Ketika Diuji, Masihkah Aku bertuhan?
Oleh: Nurul Salsabila
(Sumber foto: bincangmuslimah.com) |
Aku merupakan seorang mahasiswi semester tiga di sebuah
perguruan tinggi Islam negeri yang terletak di ibu kota. Sedangkan, keluargaku
tinggal di kota besar, Medan. Di antara teman-teman, aku dikenal sebagai sosok yang ceria, periang,
dan suka buat lawak. Sebelumnya, hidupku baik-baik saja sebelum akhirnya
aku mendengar berita bahwa Ayah dan Ibuku telah bercerai.
“Nak, Ayahmu telah menjatuhkan talak pada Ibu.
Untuk sekarang, kamu fokus saja dulu pada ujian semestermu. Terkait hal ini,
nanti kita bicarakan lagi.”
Sebuah pesan
singkat masuk dari Ibuku. Aku terdiam lama, sebelum akhirnya menghela nafas panjang.
Kucoba tuk tenangkan diri. Kemudian membalas singkat “Iya Bu.” Tidak ada
air mata yang menetes, tidak sebulir-pun. Aku hanya berusaha mencerna apa yang
baru saja kudengar. Sembari menunggu kabar dari Ayah yang sampai saat ini
bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Sakit. Namun, hidup akan terus berjalan.
Batinku.
Sejak lama, aku telah mengetahui bahwa hubungan Ayah
dan Ibuku tidak baik-baik saja. Namun, berita itu tetap membuatku seolah tidak
percaya tentang apa saja yang barusan terjadi. Hari-hari pun berlalu, ujian
semester kampus telah usai. Tiba-tiba ada pesan masuk dari Ibuku.
“Nak, kamu pulang ya, pesan saja langsung tiket untuk
keberangkatan lusa”. “Baik bu”. Jawabanku singkat.
Setelah beberapa jam perjalanan udara. Akhirnya, aku sampai di kota kelahiranku, Medan. Dijemput oleh Ayah dan Adik-adikku. Mereka
tersenyum dan kegirangan melihat kepulanganku. Aku pun menyalami Ayah dan
memeluk mereka. Layaknya seorang anak rantau yang telah lama berpisah dengan
keluarganya. Meleraikan rindu dengan temu. Sesampainya di rumah, aku melihat Ibu
dan Ayahku berbicara seperti apa adanya mereka. Aku, terheran tentang apa yang
sebenarnya terjadi. Mengapa semuanya seolah tidak ada terjadi apa-apa. Mengapa Ayah
tidak pernah memberiku pengertian sedikit pun tentang hal ini. Apa hanya aku
yang tampak kebingungan di sini? Atau, aku yang tidak cukup
paham dengan apa yang disebut perceraian? Atau kah perceraian itu tidak seburuk
dalam bayanganku? Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Tepisku dalam hati.
Keesokan harinya, bu memanggilku sekaligus memberi
pemahaman kepadaku. “Nak, kamu sebagai anak tertua di dalam keluarga ini, dan
sebagai seorang kakak yang bisa menjadi pelindung bagi adik-adikmu. Ibu
berpikir, bahwa kamu sudah pantas untuk mendengarkan hal ini”. Aku sudah tahu
kemana arah pembicaraan ini, batinku.
“Keadaan keluarga kita sudah tidak seperti dulu lagi. Ayah
dan Ibumu telah memutuskan untuk berpisah, besok merupakan sidang kedua di
pengadilan. Semoga apa-pun keputusan hakim nantinya, itu yang terbaik. Ibu akan
memilih untuk merawat kalian bertiga, walaupun itu berarti kita akan hidup
pas-pas-an. Dan Ibu meminta pengertian dari dirimu untuk tetap kuat. Tidak
larut dalam kesedihan. Ayahmu tetap hargai ia sebagai Ayah. Hanya saja, ia
bukanlah sebagai seorang suami lagi bagi Ibu”. Aku mulai meneteskan air mata
yang tak sanggup lagi kubendung.
Ibuku tetap melanjutkan, “Ibu tau ini pasti berat untukmu,
namun jangan patah, tetap fokus pada studi-mu, dan juga adik-adik.
Karena yang paling Ibu khawatirkan sekarang adalah adikmu yang paling kecil
Lala, kemungkinan ia akan kurang mendapatkan figur Ayah dalam hidupnya.”
Aku menangis sesegukan. “Kenapa? Kenapa Ayah dan Ibu
harus bercerai? Apa yang salah, Bu? Kenapa Ayah tega meninggalkan kita? Bukan
kah Ayah sebagai kepala keluarga yang harusnya melindungi kita? Kenapa Ayah
yang malah pergi?” Ibu memelukku erat.
Sambil menangis Ibu melanjutkan, “Tetaplah menjadi kuat nak,
karena untuk saat ini hanya kalian lah penguat bagi Ibu. Tetap tumbuh sebagai
sosok yang penyayang. Tolong terima keadaan ini, semua pasti akan baik-baik
saja.”
Malam itu, tidak henti-hentinya aku meneteskan air
mata. Hingga akhirnya aku terlelap.
Keesokan paginya...
Aku bangun kesiangan, mataku sembab akibat menangis
semalaman. Aku melihat seisi rumah kosong. Tidak ada seorang-pun. Ya, mungkin Ibu
telah berangkat bekerja, dan adik-adikku telah berangkat sekolah. Tiba-tiba ada
suara klakson mobil berkali-kali di depan rumah. Ketika aku mengintip dari
jendela dari dalam rumah. Ternyata itu Ayahku.
“Kak, ayuk makan di luar sama Ayah”. Seru Ayahku.
