Azhari Yang Ideal ; Praktisi Ilmu dan Amal
Oleh: Sayyid Muhibbullah
*Juara ketiga lomba menulis opini se-masisir
Kiprah Al-Azhar dalam dunia keilmuan Islam tidak dapat diragukan lagi kredibilitas dan kapabilitasnya, begitu pula peranannya dalam menyebarkan paham keislaman yang sesungguhnya. Konsep Wasathiyyatul Islam yang digaungkan oleh Al-Azhar selalu menjadi solusi bagi problematika umat, terutama pada perpecahan didalamnya yang terjadi satu abad belakangan ini. Tak sedikit dari alumni institut islam tertua didunia ini yang kemudian kembali ke negeri asalnya membawa ajaran islam yang benar dan penuh kedamaian bagi masyarakat disekitarnya. Salah satu tokoh representatif yang masyhur adalah Ustadz Hanan Attaki yang mampu merangkul pemuda dengan gaya dakwah beliau yang kekinian dan friendly tanpa harus menanggalkan identitas beliau sebagai seorang azhari. Adapula Ustadz Abdus Somad dengan retorika dakwah yang mumpuni hingga mampu menarik perhatian masyarakat yang heterogen, tanpa menanggalkan identitasnya sebagai azhari pula.
Keberhasilan para alumni Al-Azhar dalam menyebarkan konsep Wasathiyyatul Islam dinegeri asal mereka tentu tak akan terlepas dari kemampuan mereka untuk memperoleh ilmu secara luas dan mendalam dari para masyaikh dengan tetap mempertahankan identitas mereka sebagai delegasi bangsa yang akan menyebarkan manhaj Al-Azhar. Manhaj inilah yang terbukti menjadi solusi terhadap berbagai problematika kehidupan dengan memahami kontekstualitas antara ilmu dan permasalahan yang aktual dan faktual. Contohnya seperti Perkembangan revolusi industri yang implikatif pada pembaharuan hukum, penyebaran paham liberal yang kian marak dikalangan masyarakat,serta paham islam yang dangkal nan implikatif terhadap perpecahan umat, dan problematika lainnya.
Konsep Wasathiyyatul Islam yang terinterpretasi dari manhaj Al-Azhar ini adalah manifestasi dari paham keislaman yang I’tidal daripada Al-Quran dan Sunnah yang dibangun atas tiga cabang ilmu keislaman primer; ‘Ulum Nash, ‘Ulum ‘Aql, ‘Ulum Zhauq. Implementasi terhadap konsep ini membangun sikap kritis dan kebebasan bagi para penuntut ilmu untuk memilih suatu mazhab tanpa mengabaikan apalagi mencela mazhab lainnya dengan paham yang pragmatis hingga menolak kesadaran akan dinamisme masa yang menuntut perbaharuan hukum. Hal ini menjadi penting bagi para penuntut ilmu agar dapat saling menghargai satu sama lain walau berbeda pandangan secara ekstrem sekalipun serta mampu memecahkan problematika apapun yang terkait dengan agama .[1]
Dalam konteks masyarakat yang majemuk, konsep Wasathiyyatul Islam terbukti mampu berasimilasi dengan keberagaman manapun dan kapanpun itu. Dari segi keberagaman umat beragama, sebagaimana yang direpresentasikan oleh Grand Syaikh Al-Azhar, DR. Ahmad Thayyib, dalam penandatangan pakta perdamaian internasional bersama Paus Fransiskus Di Roma dalam rangka menyebarkan ajakan toleransi antar umat beragama. Adapun dari segi keberagaman budaya dan suku, terinterpretasi dari keberhasilan dakwah Walisongo yang mengislamisasi budaya setempat tanpa bias hukum yang mampu membangun persepsi negatif nan kontradiktif antara agama dan budaya. Keberhasilan inipun kemudian dilanjutkan oleh ulama-ulama yang hidup setelahnya dengan mengusung konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan masyarakat yang plural.
Selaku pelajar yang menuntut ilmu di Al-Azhar dengan manhajnya yang akademis nan kredibel, apakah hanya dengan mempelajari semua ilmu yang ada disana mampu membantu seorang azhari secara utuh untuk menerapkannya dalam kehidupan dengan berbagai aspeknya?
Implementasi konsepsi Wasathiyyatul Islam diatas akan sangat terbantu apabila seorang azhari memiliki faktor-faktor eksternal penunjang keberhasilan praktisi ilmu dan amal. Dalam hal ini, seorang azhari yang ideal diharuskan menguasai konsepsi Wasathiyyatul Islam itu sendiri selaku ikon dari manhaj Al-Azhar serta menguasai keterampilan -keterampilan eksternal yang mampu menunjangnya dalam menyebarkan konsepsi ini.
