Dua Kali
Oleh: Muhammad Fairuzzabadi
(Sumber foto: mikamoney.com) |
Cuaca cerah, langit biru sejauh mata memandang, cahaya lembut matahari pagi menyirami kota New Haven. Di bawah salah satu petak langit, orang-orang berkumpul. Raut-raut wajah bahagia, lagu-lagu didendangkan, diiringi musik senada. Semua bersukacita, yang sejalan dengan sebuah kabar bahagia. Angga lulus. Hari ini dia resmi menjadi Sarjana Hukum. Ia dan teman seangkatannya diwisuda di halaman depan kampus.
Saat
sang Rektor berbicara, memberi ucapan selamat kepada wisudawan dan wisudawati,
Angga dan teman-temannya mendengarkan dengan seksama. Mengangguk-angguk, mengamini
setiap patah kata dari sang Rektor.
Sesaat,
memori selama empat tahun terakhir berputar di kepalanya. Kelas demi kelas,
tugas demi tugas, kertas demi kertas, dan ratusan bolpoin yang telah ia
habiskan kini terasa lebih bermakna.
Hingga
ritual melempar toga, Angga sangat menunggu momen ini. Momen yang hanya terjadi
sekali seumur hidupnya.
“Tiga,”
salah satu temannya menghitung mundur.
“Dua,”
Angga dan teman-temannya mulai mengambil ancang-ancang.
“Satu!”
Secara bersamaan, ‘topi-topi wisuda’ itu beterbangan ke langit kota New Haven.
Termasuk topi milik Angga, ia melemparnya dengan penuh kebanggaan.
Tapi,
saat topi-topi itu masih mengudara, tiba-tiba waktu serasa terhenti bagi Angga.
Topi-topi itu, terlihat mengambang untuk sesaat. Sepotong pertanyaan terbetik
di hati kecilnya. Selanjutnya apa?
Sesungguhnya
Angga sudah tahu pertanyaan ini akan muncul. Seperti menumpang kereta api, dia
tahu kereta itu akan sampai di stasiun tujuannya. Angga hanya tidak menyangka
waktunya adalah sekarang.
Angga
memang sudah punya feeling. Sejak lama, dia sudah memutuskan, hanya ada
satu hal yang ingin dilakukannya setelah lulus. Lupakan dulu perkara lain,
karena urusan yang satu ini butuh perhatian lebih.
Sebuah
pesan masuk ke ponsel Angga saat sesi fot-bar berlangsung. Pesan dari
nomor yang memang diharapkannya muncul di ponselnya. Sebuah pesan yang mampu
membuat Angga tersenyum-senyum seharian. Senyuman terlebar abad ini.
Seusai
acara wisuda, Angga mengambil kesempatan untuk berpamitan kepada seluruh
manusia yang dikenal di kampus itu. Kemudian menyusul orang-orang yang dikenal
di luar kampus. Angga memang sudah merencanakannya sejak lama, tapi karena
pesan itu, ia menggenapkan rencananya, tekadnya sudah bulat. Besok pagi-pagi,
Angga akan pulang ke Indonesia.
Satu-satunya hal yang ingin Angga segerakan saat ini adalah menikahi gadis pujaan hatinya. Amerika Serikat, New Haven, Universitas Yale, selamat tinggal.
***
Adalah
Selena, perempuan yang disukai Angga sejak duduk di bangku SMA. Perempuan yang kadang
membuatnya lebih banyak melamun saat di dalam kelas. Sosok yang sederhana, rapi dalam sikap
dan penampilannya, sopan, juga pintar dan sedikit misterius. Kriteria yang
cukup untuk menawan hati seorang Angga.
Selena juga mahasiswi luar negeri—di Australia. Seperti Angga, dia juga seorang Sarjana Hukum. Bedanya, Selena sudah lulus setengah tahun yang lalu—cumlaude. Dia lebih dulu pulang ke Indonesia. Dan karena kesibukan keduanya, mereka tidak pernah saling bertemu semenjak sama-sama lulus dari SMA. Selama empat tahun terakhir, mereka hanya berkomunikasi lewat udara.
