Agar Memahami Al-Kitab Karya Imam Sibawaih
Oleh: Muhammad Farhan Sufyan*
Facebook Syekh Faozi Konate |
Tak terkecuali ilmu gramatikal Arab, dengan berbagai
cabang dan bagian yang merupakan awal mula dari perjalanan ilmiah seseorang,
khususnya pelajar ilmu Syar’iyyah. Bahkan dapat dikatakan, tak ada
riwayat seorang ulama yang alim tanpa terlebih dulu menekuni ilmu-ilmu tersebut.
Terlebih, jika kita ingin menjadi mujtahid mutlak itu diperlukan syarat agar
mampu menguasainya dengan level yang sejajar dengan sang imam, Imamul fann, Sibawaih.
Kita tak perlu menguraikan secara detail, siapa itu imam
Sibawaih, karena bukan di sini tempatnya. Namun perlu diketahui, Imam Sibawaih ialah
sosok pakar di bidang ilmu gramatikal Arab yang masyhur dengan karyanya bernama
al-Kitab. Karya tersebut ialah induk dari ilmu Nahwu. Namun jika ditilik lebih
mendalam, ia juga asas dari ilmu Balaghah, Sharf dan lain-lain. Perlu digarisbawahi, al-Kitab ini merupakan referensi besar yang menjadi rujukan dari segala
kitab-kitab yang datang setelahnya, dimulai dari 180 Hijriah hingga sekarang.
Karena ia menjadi karya pertama yang tertulis secara tersusun, walaupun tidak
tertib dengan baik.
Menjembatani keilmuan dengan karya-karya ulama
terdahulu merupakan tindakan yang harus dijaga dengan baik, supaya warna
keislaman yang pernah gemilang dari ratusan tahun itu tak punah ditelan masa. Tak
tenggelam dengan kemajuan barat. Ditambah lagi keadaan muslim yang sedang
dilanda distorsi sejarah. Mengenalnya ialah bentuk mewujudkan identitas
keislaman. Karena di era canggih ini, kita telah difasilitasi dengan berbagai
kemudahan, seluruh informasi dapat dilahap hanya sekedip mata, tanpa meninjau
fakta atau hoaks semata, keperluan yang diraih serba instan dan teknologi yang menggampangkan
pikiran. Tak perlu repot, untuk dapat berjumpa dengan ibunda di benua Asia,
tinggal ‘klik’, semua yang kamu inginkan akan dihidangkan dengan sekejap mata.
Seolah-olah dunia telah berubah seluas pedesaan. Ah, kok melebar ke situ?
Kembali ke topik dengan pertanyaan, apa hubungannya
dengan itu semua? Tentu ada. Sistem menggampangkan sebuah perkara itu juga memberi
dampak negatif dalam ranah pendidikan. Terutama yang akan kita kaji dan titik
beratkan di sini, ialah upaya memudahkan ilmu gramatikal Arab secara umum, dan
ilmu Nahwu & Sharf secara khusus.
Sebenarnya, konsep memudahkan suatu perkara itu baik.
Tidak ada yang salah, selama dilakukan dengan mengikuti metode yang telah
digarisluruskan oleh pakarnya dan tidak berlebihan. Namun, ada beberapa hal
yang membuat upaya memudahkan ini menjadi bumerang terhadap diri sendiri,
fatalnya ialah menjadi penyakit untuk generasi selanjutnya. Tak ayal, bahkan
mengkerdilkan nilai keilmuan. Contohnya, ialah dalam beberapa waktu ini,
beredar buku-buku yang berjudul,
“Tata cara belajar Nahwu dalam seminggu.”
Dari judulnya saja, kita tak perlu melebarkan kata
menemukan kejanggalan. Ilmu mulia yang hanya satu-satunya memiliki korelasi bersambung
tali periwayatannya dengan Sahabat Nabi, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib itu
seakan-akan diremehkan. Ia tampak kecil disepelekan. Di mana ulama dahulu
bersusah payah menjaganya, meninggalkan keluarga untuk hidup bersama kaum Arab
asli hanya untuk menuntaskan satu kaidah, kemudian datang seseorang di akhir
zaman, dan berkata semua itu dapat dikuasai dalam waktu tujuh hari?
