Sebelum Menciptakan Alam, Apa yang Tuhan Lakukan?
Oleh: Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
Dr. Stephen William Hawking (1942-2018 M), fisikawan teoritis ternama, dinobatkan sebagai simbol kecerdasan abad 21 bersama Albert Einstein (1879-1955 M) yang juga sebagai fisikawan berpengaruh atas penemuan teori relativitas umum maupun khususnya. Salah satu karya buku monumentalnya adalah A Brief History of Time. Ia dikenal sebagai fisikawan yang berani menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan alam semesta. Pertanyaan terkenalnya antara lain “Apa yang Tuhan lakukan sebelum menciptakan alam?” Pertanyaan yang begitu sulit dan mungkin menurut sebagian kalangan tidak penting dan tidak beradab.
Ateis tak mungkin punya jawaban apalagi menyelesaikan tuntas berkenaan dengan pertanyaan di atas, karena dari awal memang sudah tidak meyakini adanya Tuhan. Alam sejatinya ada karena kebetulan kosmik yang terus beraktifitas, tak ada awal tak ada akhir, seiring zaman dan peradaban yang terus modern, para fisikawan telah memprediksi dan banyak juga yang yakin bahwa alam ini ternyata ada awal dan ada akhir, walaupun bukan dalam sudut pandang agama, melainkan sudut pandang fisika teoritis tentunya.
Pertanyaan “Sebelum menciptakan alam, apa yang sebenarnya Tuhan lakukan?” setidaknya punya dua sudut pandang:
Pertama, Sudut pandang agama samawi baik itu dari kalangan ulama, sufi dan sebagian filsuf yang mencoba mengkolaborasikan antara filsafat dengan agama.
Kedua, sudut pandang ilmuwan dan sebagian filsuf yang sangat rasionalis dan mengangungkan akal.
Bagi para sufi atau agamawan sejati, umumnya mereka akan gerah, risih, kesal dan menganggap pertanyaan seperti ini sebagai pertanyaan yang tidak beradab, tidak berperilaku sebagaimana esensi seorang makhluk yang lemah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Seorang sufi yang paling dihormati, Jalaluddin Rumi, punya jawaban sendiri “Tuhan menciptakan makhluk karena cinta-Nya pada kehidupan.”
Seorang filsuf Kristen ternama abad pertengahan, St. Agustinus (354-430 M) pernah ditanyai pertanyaan serupa sampai dirinya begitu bosan melayani pertanyaan seperti itu, beliau menjawab “Sungguh Tuhan sedang mempersiapkan neraka untuk mereka yang bertanya seperti itu.”
Jelas argumen-argumen dan cara berpikir agamawan seperti ini membuat kaum rasionalis juga gerah dan kesal dengan hal-hal yang berbau mistik. Mereka butuh jawaban yang ilmiah dan bisa dibuktikan baik secara rasional maupun empiris langsung atas pertanyaan penting ini. Tapi ketika kita meminta pembuktian ilmiah mengenai alam semesta yang ada secara kebetulan, mereka hanya memberikan pembuktian secara rasional dengan silogisme-silogisme tanpa ada yang empiris, bisa dirasakan langsung oleh panca indera, itu pun dengan dalil rasio yang cacat dan tidak logis, akan dijelaskan nanti.
(Sumber: Google) |
Sikap sombong ateis seperti ini lahir karena ketidaksadaran mereka akan keterbatasan dirinya terutama dalam hal nalar. Mengagungkan akal, padahal akal sendiri hakikatnya terbatas, itu terbukti!
Latar Belakang Munculnya Pertanyaan
1. Sebagian Filsuf yang percaya bahwa alam itu qadim (tidak ada permulaan), alam semesta ada seiring dengan adanya Tuhan yang juga qadim. Mereka berargumen andai alam ini berawal dari ketiadaan, maka akan ada lintas kekosongan antara adanya Tuhan dengan adanya alam. Kalau Tuhan Maha Sempurna, mengapa Dia baru berbuat setelah alam semesta ini benar-benar ada? Bukankah itu bertentangan dengan ke-mahakuasaan dan ke-maha-dermawanan-Nya? Kalau memang alam semesta ini memiliki permulaan, dan dia diciptakan dari ketiadaan, lalu apa yang Tuhan lakukan sebelum alam ini diciptakan.
2. Sebagian saintis yang percaya bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan alam atau dengan kata lain tak punya andil akan terciptanya alam semesta ini, dengan kata lain lagi eksistensi Tuhan sejatinya memang tidak ada. Bagaimana alam semesta ini eksis? Ada dan terjadi secara kebetulan belaka. Tentunya melalui proses-proses ‘kebetulan’ dengan atom, Big Bang, gravitasi, dark energi dan lain sebagainya.
Eksistensi Tuhan, Fisika Teoritis dan Teori Kebetulan
Alam semesta yang terdiri dari jauhar (substansi) dan ‘aradh (sifat/aksiden) adalah hadits (baharu). Setiap yang hadits (baharu) butuh dengan yang mengadakan (pencipta) atau sebab yang menjadikan dia ada. Dari hal tersebut dapat disimpulkan (Konklusinya): Alam semesta butuh kepada Pencipta.