***
Pukul
satu pagi. Angga berbaring di kasurnya—dengan mata terbuka. Hari ini dia akan
datang ke acara reuian anak-anak SMA-nya dulu. Dia sudah di Indonesia sejak dua
hari lalu.
Angga
tidak bisa tidur. Dari tadi dia terus-terusan membayangkan apa yang akan
terjadi nanti, saat mereka bertemu—tentu saja yang dimaksud adalah Selena. Dia
terus saja memikirkan percakapan macam apa yang akan dibicarakan setelah empat
tahun tidak bertemu.
Angga
cemas, resah, gugup. Tapi, sebuah pesan yang diterimanya beberapa hari yang
lalu masih mengawang di ingatannya. Satu-satunya yang membuat hati Angga
sedikit lapang.
Angga, selamat atas kelulusanmu. Aku turut berbahagia.
Ditunggu kepulangannya!
Demikian pesan singkat yang dikirim Selena tepat di hari wisudanya. Pesan yang menjadi alasan Angga untuk pulang sedini ini. Angga ingin segera melamar gadis itu.
***
“Angga!”
Seseorang memanggilnya saat Angga masih berada di pelataran sebuah restoran,
dia terlihat sedang mencari-cari tempat di mana teman-temannya duduk.
Angga
menoleh ke asal suara, dan yang ditoleh ternyata memang tempat yang dicarinya. Sebuah
meja panjang dengan kursi berderetan di kedua sisinya. Tampak teman-teman
lamanya dari sana melambaikan tangan, memanggil.
Angga
tersenyum. Matanya menyapu satu per satu dari mereka. Dan persis saat matanya
tertuju pada orang terakhir yang dilihat, jantungnya berdetak lebih kencang.
Ada Selena di sana—yang duduk agak menepi di barisan perempuan.
Gadis
itu ikut melambaikan tangan, isyarat agar Angga bergegas masuk. Dia tersenyum
pada Angga, senyuman yang cukup untuk membuat mantan atlet kampus yang berusia
dua puluh dua itu mleyot.
“Wess
jagoan kita sudah balik,” salah satu temannya berseru.
“Hei,
hei, hei! Apa kabar, Kawan?”
“Wah,
kau semakin tinggi saja.”
“Iya,
iya. Jauh lebih berbeda sekarang.”
“Apa
kau masih suka memakai es bandung sebagai kuah bakso?”
Serempak
semuanya tertawa. Itu kebiasaan aneh Angga.
Yang
ditertawakan hanya menyeringai tipis, tidak terlalu mendengarkan. Sejak tadi
dia sibuk curi-curi pandang ke arah Selena.
“Ayo,
Sobat. Masuk.”
Angga
mengangguk, lantas melangkah masuk. Sayangnya kursi yang tersisa hanya di
bagian ujung di sisi kanan, sedangkan Selena duduk di bagian yang satunya. Tapi
tidak apa-apa, pikirnya. Ia bisa mengajak Selena mengobrol seusai reuni nanti.
Acara itu berlangsung seru, nostalgia ria, hingga empat jam berlalu tak terasa. Reuni selesai. Sedikit demi sedikit anggota reuni meninggalkan tempat. Angga masih belum beranjak, ia rutin melirik ujung meja satunya, mengawasi gerakan Selena. Sengaja betul menungguinya.
Semakin
sedikit anggota yang tersisa, sampai akhirnya Selena berdiri, berpamitan pada
teman-teman yang masih duduk di sana. Angga yang tahu hal itu segera ikut berdiri,
juga berpamitan pada yang lainnya.
“Selena!”
Angga memanggil.
Yang
dipanggil menoleh. “Angga?” Ia berbalik, tersenyum.
“Kau
langsung pulang?” Angga mendekat.
Selena
mengangguk. “Aku harus mengantar Nenekku kontrol ke rumah sakit.”
“Kalau
begitu ada yang bisa kubantu? Mengantarmu agar lebih cepat sampai ke rumah
misalnya? Kebetulan aku ke sini naik mobil.” Angga patah-patah, menawari. Jelas
dia tidak ingin melewatkan kesempatan emas ini.