Konsep ideal secara umum dapat diartikan dengan keterbaikan yang melekat pada suatu entitas yang berdasarkan pada tingkatan nilai yang dianut oleh suatu persepsi. Plato menggunakan istilah ini untuk menunjukkan ide-ide kekal yang setiap ide tersebut membawa kesempurnaan jenis. Adapun dalam konteks masa kini, konsep ideal diwujudkan dalam bentuk sikap mempertahankan aspek valuasional dunia[2]. Pada berat badan misalnya,istilah yang digunakan sebagai tolak ukur keterbaikan pada berat badan adalah “berat badan yang ideal”. Begitu pula pada mahasiswa yang mampu menyeimbangkan kewajiban dan kebutuhannya selaku mahasiswa juga seringkali disebut dengan istilah “mahasiswa ideal”. Dalam hal ini, konsep ideal pada seorang azhari dilekatkan pada keterbaikannya dalam menyesuaikan pahamnya dengan manhaj azhari serta mampu menyeimbangkan antara kewajiban dan kebutuhannya selaku thalibul ilmi.
Berikut faktor-faktor eksternal penunjang keberhasilan praktisi ilmu dan amal yang akan membentuk sosok azhari yang ideal:
1.) Konsistensi Dalam Belajar dan Muraja’ah
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa sebagian besar warga Indonesia yang berangkat ke Mesir tak lain dengan tujuan menuntut ilmu, khususnya di lingkungan Al-Azhar. Untuk memperoleh keilmuan yang mumpuni sesuai dengan manhaj azhari, Al-Azhar pun terbagi menjadi dua sistem akademik, Jami’an dan Jami’atan. Sistem yang pertama memandang Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan berbasis talaqqi bersama para masyaikh diluar perkuliahan. Pembelajaran yang dilakukan biasanya membentuk halaqah dengan para murid menghadap kearah syekh yang menjelaskan dari arah yang berlawanan. Gaya belajar mengajar yang otentik dikalangan umat islam ini terbukti efektif dalam membentuk malakah keilmuan yang baik dalam diri sang thalib. Sedangkan sistem yang kedua, jami’atan, pembelajaran difokuskan dalam lingkungan akademik perkuliahan dengan metodologi pembelajaran tertentu yang telah diatur oleh pihak kampus. Gaya belajar mengajar yang dianut pada sistem ini lebih persuasif terhadap kemampuan diskusi mahasiswa serta pendalaman terhadap ilmu yang sudah dipelajari diluar kampus.
Kompleksitas sistem pembelajaran yang ada di Al-Azhar ini terbukti mampu membentuk pemahaman terhadap ilmu secara menyeluruh pada diri seorang azhari. Bahan pembelajaran yang diajarkan dikampus akan dibantu dan diuraikan lebih rinci di talaqqi, begitu pula sebaliknya. Sehingga dirasa kurang tepat jikalau seorang azhari hanya memilih salah satu diantara dua konsep yang Al-Azhar anut diatas.
Tahap selanjutnya yang harus direalisasikan oleh seorang azhari yang ideal adalah konsistensi dalam mengulang pelajaran yang sudah didapatkan dilingkungan kampus maupun diluar kampus. Hal ini tentu tidak akan terlepas dari kebiasaan manusia yang mudah lupa serta keberadaan hawa nafsu yang terkadang paradoks. Bahkan para masyaikh Al-Azhar setiap kali selesai mengajar tak jarang mengingatkan para muridnya untuk muraja’ah. Salah satu semboyan yang sering ditanamkan kedalam jiwa para muridnya adalah:
“"حياة العلم مذاكرة. وموته النسيان
Dalam salah satu muhadharah mata kuliah syubhat haula al-hadits nya di ruang kuliah, Duktur Samih Abdullah menjelaskan bahwasanya dalam mendalami suatu ilmu, ada tiga malakah (baca:kemampuan) yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu agar ilmu yang didapatkan tidak sia-sia. Tiga kemampuan tersebut adalah,sebagai berikut:
1. Malakatul Istihshal ) (ملكة الاستحصال atau kemampuan kognitif
2. Malakatul Istikhraj (ملكة الاستخراج) atau kemampuan afektif
3. Malakatul Istihdhar (ملكة الاستحضار)atau kemampuan implementatif ilmu dan amal
Ketiga kemampuan bertingkat diatas tidak akan mampu diraih oleh seorang azhari kecuali dengan konsistensi dalam belajar dan muraja’ah. Pengulangan bahan pembelajaran yang sudah didapatkan secara berkelanjutan mampu mengikat ilmu yang ada hingga mendarah daging. Terbukti ketika seseorang telah menyelesaikan suatu pelajaran disuatu waktu dan diulang dilain waktu serta tempat yang berbeda seringkali memunculkan persepsi dan pemikiran baru yang tidak muncul sebelumnya. Keberulangan hal ini secara terus menerus akan mampu mengikat seorang pelajar dengan ilmu itu sendiri sehingga mampu mengarahkan ilmu yang dimiliki pada kondisi apapun kala diperlukan. Kemampuan seperti inilah yang dimaksud dengan Malakatul Istihdhar.