Itu dhalim, bukankah ilmu Nahwu & Sharf yang hanya
berlevel (mutawassit) menengah saja, bahkan berjumlah 1000 bait dalam
alfiyahnya, ibn Malik?
Bukankah mempelajarinya butuh waktu yang lama? Dimulai
pertahap, sebagaimana ulama terdahulu melakukannya?
Proses memudahkan ilmu, termasuk mengkerdilkannya?
Dr. Mahmud Muhammad Thanahiy, dalam kumpulan jurnalnya
merunutkan beberapa kritikan telah terjadi berulang kali. Hebatnya, tulisan
beliau ini tak sekedar kata. Namun, juga hasil yang telah dipikirkan dan
ditafakuri melalui penelitian lapangan. Dengan meninjau kampus-kampus bahasa
Arab sekarang terlalu fokus terhadap kurikulum yang bersifat sebatas
kaidah-kaidah Nahwu & Sharf, baik itu didiktekan oleh gurunya atau
buku-buku yang dicetak dengan renovasi tiap tahunnya, bisa jadi pembahasannya
ditambahkan atau malahan menurun. Ironisnya, kitab-kitab itu tidak mengaitkan
pelajarnya dengan buku-buku turats. Transisi dari kitab-kitab turats yang
merupakan mata air dari keilmuan agama islam dan menggantinya ke buku-buku yang
berupa ringkasan kontemporer telah menghalangi jalan mencapai ilmu yang hakiki.
Akan tetapi, ada poin-poin penting yang harus
diperhatikan. Mengenai metode memudahkan dan meringankan materi dalam proses
pembentukan pelajar, misalnya mengubah amsal-amsal yang berbentuk seperti
cerita keseharian dari kitab turats yang biasanya memaparkan amsal dari
al-Quran, Hadis dan syair-syair itu bukan hal yang salah secara total walaupun
memiliki beberapa kekurangan. Pasalnya, amsal-amsal yang berbentuk cerita itu,
seperti seorang petani dengan harimau, kisah semut dan merpati dan lain
sebagainya, pun menggunakan kaidah gramatikal bahasa Arab akan terkesan kaku
dan jumud ada beberapa elemen yang hilang. Berbeda halnya andai mendatangkan
amsal dengan potongan ayat Alquran, hadis dan syair-syair Arab terdahulu, tiap
pelajar akan disuguhi rasa hidup dengan hikmah-hikmah dari pesan yang
dikandungnya secara tersirat.
Dengan begitu, metode pembelajaran dengan asas turatsiyyah
ulama dahulu akan lebih menguatkan akal, melatih pikiran dan mengukuhkan
jiwa. Bersamaan pula akan menghadirkan maklumat lain dengan banyak observasi
dan riset studi dari lektur dan amsal.
Kurikulum dan praktik dalam mengajar dan belajar
Nahwu yang menjadi alat pertama dalam memahami
literatur bahasa Arab, seharusnya juga menjadi bagian dari titik utama dalam
evaluasi, agar ke depannya generasi memiliki peningkatan dan kemajuan dalam
belajar. Karena bahasa Arab merupakan perantara dan kunci untuk memahami agama
ini, Islam.
Salah satu hal yang harus selalu diperhatikan ialah
kurikulum yang selama ini menjadi tumpuan belajar mengajar. Pentingnya meluruskan
kurikulum akan berdampak besar terhadap terbentuknya pola pikir pelajar. Tidak
cukup sampai di situ, evaluasi yang harus direalisasikan juga tak terbatas dari
hasil nilai akhir mengikuti ujian. Karena sejatinya ilmu, bukan dihafal
kemudian usai tugas dilupakan. Bukan hanya sekedar bisa dalam ruangan, kemudian
hilang ditelan waktu begitu saja. Makanya tak ada jaminan, mereka yang telah
berada di puncak tertinggi meraih cumlaude bisa membaca dan memahami
dengan benar, satu baris dari al-Kitab karya imam Sibawaih?!
