Rumah Coklat (Bagian Satu)
*By: Tim Phan
Orang bijak pernah berkata, kalau kau benci tentang tragedi suatu kejadian, jangan pernah melupakannya. Berdamailah, berharap esok lusa tragedi tersebut berubah menjadi kesempatan.
Selamat pagi.
Aku tahu waktu untuk membaca cerita ini bisa kapan saja. Pagi. Siang. Sore. Malam. Tapi bagiku, semua waktu kuanggap pagi.
Pagi dimana harapan-harapan baru mulai muncul diikuti terpaan sinar matahari. Embun-embun menggelayut di atas dedaunan. Kepulan kabut yang seakan-akan membuat cahaya mengambang di udara, membuat pematangan sawah terlihat berpuluh-puluh kali lebih indah. Pagi juga yang menandakan bahwa satu hari yang melelahkan telah terlewati. Malam-malam panjang yang tidak ada ujungnya telah lampau.
Malam itu, di tengah ramainya pejalan kaki di Downtown. Di tengah riuhnya gemericik suara kendaraan yang menyelimuti langit. Kuputuskan untuk berkeliling sejenak, niat awalnya hanya mencari angin segar setelah berbulan-bulan tidak pernah keluar.
Kota itu masih sama seperti enam bulan yang lalu. Gedung-gedung dengan arsitektur eropa menghiasi sejauh mata memandang. Guratan pahatan dinding gedung itu kalau dilihat lebih dekat seperti menggambarkan betapa bersejarahnya sebuah bangunan. Memang satu dua ada gedung baru yang mulai muncul, tapi kalau ditilik dari segi estetik, gedung itu kalah jauh.
“Paman, kau mau coklat ini?” tiba-tiba gadis kecil berusia sekitar lima tahun menghampiriku. Tangannya menyodorkan satu butir permen yang masih terbungkus rapi.
“Tidak, terima kasih.” Aku menolaknya dengan sopan.
“Kata ibuku, kalau sedang sedih, kita harus makan coklat manis. Supaya hidup kita menjadi manis lagi.” Gadis kecil itu menjelaskan.
Gadis ini cerdas sekali. Pandai sekali mengambil kesimpulan dari suatu perilaku. Pasti sejak tadi dia melihatku yang hanya termenung di ujung jalanan. Menatap kosong ke langit, berharap agar dunia ini hancur.
“Maaf, anakku lari tanpa kuketahui.” Ibu anak tersebut ikut menghampiri. Aku tersenyum, wajah anak itu sangat mirip dengan ibunya.
Benar juga kata anak itu, ada baiknya aku mencari sesuatu agar kesedihan ini segera menghilang.
Kutelusuri jalanan Downtown yang telah kutinggali selama kurang lebih lima tahun. Tidak banyak yang berubah. Dulu pertama aku menginjakkan kaki di penghujung jalan, sejauh mata memandang, toko-toko berjejeran. Pengunjung keluar masuk, membawa tas belanjaan besar-besar. Itu terjadi setiap hari, tanpa henti. Begitu juga dengan malam ini.
“Dicicipi dulu, pengunjung sekalian. Kalau berkenan silahkan dibeli.” Seorang pria berseru keras dari arah depanku. Dia membawa satu kantong berisi coklat, menawarkannya ke setiap pejalan kaki yang lewat. Satu dua ada yang tersentuh lidahnya dan memutuskan untuk masuk ke dalam, membeli lebih banyak. Lainnya menerima tawaran untuk mencicipi dan pergi begitu saja.
“Hei, Mas Ganteng. Coba dicicip dulu.” Pria itu menyerahkan satu batang coklat kecil, aku tersenyum dan mengambilnya.
“Bagaimana rasanya?” pria itu bertanya dengan tidak sabaran. Matanya berbinar-binar.
“Enak,” jawabku pendek. Aku bahkan tidak tahu menahu bagaimana rasa coklat yang enak. Semuanya sama saja. Coklat ya coklat.
“Kau pasti ingin mengulang kenikmatannya, kan? Masuk saja, pesan sebanyak-banyaknya.” Pria tersebut memegang bahuku, menggiring masuk ke dalam.
“Maaf, aku tidak sedang ingin makan coklat.” Aku berusaha menghentikan langkah.
Tentu saja pria itu paham apa maksudku, dia melepaskan tangannya dari bahuku. Tersenyum. Mempersilakanku untuk kembali melanjutkan tujuan, dimana aku sendiri tidak tahu kemana akan pergi.