Selena
mengembangkan senyumnya, ia menggeleng pelan.
“Aku
dijemput kok, mobilnya sebentar lagi sampai.”
“Oh...”
Angga mengangguk pelan, kemudian ia terdiam. Dia sebenarnya sangat ingin
melanjutkan bicara, tapi lidahnya kelu, seluruh kemampuan berbicaranya
tiba-tiba saja tersangkut di bawah kerongkongannya.
“Kau
apa kabar, Angga?” Selena bertanya—masih dengan senyumannya, memutus sunyi di
antara mereka.
“Eh?
Baik. Aku baik,” jawab Angga gelagapan. “Kau sendiri apa kabar?” Angga balik
bertanya. Dia baru menyadari bahwa dia lupa menanyakan pertanyaan itu pada
Selena. Pertanyaan yang seharusnya ditanyakan sejak awal bertemu tadi.
“Aku
juga baik, seperti yang kau lihat.”
Lagi-lagi
Angga hanya mengangguk. Ingin bicara tapi seperti ada yang menahannya.
Sebuah
mobil hitam berhenti tepat di depan restoran, mereka berdua menoleh. Itu mobil
yang datang untuk menjemput Selena.
“Kalau
begitu aku pamit dulu, ya, Angga. Kapan-kapan kita ketemu lagi. Bye.” Selena
melambaikan tangannya, melangkah menuju mobil.
Angga
hanya bisa berdiri mematung, menatap punggung Selena yang terus menjauh. Dia
kini menyadari hal baru. Ternyata perasaannya terhadap Selena semakin besar.
Hal itu yang membuatnya panas dingin saat Selena berada di dekatnya. Padahal
dulu lancar-lancar saja komunikasi mereka—ya walaupun hanya lewat sosmed
sih.
Tapi
ternyata kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Kalimat-kalimat yang
sudah disiapkannya sejak semalam hanya terkubur dalam-dalam di pikirannya,
tidak kuasa dia utarakan.
“Tidak,”
gumam Angga. Ada satu hal yang setidaknya harus dia sampaikan. Undangan. Ya,
undangan itu bisa menjadi kunci untuk semuanya, pikirnya.
“Tunggu,
Selena!” Angga belum menyerah. Selena yang setengah tubuhnya sudah masuk ke
dalam mobil, kembali keluar.
“Iya,
Angga?”
Angga
mendekat ke mobil—sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Hari minggu, eh, tiga
hari dari sekarang, apa kau punya waktu?”
“Hmm,
sepertinya kosong. Ada apa?”
“Keluarga
besarku akan mengadakan pesta kecil-kecilan, merayakan beberapa hal. Aku... eh,
aku mengundangmu. Apa kau bisa hadir?”
“Wah
pesta! Sungguh? Tentu, aku pasti akan hadir.” Selena berseru riang, membuat
Angga ikut tersenyum senang, sudah lama dia tidak melihat ekspresi Selena yang
seperti itu.
“Hari
minggu. Pukul sembilan pagi, di rumahku.”
“Okay.”
Selena mengangguk.
“Jangan
lupa ajak orang tuamu juga.”
“Baiklah.
Akan aku sampaikan ke Papa dan Mama.”
Angga
mengangguk, tersenyum lebar.
“Yasudah,
aku pulang dulu, ya. See you hari Minggu!”
“See you!”
Selena
masuk ke dalam mobil—yang segera melesat, hilang di ujung persimpangan.
Yes! Angga
mengepalkan tangan. Dia bersorak riang dalam hatinya. Kali ini dia tidak akan
melepaskan kesempatan emas yang telah dibuatnya.
Sudah
diputuskan. Dia akan melamar Selena di pesta tersebut. Di depan ke dua orang
tua mereka. Perasaan yang telah berlabuh sejauh ini, akan segera sampai pada
tujuannya.
***
(Sumber foto: pinterest.com) |
Keesokan
harinya, Angga keluar hendak membeli sesuatu untuk keperluan pesta.
