Perang Narasi Media Sosial: Menyatukan Perbedaan dengan Islam Wasathiya (Bagian Satu)
*Oleh: Haris Akbar Zahari
(Sumber Ilustrasi: kabar.bisnis24.com) |
Indonesia yang harusnya berbangga dengan
kemajemukan, malah seringkali dikhianati dengan keberagaman itu sendiri. Setiap
saat, masyarakat merasakan keindahan berbagai bahasa, agama, ras, suku, bangsa
dan segala jenis perbedaan. Contoh saja para penikmat kuliner, ke mana saja
mereka pergi, makanan khas daerah itu akan tersaji. Belum lagi dengan
kemeriahan pernikahan, anak Aceh misalnya menikah dengan bunga desa yang ada di
Bali, perpaduan adat dan kolaborasi antar daerah menjadi perbincangan yang enak
di bibir dan mengena di hati.
Masyarakat tetap tidak bisa menutup mata
bahwa kekerasan, ketimpangan, kerusuhan dan kericuhan sering terjadi di beberapa daerah dengan alasan
keberagaman. Contoh paling besarnya adalah teroris atas nama agama. Seolah-olah
ada agama yang menyuruh perang, membantai minoritas yang tidak seakidah. Bahkan
ada orang yang ngakunya paling paham Islam, paling ingin masuk surga, tapi malah
menyebarkan Islam yang salah demi uang dan ketenaran.
20 tahun yang lalu, tepatnya 11 September
2001, Amerika yang hebat diserang di jantungnya. Dua menara kembar yang menjadi
pusat bisnis di Manhattan roboh, menyisakan lubang hitam menganga. 3.000 orang
meninggal dunia, ada lebih 6.000 lainnya luka-luka. Jiwa kemanusiaan
menjerit-jerit melihat berita ini, pembantaian yang agaknya mustahil dilakukan
oleh manusia yang masih punya akal dan hati.
Beberapa hari setelah itu, diketahui bahwa
pesawat yang ditabrakkan itu sudah dibajak oleh beberapa militan dari kelompok
ekstremis Islam al Qaeda. Peduli apa orang-orang yang melihat pembunuhan massal
dan kemudian mendengar Islam sebagai dalangnya. Dalam sekejap saja, kebencian
terhadap Islam muncul, dan kaum muslimlah yang hatinya paling sakit.
Bertahun-tahun mereka diajarkan Islam yang damai, menghargai, merangkul dan
menebar kebaikan sesama manusia, hari itu tertampar oleh beberapa orang yang
mengaku paling cinta Islam, seolah-olah itu jihad. Tampaknya ada gambaran kalau
surga sudah menanti orang-orang yang melakukan pembantaian besar itu.
Di Indonesia sendiri, kasus-kasus seperti
ini masih terjadi. Menolak lupa pada tanggal 14 Mei 2018, senuah keluarga
menerobos dengan motornya ke Mapolrestabes Surabaya dan melakukan teror bom,
seorang anak dari pelaku bom bunuh diri selamat setelah terpental saat ledakan
terjadi. Masih di Surabaya pada tanggal 13-14 Mei 2018, tiga tempat ibadah
meledak-ledak, yaitu Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro dan Gereja
Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan. 28 Orang tewas di tempat.
Yang masih hangat terjadi di Minggu, 28
Maret 2021, bom kembali meneror tempat ibadah Gereja Katedral Makassar. Masih
banyak sekali kasus yang terjadi di negeri yang harusnya saling memeluk
perbedaan. Bukan saja masalah agama yang terjadi, ambil saja contohnya sepak
bola. Kefanatikan membutakan mata dan hati manusia, lihatlah pada tanggal 23
September 2018, Haringga Sirila, Suporter Persija Jakarta, yang datang
jauh-jauh untuk menonton timnya bermain, malah tewas dikeroyok suporter Persib
Bandung di area parkir Stadion Gelora Bandung Lautan Api.
Konflik berbeda suku juga terjadi.
Contohnya konflik di Sampit pada tahun 2001. Saat itu, suku Madura datang ke
Kalimantan, menikmati kehidupan layaknya penduduk asli dan mendominasi
Kalimantan Tengah di berbagai sektor seperti ekonomi. Orang Dayak tidak bisa
menerima mereka dan melakukan pembantaian, setidaknya ada 100 kepala orang
Madura yang dipenggal. Kasus ini hanya rentetan kejadian, sudah lama
perselisihan antar kedua suku itu terjadi. Disebutkan bahwa seorang warga Dayak
pernah disiksa dan dibunuh oleh sekelompok orang Madura setelah sengketa judi
di Desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.
Konflik Sambit ini baru berakhir setelah
kepolisian membebaskan seorang pejabat lokal Dayak yang diduga pemicu konflik
setelah warga Dayak berbondong-bondong mengepung kantor polisi dan menuntut
pembebasan. Permintaan itu dikabulkan pada 28 Februari 2001 dan kepolisian
berhasil membubarkan Massa Dayak dari Jalanan.