Tapi, perkataan orang bijak itu benar. Kau tidak bisa melupakan, berdamailah, maka sesuatu yang spesial akan datang. Sebelum aku berbalik, kembali berjalan tanpa tujuan. Sebelum aku memutuskan untuk menolak penuh tawaran pria penawar coklat. Kalimat yang tidak asing itu kembali terngiang di kepalaku.
“Aku memilih hidup santai. Kalau hari esok belum sampai, aku tidak akan menghampirinya dengan tangan kosong.” Kalimat itu datang dari dalam toko. Tepatnya dari seorang wanita yang berdiri tepat di balik etalase. Aku langsung menoleh, mencari sumber kalimat.
Rambutnya terurai rapi, senyumnya melebar. Parasnya, sama persis seperti Liani. Liani-ku.
Itu terjadi enam bulan lalu.
“Kau sudah siap, Ray?”
“Tentu sudah.” Aku menjawab tegas setelah Theo bertanya puluhan kali.
“Kau adalah orang paling ribet sedunia, Ray. Menunggumu memilih baju sama seperti menunggu dunia ini menjadi damai.” Theo mengoceh kesal ketika di dalam mobil.
“Oh, ayolah, Theo. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengecewakan siapapun esok hari. Akan kutraktir kau makan malam enak nanti.” Aku membujuknya, sudah dua jam dia menungguku memilih baju yang tepat untuk acara yang penting esok.
Jalanan Downtown terlihat sepi malam itu. Tidak seperti biasanya mobil yang berlalu lalang tanpa henti. Ada sesuatu yang ganjil yang baru saja terjadi. Tapi saat itu aku tidak sadar sama sekali sebelum akhirnya jam berdetak di angka sembilan.
Teriakan mulai terdengar dimana-mana. Pejalan kaki sekarang berubah menjadi pelari. Theo yang melihat hal tersebut memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Keluar. Menghentikan satu pria yang berlari.
“Ada apa?” tanyanya penasaran.
“Bom, ada bom yang baru saja meledak.” Pria tersebut wajahnya pucat, memutuskan kembali berlari setelah menjawab.
Aku yang mendengar kata itu lengsung lompat keluar. Melihat arah yang ditunjukkan oleh pria tadi. Kepulan asap membumbung tinggi di angkasa. Langit yang tadinya sempurna gelap, kini berubah menjadi merah. Seakan-akan senja kembali menyapa tanpa perantara siang. Aku langsung terduduk, disana adalah tempat yang kulewati sebelum akhirnya membeli baju bersama Theo. Itu adalah tempat aku menurunkan Liani. Ketika kutanya, kenapa kau tidak menunggu saja sampai besok, baru berbalanja bersama. Dia menjawab, “Aku memilih hidup santai. Kalau hari esok belum sampai, aku tidak akan menghampirinya dengan tangan kosong.” Diakhiri dengan senyumannya. Senyuman terakhir.
“Hei, kau tidak ada apa-apa?” pria penawar coklat memecah lamunanku.
“Iya, aku baik-baik saja.” Aku mengusap wajahku. Kepedihan enam bulan lalu itu kembali melintas.
“Apa nama coklat yang barusan?” tanyaku pada pria penawar.
“Oh, ini creamy milk chocolate. Ini salah satu favoritku. Bilang saja pada pekerja kami. Dia pasti paham.” Pria tersebut mengucapkan nama coklat yang aku sama sekali tidak paham.
Akhirnya aku memutuskan membeli coklat.
“Pesan apa, Pak?” gadis itu bertanya lembut.
“Ee…coklat,” jawabku gugup.
“Iya, kami menjual coklat. Tapi banyak jenisnya.” Gadis itu tersenyum.
Aku yang mendengar itu malah tersipu malu. Memikirkan apa nama coklat yang disebutkan pria penawar tadi.
“Eee… coklat…yang ditawarkan di depan tadi.” Akhirnya memutuskan menunjuk ke arah pria di depan toko.
Gadis itu kembali tersenyum sebelum akhirnya memanggil rekan kerjanya di depan. “Rick, apa yang kau tawarkan disana?” serunya.
“Creamy milk,” balas pria yang dipanggil Rick.
“Ini pesanannya.” Gadis itu menyerahkan sebungkus coklat yang dibungkus dengan rapi dan diletakkan di dalam plastik dengan motif bunga.
“Terima kasih.” Sekilas aku bisa melihat name tag di dadanya. Nabila.
***
Editor: Mrlnskmwt
Posting Komentar