Suasana
hati Angga sedang baik. Sepanjang jalan, dia tersenyum-senyum, atau kadang
tertawa sendiri karena teringat percakapannya dengan Selena kemarin—walaupun
lebih banyak diamnya, tapi dia tetap senang. Angga sekarang jadi sedikit lebih
yakin, lamarannya akan berjalan lancar. Tapi sepertinya Tuhan memaksanya mengubah
jalan cerita ini.
Sebuah
angkot menabrak mobilnya dari belakang, tabrakan yang sangat keras. Angga
kehilangan kendali, mobilnya menabrak pembatas jalan, berguling-guling dan baru
berhenti di trotoar seberang.
Angga tidak terluka, fitur keamanan mobil melindunginya. Tapi keadaannya juga tidak bisa dibilang baik. Angga tak sadarkan diri. Beberapa saat kemudian, Orang-orang membantu melarikannya ke rumah sakit.
***
Angga
baru sadar setelah seharian pingsan di rumah sakit. Angga tiba-tiba duduk di
atas ranjang. Ibu Angga yang cemas sejak kejadian kemarin, pecah tangisannya
melihat anaknya telah siuman, ibunya refleks memeluk Angga.
Ibu
Angga kemudian bercerita tentang tabrakan itu. Angga menghela napas panjang
setelah mendengar cerita ibu. Nasib baik, dia selamat, hanya sedikit
pusing—mungkin karena benturan, selain itu, dia baik-baik saja.
Angga
meraih ponselnya. Dia ingin tahu apa yang telah dilewatkannya selama dia tak
sadarkan diri. Tapi, Angga malah tersedak membaca pesan-pesan yang masuk. Sang
ibu menunduk, memasang wajah gelisah.Ternyata
ada korban jiwa, satu orang meninggal dalam kecelakaan kemarin. Angga bergetar,
menoleh ke arah ibunya.
Setelah
menghela napas panjang, ibunya melengkapi cerita tentang kecelakaan itu. Dan
seperti takdir yang selalu tepat waktu dan sasaran: Korban yang dikabarkan
meninggal itu adalah Selena.
Hening.
Angga terdiam, tatapan matanya kosong, tapi pikirannya ramai. Tiba-tiba semua
kenangan tentang Selena berputar di kepalanya. Dan dalam diamnya itu, air mata
Angga mengalir, membasahi pipinya.
“Nak,
Nak..” Ibu Angga memanggil. Tapi tidak ada jawaban, Angga masih diam, tatapan
kosong dan air mata. Karena khawatir, sang ibu hendak mengusap bahu anaknya. Tapi
begitu tangan ibu menyentuhnya, Angga berteriak—tidak sengaja, seperti tersadar
dari larutan mimpi.
Angga
dengan tangan bergetar kemudian memeriksa kembali ponselnya, sekali lagi
memastikan—hal yang memang sudah pasti. Tangannya terus bergerak membuka semua
pesan yang ada, dan baru berhenti pada sebuah pesan yang mengabarkan bahwa
Selena akan dimakamkan sebentar lagi.
Mengetahui
hal itu, Angga buru-buru berdiri. Awalnya dia sempat terjatuh, lututnya goyah,
lemas mendengar kabar buruk ini. Tapi dia tetap berusaha berdiri, hendak pergi.
Sang ibu menahannya, tapi tidak berhasil, Angga bersikeras. Paman Angga yang juga berada di sana kemudian meyakinkan Ibunya untuk membiarkannya. Angga hanya pingsan kemarin,
selebihnya dia baik-baik saja.
Angga
berlarian di lorong rumah sakit, keluar, langsung ke jalan raya. Dia kehilangan
akal, Angga berniat lari sampai ke pemakaman itu. Tapi rasa lelah
menyadarkannya, dia ngos-ngosan. Angga kemudian menumpang taksi ke pemakaman.
Sepanjang perjalanan, ia terus berharap semoga kabar ini tidak benar, hanya prank
dari teman-temannya, atau apalah.
Sesampainya
di pemakaman, Angga kembali memastikan—lagi-lagi hal yang memang sudah pasti. Tapi
ternyata kabar itu benar, kuburannya sedang digali. Angga kemudian menyepi ke
pojok pemakaman, menangis sejadi-jadinya di sana.