Pernah dengar Konflik sektarian Kepulauan Maluku? Kasus Ambon ini berlangsung mulai tahun 1999 hingga tanggal 13 Februari 2002 saat penandatanganan Piagam Malino II. Penyebab utama konflik ini adalah ketidakstabilan ekonomi dan politik di Indonesia setelah Soeharto tumbang dan rupiah mengalami devaluasi selama krisis ekonomi di Asia Tenggara. Rencana pemekaran Provinsi Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara semakin merumitkan masalah, akhirnya karena menyangkut masalah agama, perseteruan antara umat Kristen dan Islam menjadi gelombang merah, mengubah perseteruan ini menjadi pertempuran yang merenggut nyawa sekitar 10.000 orang.
Mengamati permasalahan keberagaman yang ada di luar Indonesia, ada Sri Langka dengan sejarah konflik panjang antara etnis Sinhala dan Tamil. Berpenduduk lebih dari 22 juta jiwa, negara kepulauan tropis dan subur di Asia Selatan ini malah membuat kemajemukannya menjadi bara dalam sekam. Sebut saja sejarah perang saudara yang melibatkan tentara pemerintah dan kelompok Macan Tamil yang berlangsung sejak tahun 1983 dan baru berakhir 2009 silam.
(Serangan bunuh diri Macan Tamil. Sumber gambar: dw.com) |
Selama perang saudara, orang Tamil kerap
kali meledakkan diri di tempat-tempat publik yang ramai seperti bandara, bus,
stasiun dan kafe. Begitulah ide mereka melawan dominasi Sinhala. Saat perang
saudara usai, suasana tenang seperti istilah Calm Before The Storm, hingga
bom meledak di hari paskah, menewaskan 235 orang dan 500 lainnya mendapat
luka. Teror mematikan ini adalah sejarah Sri Langka dengan keberagaman sebagai
kambing hitamnya.
Siapa yang sebenarnya dalang di balik semua
pembantaian selama ini? Apakah keberagaman memang tidak pernah bisa menjadi
perpaduan? Apakah sudah menjadi tabiat manusia untuk memperjuangkan hak
istimewanya dan membumihanguskan orang yang tidak sepemahaman?
Bukan ‘siapa’ yang menjadi pertanyaan
setelah konflik-konflik atas nama suku, tim bola, bangsa, agama dan keberagaman
terjadi. Tapi apa yang menyulut api kebencian itu?
Bukan 4 pesawat maut yang membunuh 3.000
orang di gedung kembar World Trade Center (WTC), bukan bom yang membunuh jemaat
dan meruntuhkan tempat-tempat ibadah, bukan kaki yang menginjak-injak tubuh
Haringga Sirila hingga tewas, atau bukan karena mereka orang Dayak maka mereka
harus perang dengan orang Madura.
Dalang yang sebenarnya atas peristiwa kelam
itu semua adalah pikiran, ide-ide yang ditanamkan di kepala para pelaku. Pemeluk
agama yang mengerti persoalan ini tidak akan merakit bom demi membalas pemboman
gereja dan masjid, Jakmania tidak perlu membawa senjata tajam untuk membalaskan
Bobotoh, Amerika tidak perlu meluncurkan rudal untuk membalas al-Qaeda, orang
Madura tidak harus membawa parang saat bertamu ke rumah orang Dayak. Yang
sebenarnya kita butuhkan untuk melawan itu semua adalah narasi.
Sudah saatnya kita berperang menggunakan
narasi, ide, pemikiran-pemikiran yang benar. Dan beruntungnya kita punya dasar
dan ajaran yang sudah ditinggalkan Rasulullah. Islam itu cocok untuk setiap
situasi dan zaman. Sudah saatnya kita mengambil dan memperjuangkan konsep Islam
Wasathiyah, yang tidak hanya menjadikan seorang muslim lebih bertakwa, tetapi
juga membuatnya lebih menghargai saudara tidak seiman dan menyatukan perbedaan.
Perang narasi yang akan kita perjuangkan
ini tidak membutuhkan uang sewa lapangan untuk dakwah, atau menyewa gedung
ber-AC untuk acara seminar. Yang kita butuhkan hanya media sosial. Jangan
anggap enteng dakwah di instagram, facebook, twitter, youtube sbg. Karena jika
kemarin Anda pernah melihat jihad yang disalahpahami, para pelaku itu mengambil
idenya dari media sosial.
Ibarat Chef Arnold yang diidolakan banyak orang karena pandai bermain pisau untuk mengolah makanan. Tapi jika pisau itu diletakkan di tangan yang salah, silakan lari terbirit-birit karena Anda akan ditusuk.
*Penulis merupakan mahasiswa Al-Azhar Jurusan Hadis tingkat 3
Editor: Annas Muttaqin
Posting Komentar