2.) Membangun Relasi
Urgensi dari faktor ini didasarkan kepada fragmentristik ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang manusia serta kebutuhan manusia akan komunikasi. Konteks poin pertama disini menjadi penting kala berkecimpung dalam dunia akademik karena manusia memiliki keterbatasan dalam meraih ilmu secara keseluruhan. Hal ini pun menuntut manusia untuk mampu berdialektika bersama orang lain untuk berdiskusi dalam hal apapun agar pengetahuan itu sendiri dapat diraih secara paripurna. Dalam konteks ini, maka dibutuhkan sebuah komunitas yang mampu menunjang peningkatan akademik dengan mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah secara aktif serta persuasif. Implementasi konteks ini juga terbukti mampu menunjang pembelajaran yang sudah didapatkan di lingkungan kampus serta luarnya. Dengan adanya komunitas-komunitas riset seperti yang lingkungan NU selenggarakan misalnya ataupun kelompok diskusi filsafat serta cabang ilmu lain yang berbasis analisis dan penelitian.
Konteks diatas korelatif dengan konteks poin yang kedua,yakni kebutuhan manusia akan komunikasi. Manusia, khususnya seorang pelajar asing, dituntut agar mampu bertukar pesan antara satu sama lain dengan berbagai macam keanekaragaman perantara komunikatif yang digunakan. Maka dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan komunikatif serta memperluas wawasan keduniaan, seorang azhari dituntut agar mampu banyak bergemul dengan komunitas yang memiliki tingkat pluralistik yang bertingkat. Semakin tinggi tingkat pluralitik yang ada, maka semakin tinggi pula kemampuan komunikatif yang didapatkan. Tak hanya itu, pengetahuan akan dunia luar semakin luas sehingga kita tidak mudah untuk menghakimi orang lain secara sepihak serta mampu belajar banyak dari bermacam-macam tipe manusia yang ada.
Walaupun kita dituntut untuk mampu komunikatif dan bergemul dengan kalangan manapun, akan tetapi hal tersebut tidak serta merta mengharuskan kita untuk menanggalkan identitas kita yang sebenarnya. Seringkali karena mengganggap budaya atau gaya bahasa yang digunakan oleh daerah asalnya seakan “tertinggal” , membuat beberapa orang memilih untuk “menyesuaikan diri” secara total dengan orang luar. Tentu hal ini tak terlepas dari ketakutannya dalam menghadapi kenyataan akan pengasingan dan anggapan akan ketertinggalan. Padahal hal ini memiliki probabilitas akan teridapnya miskin identitas yang tinggi serta berdampak buruk bagi kesehatan mental dan perkembangan masyarakat. Bayangkan saja jika seseorang dengan budaya yang ia miliki sejak lama harus dipaksakan “setara” dengan semua budaya luar yang beranekaragam, harus berapa banyak “topeng” yang harus dipasang?
3.) Keterikatan Bersama Al-Quran
Dalam Seminar Kebangsaan yang bertema “Peran Strategis Alumni Al-Azhar Dalam Konteks Tantangan Bangsa Di Masa Depan” yang dilaksanakan di Al-Azhar Conference Center pada 28 November 2021, Komjen Pol (P) Dr. Syafruddin, M.Si. selaku narasumber menguraikan sebuah data faktual yang miris. Berdasarkan data statistika dari Yayasan Indonesia Damai Mengaji, 65% dari warga Indonesia diketahui tidak bisa membaca Al-Quran. Hal ini sungguh menjadi ironi bagi suatu negara yang dipandang memiliki nilai keislaman yang kuat beserta jumlah penduduk muslim terbesar dunia. Fakta ini terjadi tentu tak terlepas dari banyak faktor, salah satu faktor utamanya adalah minimnya pendidikan Al-Quran itu sendiri.
Yang tak kalah ironis adalah fakta bahwa bencana ini juga sudah menjamur di tanah Aceh yang terkenal sebagai “Serambi Mekkah”. Sebanyak 82% calon mahasiswa Universitas Syiah Kuala dinyatakan tak lulus tes baca quran pada tes masuk tahun 2015[3]. Dalam hal ini tak terpungkiri lagi bahwa kenyataan akan tingginya tingkat buta huruf Alquran yang sudah banyak kita jumpai dari bermacam-macam berita, data statistika, beserta rahasia umum yang sudah menyebar di masyarakat, menjadi tantangan seorang penuntut ilmu agama, terutama bagi seorang azhari untuk pembentukan generasi yang lebih baik.
