Assalamualaika Yaa Rahmatan lil 'Alamiin
Oleh: Muhammad Chalil Bisri*
Sumber: Unsplash.com (Ryan Pradipta Putra) |
Beberapa waktu lalu, sebelum
Syekh Abdullah Izzuddin memulai pembacaan sunan Abi Daud, beliau membuka
majelis dengan membaca bab maulid Rasulullah SAW dari kitab karangan beliau “Tadzkirud
Du'aat wal 'Awaam”. Paparan beliau begitu sejuk, tenang dan penuh hikmah.
Dalam membantah kelompok yang mengharamkan maulid, beliau sama sekali tidak
menggebu-gebu. Akhlak mulia tampak jelas dari wajah teduh lagi penuh senyum
itu.
Beliau menyebutkan bahwa
maulid nabi yang kita rayakan tiap tahun hanyalah sebuah wasilah untuk mencapai
suatu tujuan. Tujuan yang ingin kita capai yaitu masuk ke dalam golongan yang
disabdakan Rasulullah SAW:
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتّى أكُونَ أحَبَّ إلَيْهِ مِن والِدِهِ
ووَلَدِهِ والنّاسِ أجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sampai aku lebih
dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh umat manusia.” (HR.
Muslim no. 44)
Menjadikan Nabi SAW sebagai sosok utama yang kita cintai adalah
perkara wajib. Inilah tujuan yang ingin kita gapai. Namun, untuk mewujudkan hal
tersebut, banyak cara dan wasilah yang dapat kita tempuh, termasuk salah
satunya dengan mengagungkan hari lahir beliau SAW.
Lalu muncul pertanyaan diusung oleh kelompok yang usil: “Kalau begitu,
mengapa di zaman Nabi dan sahabat tidak pernah ada perayaan maulid?
Bukankah ada ungkapan لو كان خيرًا
لسبقونا إليه (jika suatu perkara itu
dianggap baik, tentu salafus salih sudah lebih dahulu mengerjakannya)?” Ada
lagi yang menuding bahwa tradisi maulid berasal dari sekte syi’ah. Merayakan
maulid sama saja seperti mengikuti mereka. Nah, bagaimana cara menjawab
syubhat-syubhat mereka? Untuk mendapatkan jawabannya, mari simak ulasan singkat
di bawah ini.
SEJARAH MUNCULNYA PERAYAAN MAULID NABI SAW.
Dalam kitab “Subulul Huda war Rasyad" disebutkan: Orang
yang pertama sekali merayakannya adalah Syeikh Umar bin Muhammad al-Mulla,
seorang yang saleh dan masyhur, berasal dari kota Irbil, ibu kota Kurdistan
Irak. Kemudian penduduk kota Irbil melestarikan perayaan tersebut, dan diikuti
oleh umat islam lainnya hingga saat ini.
Sedangkan yang pertama sekali mensyia’rkan secara luas perayaan
tersebut adalah seorang raja bernama Mudhaffaruddin Abu Sa’id Kukuburi bin Ali
at-Turukmani (w. 630 H) yang juga berasal dari Irbil. Dalam kitab “Siyar
A’lam an-Nubalaa”, Imam ad-Dzahabi menggambarkan sosok sang raja sebagai
sosok bermadzhab sunni yang murah hati, suka bersedekah, penyayang anak yatim,
mencintai kaum sufi, fuqaha, muhadditsin dan sangat tawadhu’.
Dari keterangan Imam ad-Dzahabi di atas, tergambar jelas bahwa orang
yang pertama sekali merayakan maulid Nabi SAW berasal dari kalangan ahlussunnah. Keterangan ini sekaligus menjadi bantahan atas tudingan tanpa dasar
mereka yang mengatakan bahwa sumber perayaan maulid Nabi SAW berasal dari
golongan Syi’ah Fatimiyyah.
HUKUM PERAYAAN MAULID NABI SAW BESERTA LANDASAN HUKUMNYA.
Merayakan hari lahir Nabi SAW dengan bergembira atas nikmat
kelahirannya serta memperbanyak amal salih di
hari tersebut merupakan suatu perkara yang baik menurut kacamata syariat dan
mempunyai landasan hukum yang kuat. Tokoh-tokoh besar dari mazhab yang empat
juga satu suara dalam membolehkan perayaan maulid nabi ini. Berikut dalil-dalil
yang menjadi landasan para ulama dalam membolehkan hal tersebut:
1. 1. Hadits yang Menjadi Sebab Nabi SAW Puasa di Hari Senin.