“Kemana yah?” tanyaku.
“Yuk, masuk ke dalam mobil aja dulu”. Jawab Ayahku.
“Oke yah”.
Selama diperjalanan, aku diam membeku. Seperti
seseorang yang tidak siap untuk kembali mendengar kabar-kabar buruk. Tidak ada
yang memulai pembicaraan. Hening. “Nyampe,” seru Ayahku. Kami berdua pun
turun dan menikmati makanan khas Padang kesukaanku. Aku mengira bahwa Ayah akan
membicarakan sesuatu yang serius, ternyata tidak ada, kami hanya membicarakan
sesuatu yang ringan dan sesekali tertawa. Tawa bahagia antara sosok Ayah dan
seorang anak perempuannya.
Di perjalanan pulang, mobil melaju dengan kecepatan
standar. Tidak lamban. Namun, tidak juga terlalu cepat.
Diiringi dengan lagu-lagu lawas dari Nike Ardila dan Iwan Fals. Kami menikmati
perjalanan. Ketika sampai di depan rumah. Aku meminjam handphone Ayah.
“Yah, pinjam hp
Ayah, yok kita selfie, Yah senyum yah, cissss”.
Ketika handphone akan kukembalikan pada Ayah
tiba-tiba muncul satu notif
“Lagi dimana bang?”
di kontaknya tertulis “Istri”. Aku tersentak kaget,
terdiam, apa maksudnya ini. Apa yang tidak aku ketahui.
“Kenapa kak”? tanya Ayahku.
“Apa ini yah? Apa maksudnya ini? Ayah udah nikah tanpa ngabarin
kami? Tolong jawab ini dengan jujur Yah.” Saat ini ada rIbuan pertanyaan
didalam kepalaku.
Aku marah. Aku kecewa. Aku sedih. Kenapa aku sebagai
anak tidak tahu-menahu tentang ini.
“Kak, maafin Ayah nak, Ayah udah menikah lagi” jawab Ayah.
“Sudah berapa lama?”
tanyaku lagi
“Setahun” jawabnya.
Tangisku pecah, aku tidak menyangka sosok Ayah yang
selama ini kukenal melakukan hal ini kepadaku. Aku menjerit “aaaaaaaaaaa” dan
menangis sejadi-jadinya.
“Bagaimana bisa Ayah meninggalkan kami hanya gara-gara
seorang perempuan? Siapa perempuan itu?”
Tangisku meledak, aku turun dan langsung menutup pintu
mobil tanpa pamit. Aku pulang ke rumah dalam keadaan menangis kecewa, marah,
pada Ayahku sendiri.
Aku bergegas lari ke kamarku. Ibu melihat sekilas. Aku
yakin Ibu pasti melihat keadaanku. Dan Ibu pasti paham akan hal itu.
Berhari-hari aku mengurung diri di dalam kamar. Aku menangis tanpa henti.
Tangisanku hanya akan berhenti ketika aku tertidur. Dan ketika terbangun, aku
akan kembali menangis hingga tertidur. Aku hidup layaknya seseorang yang tidak
punya tujuan hidup lagi. Pupus harapan. Berhari-hari aku menangis, berhari-hari
juga tidak makan, hanya sesekali meneguk air minum. Semenjak hari itu aku tidak
ingin bertemu dengan ayahku. Aku marah. Aku sedih. Aku marah pada takdirku. Kenapa
harus aku? Kemudian, kuputuskan untuk keluar dari rumah.
Aku keluar dengan mengendarai sebuah sepeda motor,
memandangi sekitarku, mencoba tuk menerima keadaan, dan berusaha tuk meyakini
bahwa ini merupakan skenario terbaik-Nya. Walaupun, air mata ini tetap saja
terus mengalir. Aku ingin tetap terbang, walaupun sayapku patah. Bukankah masih
ada Allah? Bukankah aku termasuk sosok hamba yang beriman? Bukankah aku seorang
muslim? Muslim yang bermaknakan orang yang berserah diri. Jika tidak diuji,
lalu darimana letak derajat ketaatan seorang hamba dapat diketahui? “Cukuplah.”
tegasku
Aku berbalik arah tuk mengunjungi sosok guruku. Dalam
perbincangan kami dapat kupahami bahwa “Ketika Allah mendorongmu ke ujung,
percaya sepenuhnya kepadaNya karena hanya dua hal yang bisa terjadi. Entah Dia akan menangkapmu atau
Dia akan membuatmu belajar terbang.” Ya, didalam ujian(kebaikan) ini membuatku
tersadar bahwa yang harusnya kuletakkan di hati hanyalah Allah bukan yang
selainNya. Ketika masih merasa sedih, marah, kecewa, dengan manusia berarti ada
sesuatu selain Allah di dalam hati. Dan hakikat datangnya sebuah ujian hidup
merupakan suatu kebaikan untuk membersihkan hati seorang hamba dari segala
sesuatu selain dari padaNya.
Sesampainya aku di rumah...
“Maafkan aku Bu, aku pernah sempat terbesit untuk menyerah pada kehidupanku, dan masa depanku. Namun kini, aku berjanji akan selalu berdiri tegap disampingmu, menjadi sosok yang akan selalu mendukung setiap keputusan terbaikmu dan aku juga akan menjaga, merangkul adik-adik.”
Aku menahan agar air mataku tidak tumpah. Namun seketika, pelukan hangat akan kasih sayang seorang Ibu meluraikan segalanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Dan Ibuku pun tak kuasa menahan air mata hingga kami terisak bersama larut dinginnya malam.
Editor: Annas Muttaqin
Posting Komentar