Berdasarkan sambutan yang diutarakan oleh rektor Al-Azhar saat ini, Dr. Al-Mahrashawy, kala acara IFTAH ( Iftitah lil Al-Ansyithathi Al-Ta’limiyyah ) dan IQBAL ( Istiqbal Thullab Judud ) yang diselenggarakan oleh PPMI Mesir bahwasanya dari 33.000 pelajar asing di Al-Azhar, 10.000 diantaranya berasal dari Indonesia[4]. Dengan jumlah mahasiswa Indonesia yang sedemikian banyaknya, menjadi langkah yang sangat strategis dan efektif bagi masyarakat bersama para alumni Al-Azhar untuk memberantas kasus buta huruf Al-Quran yang telah menyebar begitu luas di berbagai pelosok bangsa Indonesia. Terlebih dengan kemajemukan yang ada di dalam tubuh Mahasiswa Indonesia itu sendiri, misi untuk menyebarkan pendidikan Al-Quran dapat menyebar secara merata.
Tak hanya itu, memang sudah sepantasnya bagi seorang azhari untuk memperdalam ilmu Alquran itu sendiri. Mulai dari qiraat-qiraat yang bersambung sanadnya hingga kepada Rasulullah SAW. , keluasan dari ilmu-ilmu yang muncul darinya, hingga pemahaman akan penyelewengan persepsi yang telah muncul dikalangan masyarakat secara umum terhadapnya dan cara untuk membantahnya. Sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan intelektual muslim Indonesia, bahwa paham-paham liberal yang menyebar di banyak institusi Islam di Indonesia sudah kian marak bahkan mampu merangkul pemerintah dengan semboyan “Moderasi Beragama” nya. Terlepas dari usaha akan penyesuaian maknanya dengan konsep Wasathiyyatul Islam, makna ”moderasi” itu sendiri pada dasarnya adalah demokrasi liberal. Salah satu implikasi dari penerapan paham liberal ini di banyak kalangan akademik keislaman Indonesia adalah munculnya miskonsepsi dan miskontekstualis terhadap agama, tak terkecuali keraguan terhadap Al-Quran yang didukung oleh penerapan ilmu Hermeneutika pada Al-Quran.
4.) Penguasaan Terhadap Hard Skill dan Soft Skill
Melihat begitu banyaknya kewajiban dan kebutuhan yang harus ditunaikan oleh seorang azhari, maka dibutuhkan kemampuan-kemampuan penyokong keberhasilannya di dalam diri seorang azhari yang ideal selaku seorang pelajar. Terlebih dengan perkembangan revolusi industri yang kian pesat serta pemikiran manusia yang semakin kompleks membuat keahlian akan Hard Skill dan Soft Skill ini menjadi nilai tambah tersendiri yang sepatutnya dimiliki.
Hard Skill dapat diartikan dengan kemampuan yang mampu diukur secara psikomotorikal. Biasanya kemampuan ini dibutuhkan dalam banyak pekerjaan yang melibatkan kegiatan fisik dan berhubungan dengan teknologi. Misalkan kemampuan menggunakan aplikasi editing , Microsoft Tools, dan lain-lain. Sedangkan Soft Skill diartikan dengan kemampuan intrapersonal sebagai atribut dan ciri kepribadian seseorang. Sebagaimana yang dilansir daripada The World Economic Forum pada tahun 2015, ada 10 soft skill yang dipetakan sebagai kebutuhan kaum milenial masa kini[5]. Berikut adalah soft skill yang dimaksud:
1.) Manajemen Waktu
2.) Public Speaking
3.) Networking
4.) Berpikir Kritis
5.) Komunikasi yang Baik
6.) Kepemimpinan
7.) Analisis Informasi
8.) Mudah Beradaptasi
9.) Kreatif dan Rasa Ingin Tahu
10.) Kolaborasi
Seorang azhari yang ideal adalah pelajar yang menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh di Al-Azhar dan menerapkan apa yang sudah menjadi manhaj Al-Azhar serta memiliki kemampuan untuk menyebarkannya kepada sesama. Oleh karena itulah faktor-faktor penunjang diatas sudah sepatutnya melekat pada diri seorang azhari untuk menjadi ideal. Agar apa yang telah dipelajari tak hanya berguna bagi dirinya sendiri, tapi juga memberi manfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
[1] Ahmad Thayyeb, “Fii Al-Manhaj Al-Azhari”, Alhokama Publishing, 2017, Hal. 07-09
[2] Duniaberbagiilmuuntuksemua.blogspot.com
[3] Aceh.tribunews.com
[4] Ppmi.or.id.
[5] Lifepal.co.id
Mahasiswa tingkat dua, Universitas al-Azhar, Kairo.
Posting Komentar