Kamar 51 (Bagian Dua)
By: Tim Phan
“Bagaimana, Ran?
Kau menemukan sesuatu yang baru?” tanya Neila.
“Tidak
ada, bu. Hanya saja aku masih heran. Darah Rian terlalu kental untuk disebut
darah. Lebih seperti jeli. Dan juga tidak ada bau amis yang keluar dari darah
dan tubuhnya.” Ran, kepala autopsy menjelaskan.
“Oi,
oi, oi.” Dren langsung melangkah maju setelah mendengar kalimat Ran. “Apakah
darahnya berwarna hijau? Kental? Dan tidak berbau?”
“Eee…iya,
tapi tidak berwarna hijau.” Ran menjawab ragu.
Seenaknya
saja, Dren langsung menyentuh mayat Rian, ia melihat lebih dekat tubuh
tersebut. Benar, tidak ada bau amis di sana. Dan benar juga kalau darahnya
terlalu kental, seperti jeli.
“Rian
juga seorang alien, bu Neila.” Dren tersenyum puas, akhirnya teorinya selama
ini tentang alien mulai terbuktikan sedikit demi sedikit.
“Teori
apa lagi kali ini, kutu buku?” Josh menggerutu kesal.
“Lihatlah,
darahnya kental. Karena ia sudah sangat lama tinggal di bumi dan makan makanan
manusia, darahnya menjadi warna merah. Juga mayatnya tidak bau sama sekali.
Salah satu yang membuat alien itu spesial, mayatnya tidak bau dan tidak bisa
membusuk. Itulah kenapa mereka melempar mayatnya ke luar angkasa agar tidak
mencemari planet,” tukas Dren.
Neila
menggosok keningnya. Satu sisi ingin percaya apa yang dikatakan Dren, tapi sisi
satunya berusaha untuk logis.
“Apakah
kau bisa mengidentifikasi sidik jarinya, Ran?” tanya Neila.
“Itu
bukan keahlianku, bu Neila. Patrick ahlinya. Sayangnya dia libur hari ini.”
“Aku
bisa melakukannnya.” Dren mengusulkan diri.
“Baiklah,
tolong, Dren.”
Dren
tersenyum puas. Ia dan Ran melangkah menuju ke ruangan sebelah.
“Aku
akan menjaganya, bu Neila. Siapa tahu ia akan membobol berkas rahasia di markas
ini.” Josh juga menawarkan diri.
Sejenak,
Dren keluar dari ruangan.
“Neila,
lihat ini.” Dren menunjukkan secarik kertas bergambarkan sidik jari.
“Apa
ini?” tanyanya heran.
“Lihatlah,
tidak terdata dimanapun. Umurnya sudah melebihi batas untuk kartu penduduk dan scan
sidik jari. Yang artinya dia memalsukan sidik jarinya agar tidak ketahuan kalau
sidik jarinya tidak bisa dibaca oleh mesin buatan manusia. Salah satu kekuatan
mereka adalah mengendalikan pikiran atau telepati. Dia pasti mengendalika
pikiran petugas kantor untuk membuatkannya kartu penduduk. Caranya adalah
seperti memupuk ide di dalam kepala petugas kalau orang di depannya adalah
manusia. Biasanya dengan menggosok dahi, energi telepati itu akan muncul.Itulah
caranya dia mendapatkan kartu penduduk ini.” Dren berseru senang.
DUKK…
DUKK…
Suara
ketukan pintu.
“Bu Neila,
kami menemukan sesuatu.” Salah seorang polisi membuka pintu.
Mereka
bertiga bergegas keluar dari ruangan autopsi setelah mendengar kalimat polisi
tersebut. Melewati lorong hingga sampai di sebuah ruangan.
“Bu Neila.
Kami menemukan tali ini di tong sampah di dekat apartemen.” Di atas meja sudah
ada tali tambang berwarna coklat dengan bercak-bercak darah.
“Sepertinya
sudah bisa kita simpulkan, bu Neila,” ungkap Josh.
“Maksudmu
sudah bisa disimpulkan?” tanya Dren heran.
“Iya,
Rian E. Sallie bunuh diri dengan tali ini,” jawab Josh.
“Oi,
bukankah dia ditembak dengan laser. apakah kau tidak lihat mayatnya tadi?” Dren
semakin heran.
Polisi
di ruangan itu menatap Dren heran. Atmosfir ruangan langsung berubah. Tadinya
mereka semua mulai percaya kalau alien memang nyata. Tapi sekarang seakan-akan
ide yang baru saja ditanam di pikiran itu hilang tanpa jejak. Tadinya semua
orang punya satu tujuan, mencari alien di penjuru kota, sekarang tanpa alasan
apapun, mereka percaya bahwa korban itu hasil bunuh diri.
