang guru. tak luput juga Syekh
memberi nasehat untuk terus mengulangi apa yang sudah dipelajari dan dihafal
serta menasehati para hadirin untuk mengikuti jejak Teungku Fakkar. Lalu, syekh
mendoakan kepada beliau, orang tua dan para hadirin.
Fakkar merupakan Mahasiswa Aceh ke-2 di Mesir yang yang mengkhatamkan Qiraat Asyarah Sughra di bawah bimbingan Syekh Abdul Qadir al-Djibuthi. Sebelum beliau, adalah Tgk. Zaky Mubarrak, Lc., Dipl. yang berhasil mengkhatamkan Al-Quran dengan Qiraat Asyarah Sughra pada guru yang sama. Keduanya saat ini membimbing sebuah halaqah Quran yang diberi nama “Halaqah Syekh Abdul Qadir” (akun Instagram @halaqah.syekhabdulqadir), komunitas yang insya Allah mencetak para Huffazh yang bertanggung jawab dengan ilmu-ilmu Al-Quran.
(Foto bersama Fakkar dan sang guru, Syekh Abdul Qadir setelah setoran akhir Qiraat Asyarah Sughra. Foto: Dokumen pribadi) |
Tantangan Saat Menyelesaikan Qiraat
Ketika ditanya apa tantangan berat bagi beliau saat berjuang
menyelesaikan qiraatnya, dengan penuh senyum beliau menjawab,
“Dalam menuntut suatu fan (bidang) ilmu, terkadang kita ingin untuk mempelajari ilmu yang lain. Contohnya, baru mempelajari muqaddimah satu fan ilmu aja, ketika ada dars (pengajian) yang lain, mungkin lebih seru untuk diikuti. Penyakit ini yang menjadi tantangan buat kita” tutur Fakkar.
“Pernah sekali
diajak kawan, untuk ikut dars bersama syekh yang lain, tapi itu cuma sekali
atau dua kali saja bertahan. Mungkin tak diberi taufiq di tempat pengajian
lain, kurang lebihnya begitu, tetapi kalau Al-Quran semua orang pasti sudah
pernah menghafal walau sedikit, kita hanya perlu melanjutkannya saja, ambil
atau selesaikan dulu satu persatu” tambah Fakkar dengan penuh rendah hati.
Selain itu beliau juga menambahkan,
“Kebanyakan juga,
banyak pengajian sama jadwalnya dengan jadwal setoran dengan syekh, selaku kita
punya pendirian atau prinsip, bahwa ada hal yang diutamakan dan ada hal yang harus dinomor duakan.
Yang mengganggu hal utama maka tinggalkan. Itulah prinsip yang harus dipegang.”
Tegas beliau.
“Tantangan yang
lain, sesekali ada juga hafalan macet karna malas mengulang dan macam
sebagainya” tutur beliau lagi
melengkapi berbagai tantangan yang beliau hadapi sejak awal mulai menyetorkan
hafalan.
Baca juga: Kitab Tajwidul Huruf
Impian Besar Fakkar
Pertanyaan demi pertanyaan mulai terjawab. Namun, rasa penasaran dengan mimpi sosok pemuda hebat di depan saya belum juga lekang. Sedikit demi sedikit kopi
faransawi yang kami seruput mulai hilang hangatnya, berpindah dalam
perbincangan kami malam itu.
“Bang, kalo tujuan pas balik ke Aceh nanti gimana? Celutuk saya lagi
mengulik mimpi pemuda ini.
“Pertama kita harus memperkenalkan ilmu qiraat
ini, supaya gak asing bahwa ilmu ini bukanlah ilmu yang
baru dan bukan juga ilmu yang tidak dibutuhkan. Orang Aceh itu lebih menonjol
pada ilmu Fiqih. Dengan ada ilmu Qiraat bisa membantu juga dalam Fiqih itu
sendiri, dan ilmu qiraat ini bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Fiqih” lugas beliau membuka angannya.
“Perlahan-lahan kita coba kembangkan dulu di
Aceh, harapannya agar kelak di Indonesia bahkan dunia poros ilmu Qiraat itu
adalah Aceh, dan pastinya kita gak bisa jalan sendiri-sendiri, mulai dari hal
kecil terlebih dulu” sambung
beliau.
Saat ditanya apa pesan bagi yang belum mulai menghafal Al-Quran dengan
rendah diri beliau menjawab.
“Kita hanya perlu
mengikuti jalan-jalan ulama terdahulu yang sudah sukses. Maksud yang sudah
sukses ini ialah mereka yang telah selesai dari dunia. Ulama yang sudah wafat
dan karangannya sampai sekarang masih bisa untuk dibaca dan bahkan menjadi
pegangan, apa yang mereka lakukan pertama kali sebelumnya? Menghafal Al-Quran bukan! Selayaknya Imam Syafi’i yang dalam sirah hidupnya sudah menghafal
quran sejak kecil. Bahkan ulama-ulama yang lainnya juga.”
Fakkar dan Pasangan Impian
Jawaban-jawaban ini cukup membuat saya kagum dengan sosok di depan saya. perbincangan hangat ini membawa kami pada larut malam. Sebagai penutup saya melemparkan sebuah pertanyaan
spesial pada beliau.
“Bang, kira-kira calon seperti apa yang bang Fakkar pengen?” tanya saya sambil
tersenyum.
Beliau tertawa malu, sebelum akhirnya menjawab,
“Yang normal-normal
aja lah, ga ada spesifikasi yang rinci”
“Pastinya yang berakhlak seperti Al-Quran dan harus
orang Aceh juga gitu, haha. Trus kalau bisa yang lebih muda dari ana”.
Tawa kami pecah mendengar beliau. Belum sempat kami menutup tawa,
beliau melanjutkan,
“Cuma kita kan gatau takdir ke depan gimana, bisa jadi ada kakak-kakak yang udah ngincar dari beberapa tahun lalu. Kan kita gatau. Pokoknya yang normal dan minimal tingginya gak lebih tinggi dari ana.” Tambah beliau sambil tertawa puas dan meneguk gelas kopi Faransahawi yang telah habis beliau seruput untuk menutupi rasa malunya. []
Reporter: Chairil Munanda Kaloko
Editor: Annas Muttaqin
Posting Komentar