Dia
baru kembali setelah kuburannya selesai digali—matanya sembap. Angga
menyaksikan jenazah Selena yang diturunkan ke kuburan—lagi-lagi dia hanya bisa
melihat, tidak kuasa melakukan apapun. Untuk terakhir kalinya, dia melihat tubuh
gadis pujaan hatinya yang sekarang terbalut dengan kafan.
Seharusnya
besok menjadi hari yang bahagia, hari lamaran. Tapi kenapa? Kenapa?
Kenapa..., batin Angga. Hatinya remuk, pikirannya kacau. Dia kehilangan
gadis yang amat dicintainya—bahkan sebelum ia sempat memilikinya. Dia terus
saja menyalahkan keadaan, bertanya pada Tuhan, dan sebagainya, sampai proses
pemakaman selesai.
Angga
tetap di sana sampai satu per satu dari orang yang hadir beranjak pergi. Terakhir,
sisi makam yang baru saja ditutup kembali dengan tanah itu hanya diisi dua
orang, Angga dan seorang pria. Pria yang sedari awal membantu pemakaman Selena.
Dari menggali, menutup kembali, sampai memasang nisan. Baju kemeja, juga celana
yang dikenakannya berlumuran lumpur.
Angga
berdiri, hendak beranjak pergi. Dia sudah selesai di sana. Lebih baik untuk
melanjutkan berkabung dirumah, pikirnya.
Tapi
saat Angga hendak melangkah, pria itu dengan cepat ikut bangun dari duduknya,
berdiri di depan Angga. Ia menjulurkan tangannya.
“Terima
kasih sudah datang.” Pria itu berkata dengan wajah penuh penghargaan.
Angga
balas menjabat tangannya, dia menatap lawan bicaranya. Mata pria itu sama
sembapnya dengan matanya.
“Apa
kau teman Selena?” Pria itu bertanya.
“Ya.
Selena teman lamaku. Satu sekolah dulu saat SMA.”
Pria
itu mengangguk takzim. “Selena pasti senang jika tahu teman lamanya masih ingat
padanya bahkan di saat-saat terakhir.”
Angga
balas mengangguk, dan demi sopan santun ia balas bertanya.
“Apa
kau juga temannya Selena?”
Pria
itu diam, tidak menjawab.
“Keluarga?”
Angga berhitung dengan cepat, mengajukan kemungkinan selanjutnya.
“Hampir,”
jawab pria itu pendek.
Angga
mengernyitkan dahi. Tidak paham. Dan sebelum Angga membuka mulut lagi...
“Aku
tunangannya.” Lanjut pria itu. “Lamarannya dua bulan yang lalu. Rencananya kami
akan menikah bulan depan.”
Jantung
Angga berhenti dua detik demi mendengar kalimat itu. Angga menatap lekat pria
itu, dari mata dan raut wajahnya, sepertinya pria itu tidak berbohong.
Sekejap,
Angga membeku. Dia benar-benar tidak menduga hal ini. Selena adalah tunangan
pria ini. Angga menunduk dalam-dalam. Dia mengira sangat buruk keadaannya saat
ditinggal mati Selena, tapi nyatanya, sebelum itu terjadi, keadaannya sudah
jauh lebih buruk.
Seperti
tahu suasana hati Angga, langit menurunkan hujan. Tetesan pertama jatuh di
hidungnya, menyusul jutaan tetesan lainnya. Ia kemudian melangkah
meninggalkan pria itu tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia berjalan gontai
meninggalkan pemakaman, membiarkan langit membasahi tubuhnya, berharap hujan
kali ini membasuh patah hatinya pergi.
Dan
dalam lamunannya itu, lagi-lagi Angga menyadari kenyataan pahit lainnya:
Ternyata dia sudah kehilangan Selena bahkan saat gadis itu masih hidup, bahkan
jauh saat Angga masih di Amerika.
Angga
bagaikan terkena dua pukulan secara bersamaan.
Dalam
dua jam terakhir, Angga baru tahu, dia kehilangan Selena dua kali.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Syari'ah Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Posting Komentar