Hal sedemikian rupa masih sangat memerlukan penelitian
lanjut. Tak boleh dibiarkan begitu saja. Lebih utamanya lagi mereka yang
mengambil fokus di bidang bahasa Arab. Mencukupkan diri dengan nilai tinggi
saja, masih sangat tidak relevan untuk menargetkan tujuan yang sebenarnya. Menjadikan
akhir dari masa belajar dengan meraih gelar doktor akan menelantarkan ilmu yang
tidak matang.
Seyogianya, ilmu-ilmu itu menjadi malakah yang
mendarah daging dan menjadi makanan sehari-hari yang harus diulang kaji
berterusan. Kita tak hanya dituntut bisa menyelesaikan persoalan ‘irab. Tak
sebatas bisa menjelaskan al-Wadhih, al-Kafii, Jami’ ad-Durus tapi harus
lebih dari itu semua. Karena kita punya tujuan akhir yang harus diselesaikan.
Andai tumpuan belajar hanya selesai sampai di situ-situ saja, lantas siapa lain
yang akan memahami dan merawat amanah keilmuan warisan ulama kita terdahulu?
Bukankah itu tugas besar yang harus kita pikul bersama?
Oleh karena itu, kurikulum yang menjadi seperangkat
mata pelajaran sekaligus metodenya harus dijadikan tangga yang menyampaikan
kita pada garis akhir. Tekuni dengan fokus. Kita harus mempunyai target dan
jangan mentok di situ-situ saja. Bukankah kita telah mendengar, ada ulama yang
dapat berfatwa menjawab persoalan fiqh hanya dengan memahami dengan benar,
al-Kitab karyanya imam Sibawaih? Akankah kita mencukupi diri dan membanggakannya,
hanya dengan khatam dua atau tiga buku yang membahas kaidah-kaidah Nahwu dan
Sharf?
Alangkah bahayanya lagi, hanya sekedar khatam tanpa
pemahaman yang memadai. Ilmu yang seharusnya menjadi obat bagi ummat, malah
menjadi senjata mematikan yang merusak tatanan masyarakat madani.
Iqra.id |
Kata-kata kembali, kerap dimaknai sebagai bentuk dari
sebuah kesalahan yang telah dilakukan dan perlu diperbaiki dengan metode yang
semula diterapkan. Namun, dalam hal ini kita tak perlu kembali sebagaimana ulama
dahulu belajar. Diperjelas lagi, dengan meninggalkan kitab kontemporer secara
total dan bergelut turats dengan sepenuhnya. Ini fatal, jika dipraktekkan tanpa
langkah-langkah menengahi antara keduanya. Mencampur istilah-istilah yang belum
saatnya diberikan. Memorakporandakan cara belajar dan menghasilkan ilmu secara tak
bertahap dan berjenjang. Besar kemungkinan, ini akan membuka pintu rasa malas
dan bosan dalam belajar. Karena
kemampuan akal dan berpikir orang di zaman sekarang tentu berbeda dengan orang
yang hidup di masa dulu.
Jadi, kuncinya ialah kitab kontemporer itu menjadi
kunci untuk memahami turats. Kontemporer yang beberapanya tersusun secara
tematik itu hanya menjadi pendamping untuk memahami turats. Buku yang disusun
dengan referensi turats yang begitu melimpah, juga harus menjadi bahan diskusi
belajar dan bertukar pikiran. Bukan hanya dibidang bahasa Arab tapi di segala
lini keilmuan Islam.
Generasi Hafazhah
Kata Hafazhah sekilas memiliki makna menghafal
suatu hal dengan kuat hingga menjadi bagian dari akal dan hati. Namun, konteksnya
bukan sekedar itu, hafazhah bahkan dapat dipahami secara luas agar
berprinsip kuat dapat berdikari dengan turats yang merupakan warisan ulama
tanpa mengurangi esensi mahakarya kontemporer di masa sekarang. Islam telah
mewarisi peradaban yang begitu pesat.