“Kau
menghayal, kutu buku. Tidak ada senjata laser di dunia ini. Kau sendiri yang
menjelaskan di dalam ruangan kalau Rian mati karena tercekik dengan tali. Kau
juga yang menjelaskan banyak hal tentang pesan-pesan orang bunuh diri melalui
layer proyektor.” Josh menepuk bahu Dren. Meninggalkannyasendiri di ruangan.
Apa
yang baru saja dikatakan Josh? Rian tercekik dengan tali? Seingatnya di dalam
ruangan tadi Dren dengan jelas menjelaskan kalau semua ini perbuatan alien.
Juga Dren menjelaskan dengan singkat bahasa alien, Josh malah mengira itu
adalah surat bunuh diri korban. Sesuatu yang tidak beres baru saja terjadi, dan
tidak ada yang menyadarinya. Dren, hanya Dren yang termangu diam di ruangan
tersebut. Melihat polisi lainnya yang sudah lega bahwa kasus ini akan ditutup
dengan mereka menjelaskan kepada wartawan beberapa jam lagi.
Sejenak,Dren
langsung berlari ke ruangan autopsi. Disana ada Ran yang ingin membungkus mayat
Rian, Dren mencegahnya. Terkejut sekali dia melihat mayat tersebut. Tidak ada
lubang di dadanya, padahal sebelumnya dia yakin sekali kalau itu ada di sana.
Sekarang hanya ada tali di leher Rian. Apa yang baru saja terjadi? Apakah
selama ini Dren hanya bermimpi?
“Hei,
Dren, kau baik-baik saja?” tanya Ran yang melihat tatapan kosong Dren.
“Ya,”
jawabnya singkat.
Sejenak,
ruangan itu senyap. Pikiran Dren entah sudah kemana berlabuh.
“Hei,
apakah alien itu memang berbicara terbalik?” Ran memecah lamunan Dren.
“Tidak
bisa disimpulkan seperti itu, Ran. Hurufnya kadang acak-acakan. Jadi harus
memilih kata yang tepat. Terkadang terbalik, terkadang….” Dren baru sadar
dengan pertanyaan Ran. Dari mana dia tahu kalau Dren menjelaskan bahwa alien
itu berbicara terbalik.
“Darimana
kau tahu itu?” Dren memegang bahu Ran.
“Aku
melihatmu lewat layar televisi ketika kau menjelaskan tadi.” Ran menunjuk televisi
yang ada di atas pintu.
Dren
menyeringai, dia sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Dia menyambar secarik kertas
yang ada di meja. Menuliskan nama Rian di atas kertas tersebut.
“Alien
itu suka sekali membalik huruf manusia. Makanya nama mereka tidak jauh dari
nama kita. Dan kebetulan sekali nama teman kita satu ini menunjukkan banyak
hal,” oceh Dren.
“Kau
ingat di ruangan tadi aku menjelaskan kalau aku punya satu teman di media
sosial yang selalu setuju dengan pendapatku?”
“Iya,
kayaknya,” jawab Ran ragu.
“Nama
temanku itu adalah Voldemort. Dan asal nama Voldemort adalah Tom Marvolo Riddle.
Itu dijelaskan semua di film kedua Chamber of Secret. Jadi nama teman
kita tidak jauh dari sana. Ini dia.” Dren menunjukkan kertas yang telah ditulis
olehnya.
‘Rian E.
Sallie’ dibawahnya, ‘Alien is Real.’
“Maksud
tulisan ini apa?” Ran heran melihat tulisan tersebut.
“Ini
adalah nama kanal youtube ku, Ran. Semua jawaban berasal dari sana. Ini bukan
hanya nama, tapi petunjuk besar.” Dren melompat senang, meinggalkan Ran yang
tidak tahu menahu apa yang baru saja dijelaskannya.
***
Di
luar kantor polisi, tepat di depan pintu. Dren berdiri di balik tembok,
menunggu seseorang keluar. Di tangannya sudah ada gawai dan earphone di
telinganya.
“Hisreb
hibel nagned nakajrek ilak nial. Aynsurugnem uka.” Kalimat itu langsung
diterjemahkan oleh gawai milik Dren.
“Aku
sudah mengurusnya. Lain kali kerjakan dengan lebih bersih,” ucap suara pertama.
“Bagaimana
dengan nerd yang satu itu?” balas suara dua.
“Sudah
diurus. Dia terlalu percaya keberadaan kita. Tidak bisa kukendalikan
pikirannya. Tapi selesai sudah. Esok lusa dia tidak akan mencari kita lagi.
Tinggal mengurus dokumen petinggal yang ditinggalkan Rian entah dimana.” Suara
pertama terkekeh. Suara Neila yang mengira sudah mengurus segalanya.
Posting Komentar