Dalil di atas merupakan bentuk qiyas (silogisme). Dalil tersebut menjadi satu perwakilan dalil aqli (dalil logika) yang menunjukkan eksistensi Tuhan, tentunya dengan berbagai pembuktian dari setiap premisnya secara konkret. Kendati pun demikian, masih ada juga kalangan ilmuwan, filsuf dan para pemikir yang membenarkan pandangan bahwa Tuhan tidak punya andil dalam penciptaan alam alias Tuhan itu tidak ada. Mereka mengatakan : “Alam semesta ini tidak ada yang menciptakan , ia terjadi secara kebetulan.” Teori ini diberi nama dengan “As-Shudfah” dalam Bahasa Arab atau “The Theory of Coincidence”. Ketika ditanya tentang proses terjadinya alam semesta secara kebetulan tersebut, mereka menjelaskan sebagai berikut:
Satu trilliun atom tanpa batas itu bergerak di angkasa luas dan pada rentang waktu yang sangat lama dan tanpa batas pula. Pergerakannya tidak mengarah pada tujuan tertentu, tapi bergerak sesuai kehendaknya sendiri. Tiba-tiba, atom-atom ini menyatu satu sama lain sehingga menjadi –pada awalnya– sebuah gumpalan yang sangat besar. Ketika gumpalan raksasa ini bergerak secara serempangan, terjadilah tabrakan dahsyat dengan matahari dan terpecah menjadi beberapa bagian. Dan dari bagian-bagian ini terbentuklah bumi. Planet-planet dan bintang-bintang serta terbentuklah tata surya yang kita kenal saat ini.
Aneh dan tak masuk akal, inilah yang akan menjadi tanggapan orang yang sadar akan fitrahnya sebagai makhluk. Belum lagi penjelasan seperti ini pasti membuat gerah para agamawan dan punya nilai sufistik tinggi dalam hidupnya. Penjelasan yang aneh dan panjang diatas itu bisa disingkat dengan “Tuhan yang menciptakan alam semesta.” Anggaplah penjelasan diatas tadi fakta, tidak berkontradiksi dengan pernyataan “Tuhanlah yang menciptakan alam semesta”, bahkan bisa saling melengkapi. Tuhan menciptakan atom-atom dst. Masalahnya paham ateisme sendiri berusaha menghindar dari pernyataan-pernyataan atau premis nalar bahwa Tuhan itu ada atau Tuhan itu yang menciptakan alam. Mereka menghindar dari itu dengan menempatkan ilmu pengetahuan (sains) sebagai ganti dari keimanan, ilmu pengetahuan mampu menjawab segalanya tanpa sentuhan dari wahyu ilahi.
Itu baru mengenai proses terbentuknya alam semesta, ada juga teori menarik mengenai akhir dari alam semesta. Setelah sebelumnya ada yang mengatakan bahwa alam semesta dan atom itu abadi, muncul pendapat yang mengatakan kalau alam semesta ini akan berakhir. Berakhir dengan skenario big rip, alam semesta akan terus mengembang dan meluas di luar kontrol, menyebabkan alam semesta mengalami big freeze (pembekuan besar-besaran). Energi apa yang membuat alam semesta bisa mengembang seperti itu? Dark Energy. Bahkan sampai saat ini, para ilmuwan juga belum tuntas dalam membongkar hukum-hukum dari dark energy ini, dengan kata lain, masih bersifat teoritis. Dalam buku A Brief History of Time karya Stephen Hawking, dijelaskan bahwa pertanyaan asal mula dan akhir alam semesta awalnya merupakan ranah filsafat, tapi sejak eksperimen Edwin Hubble pada tahun 1929 M yang melihat antar jarak satu galaksi dengan galaksi lain menjauh, maka pembahasan tersebut masuk ke ranah sains. Itu merupakan konsekuensi dari big bang. Ini merupakan bukti bahwa alam semesta akan berakhir dengan skenario Big Rip. Ada juga teori menarik bahwa alam semesta akan berakhir dengan penyempitan, seiring waktu, alam semesta terus menyempit, teori ini dinamakan Big Crunch.
Dari semua proses asal mula dan berakhirnya alam semesta ini, mereka yakin bahwa sains bisa menjawab dan memecahkan segala hal. Mereka semakin yakin bahwa Tuhan tidak ada atau tidak punya andil dalam penciptaan alam semesta.
Julian Huxley, salah satu tokoh pengganung “Teori Kebetulan” yang hidup tahun 1940-an berusaha menetapkan teori tersebut dengan penemuan-penemuan ilmiah kontemporer. Namun, ada beberapa ilmuwan yang hidup pada masanya mengkritik secara ilmiah akan teori tersebut; yang terdepan adalah ilmuwan asal Amerika Serikat, Prof. Dr. Cressy Morisson (Mantan Kepala Akademi Ilmu, New York), salah satu ilmuwan tersohor di masanya dan juga sebagai teman sejawat Julian Huxley. Bantahan-bantahan ilmiahnya dihimpun dalam satu buku kecil yang diterjemahkan dalam Bahasa Arab dengan judul “Al-Ilm Yad’u li Al-Iman,”
Grand Imam Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad Muhammad At-Thayyib juga turut membantah teori tersebut. Beliau merangkum dalam karyanya “Muqawwimat Al-Islam,”. Dalam karyanya itu meliau membantahnya menjadi dua sisi bantahan.
*Penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir Universitas Al Azhar Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat.
Editor: Annas Muttaqin
Posting Komentar