عن أبي قتادة
الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم الإثنين فقال:
((فيه ولدت وفيه أنزل علي)) رواه مسلم ح ١١٦٢
Suatu ketika Nabi SAW pernah
ditanya oleh sahabat tentang sebab beliau berpuasa di hari Senin. Lalu, Nabi SAW
menjawab bahwasanya hari tersebut adalah hari kelahiran beliau. Beliau
merayakan hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin.
Ibnu al-Hajj, seorang ulama
bermadzhab Maliki yang terkenal keras dalam memelihara sunnah Nabi SAW berkata
dalam kitabnya “Al-Madkhal”: “Ketika Rasulullah SAW menyatakan bahwa hari
Senin adalah hari kelahiran beliau, maka secara tidak langsung beliau
menyatakan bahwa hari Senin adalah hari istimewa, begitu juga dengan bulan
lahirnya beliau SAW.”
Sama halnya dengan hari
Jum’at, di hari tersebut ada satu waktu yang apabila seorang muslim berdoa,
maka seluruh doanya dikabulkan oleh Allah SWT. Jumhur ulama mengatakan bahwa
waktu tersebut terbentang antara setelah asar hingga masuk waktu magrib. Nah,
pertanyaannya, mengapa rentang waktu antara setelah asar hari Jumat hingga terbenam
matahari menjadi waktu mustajab untuk berdoa? Jawabannya, dalam banyak riwayat
yang sahih disebutkan bahwa di waktu tersebut Nabi Adam a.s diciptakan oleh
Allah SWT.
Oleh karena itu, jika
seandainya hari Jum’at menjadi mulia karena di hari tersebut Nabiyullah Adam
a.s diciptakan, bagaimana lagi dengan hari kelahiran sayyidul awwalin wal
akhirin sayyiduna Muhammad shallallahu alaihi wa sallam?
2. 2. Hadits Diringankan Siksa Abu Lahab.
قَالَ
عُرْوَةُ: (وَثُوَيْبَةُ مَوْلاَةٌ لأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا
فَأَرْضَعَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ
بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ
لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ خيرا غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي
ثُوَيْبَةَ.) رواه البخاري ح ٥١٠١
Dikisahkan oleh 'Urwah:
Tsuwaiba adalah budak perempuan milik Abu Lahab yang dibebaskan oleh dia
sendiri, kemudian Tsuwaiba menyusui Nabi SAW. Ketika Abu Lahab meninggal, salah
seorang kerabatnya melihatnya dalam mimpi dalam keadaan yang sangat buruk, lalu
bertanya kepadanya, "Apa yang kamu temui?" Abu Lahab berkata,
"Saya tidak menemukan suatu kebaikan pun kecuali bahwa saya telah diberi
air minum melalui ini (Abu Lahab memberi isyarat ke ruang antara ibu jari dan
jari telunjuk), dan itu karena saya telah memerdekakan Tsuwaiba."
Senada dengan hadits di atas,
Al Hafidz Syamsuddin Ibn Nasiruddin as-Syafi'i menulis sebuah syi’ir dalam
kitabnya “Mauridus Shadi fii Maulidil Hadi”:
إذا
كان هذا كافرا جاء ذمه * بتبَّت يداه فى الجحيم مخلدا
أتى
أنه فى يوم الإثنين دائما * يخفف عنه للسرور بأحمدا
فما
الظن بالعبد الذى كان عمره * بأحمد مسرورا ومات موحدا
Jika orang kafir ini (Abu Lahab) yang
telah dicela
Dengan “Tabbat Yada” dan kekal di neraka
Ada riwayat yang menyatakan bahwa
setiap hari Senin selalu
Diringankan siksa baginya karena bahagia saat lahir
Nabi Muhammad SAW
Maka bagaimana lagi dengan seorang
mukmin yang seluruh umurnya
Bahagia akan kelahiran baginda dan
mati dalam keadaan beriman?