Barangkali kita lupa, bahwa manuskrip-manuskrip
warisan ulama kita telah menjadi bahan riset penelitian barat, sehingga mereka
dapat berkembang sedemikian rupa kemajuan. Kita telah lupa dengan perpustakaan
Baghdad yang dibakar pasukan Mongol. Kita luput mentadaburi 100 tahun yang
lalu saat umat ini dijajah, mereka mencuri khazanah keilmuan Islam, bukankah
semuanya sekarang telah berada di tangan mereka?
Dengan begitu, kunci menjadi generasi seperti pendahulu
kita hanya dengan mengikuti kembali jalan yang telah mereka tempuh. Kembali
menghafal al-Mutun, jamak dari al-Matn yang merupakan
lembar-lembaran kecil yang memuat kaidah-kaidah utama satu ilmu nan mencakup
secara garis besar isi ilmu tersebut.
Sebagimana adat ulama terdahulu. Apalagi untuk ilmu
gramatikal Arab yang bersifat banyak menghafal, mulai dari hafalan amsal (Nushus)
dan kaidah-kaidah. Oleh karenanya, ulama terdahulu selalu memulai konsep
hafal al-Matn untuk anak-anak agar sedari kecil telah konkret daya
ingatannya terhadap hal tersebut.
Diriwayatkan dari masa Imam Suyuthi, ada satu Matan
yang sampai sekarang menjadi asas utama dalam belajar ilmu Nahwu. Dari
timur hingga barat, utara dan selatan mengkhidmahnya, dengan banyaknya ulama
yang mensyarah, kemudian ditambah lagi memberikan komentar (hasyiyah) bahkan
komentar di atas komentarnya lagi (taqrirat). Matan itu diberi nama al-Ajurrumiyah
yang ditulis oleh seorang ulama asal negeri Maghrib dari bangsa Barbar, Abu
Daud ash-Shunhajiy yang kerap disapa Ibnu Aajurrum.
Matan yang telah berhasil melahirkan banyak ulama berabad-abad yang telah
berlalu. Mereka telah sampai pada tujuan akhir sebenarnya dari ilmu yang
hakiki, yakni al-Kitab karyanya Imam As-Sibawaih.
Perjalanan keilmuan ini tidaklah membutuhkan waktu
yang lama, andai kita bersungguh tanpa jatuh ke dalam lubang kesalahan dalam
belajar. Mulailah dengan al-Ajurrumiyah, ia merupakan tangga pertama
dalam perjalanan keilmuan. Jangan pernah beranggapan bahwa ini hanya lembaran-lembaran
tipis yang mampu dibaca dalam satu hari. Meremehkannya akan menghijab futuh dari
belajar, karena matan ini telah terbukti keberkahannya. Alangkah betapa
banyak dari kita sekarang yang telah belajar permasalahan bayi tabung, sejarah bangsa
Yunani, pemikiran-pemikiran Aristoteles. Namun, saat disuruh menyelesaikan
persoalan i’rab. Kita masih terbata-bata menjawabnya. Bukankah mereka
yang tersesat dalam ilmu Nahwu, konsekuensinya akan lebih tersesat saat
memahami ilmu-ilmu lainnya?
Sungguh, tanpa tangga ini, engkau telah memangkas
jalan yang telah ditempuh oleh para ulama terdahulu. Barangkali itulah yang
membuat kita berputar diporos itu-itu saja, tanpa peningkatan.
Inilah tangga pertama yang harus diselesaikan oleh
tiap pelajar ilmu agama, apapun fokus utamanya, baik itu fiqh, aqidah,
sejarah, tafsir dan hadits. Gerbang
utamanya yang harus menjadi bekal mengarungi samudera keilmuannya itu tetap
ilmu-ilmu gramatikal Arab. Dan Langkah yang lebih utamanya, ialah menghafal Matan
mulia, al-Ajurrumiyah.
Kapan terakhir kali berazam untuk dapat menyelesaikan
hafalannya? Atau apakah kita termasuk golongan yang tak pernah memiliki
niat untuk menghafalnya? Haasya lillah.
*Penulis merupakan mahasiswa tingkat tiga fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar, Kairo.
Editor : Ali Akbar Alfata
Posting Komentar