3. 3. Kaidah: ما لا يتم المندوب إلا به فهو مندوب (Suatu hal sunnah tidak
dikatakan sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu sunnah
hukumnya.)
Kaidah
ini disebutkan oleh seorang ulama syafi’iyyah, Imam Syihabuddin Ar Ramli dalam
kitabnya “Nihayatul Muhtaj”. Beliau mengelompokkan kaidah ini ke dalam
kaidah ما
لا يتم الواجب إلا به فهو واجب dan للوسائل أحكام المقاصد. Pengantar kepada suatu yang wajib menjadi wajib,
pengantar kepada suatu yang sunnah menjadi sunnah, begitu juga seterusnya
kepada segala sesuatu yang makruh, haram dan mubah.
Mencintai
Nabi SAW adalah perkara wajib yang harus ditunaikan oleh seluruh umat islam.
Hal ini sesuai perintah beliau dalam hadits, bahwasanya tidak sempurna iman
seseorang sampai nabi menjadi sosok yang lebih ia cintai daripada anak, orang
tua dan manusia seluruhnya. Jika mencintai nabi adalah perkara wajib, maka
terus menerus menambah kecintaan terhadap beliau adalah sebuah anjuran.
Menambah kecintaan dapat kita wujudkan dengan berbagai cara, salah satu yang
paling agung adalah dengan merayakan hari kelahirannya, sambil memperbanyak
shalawat dan membaca sirahnya di hari tersebut.
PENDAPAT
ULAMA DALAM MENGHUKUMI PERAYAAN MAULID NABI SAW.
1) 1). Jumhur ulama dari muhadditsin dan
imam madzhab fiqh sepakat hukumnya adalah mustahab. Di antara para ulama
tersebut adalah:
a.
Abu Syamah Al- Maqdisi As- Syafi'i
(w. 665 H). Beliau
adalah gurunya imam Nawawi. Beliau berkata dalam kitabnya “Al- Ba’its ‘ala
Ingkaril Bida’ wal Hawadits”: “Sebaik-baik perkara bid’ah yang muncul di
zaman kita saat ini adalah perayaan masyarakat Irbil setiap tahun yang
bertepatan dengan hari lahirnya baginda Rasulullah SAW berupa sedekah,
memperbanyak berbuat baik, dsb. Sesungguhnya hal tersebut adalah amal ma’ruf
bagi faqir miskin sekaligus syiar untuk menambah kecintaan kepada Nabi SAW dan
sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas karunia terbesar yang diberikan
kepada umat ini berupa kehadiran Rasulullah SAW.”
b.
Ibrahim Ibnu Jama’ah Al- Kinani As-
Syafi'i (w. 675 H). Beliau adalah ayah dari Badruddin Ibnu Jama’ah, keduanya
merupakan ulama terkemuka dalam madzhab Imam Syafi’i. Badruddin Ibnu Jama’ah
mengatakan dalam kitabnya “Masyikhatuhu”: “Sesungguhnya ayah saya
mengadakan majelis perayaan di tiga malam; malam kelahiran Rasulullah SAW,
malam mi’rajnya beliau SAW dan malam nisfu Sya’ban. Orang datang berbondong-bondong
untuk mendengar majelis beliau, baik dari kota maupun desa.”
c.
Imam Al- Bulqini As- Syafi'i (w. 805
H). Ibnu
Tagri Birdi, seorang pakar sejarah menjelaskan dalam kitabnya “An- Nujum Az-
Zahirah", begitu juga Al- Maqrizi dalam kitabnya “As- Suluk li
ma’rifati duwalil muluk” bahwa Imam Al- Bulqini menghadiri perayaan maulid
Nabi SAW bersama sultan Barquq (sultan masa kerajaan Utsmani) setiap tahunnya.
Beliau duduk di samping kanan sultan hingga menjelang tengah malam.
d.
Abu Zur’ah (w. 826 H). Beliau pernah ditanya tentang
perayaan maulid, apakah makruh atau haram? Beliau menjawab, “Sedekah makanan
hukumnya mustahab di setiap waktu, apalagi jika sedekah itu diikuti dengan rasa
gembira akan lahirnya Rasulullah SAW di bulan yang mulia ini.”
e.
Ibnu Hajar ‘Asqalani (w. 852 H). Beliau mengatakan tentang
hukum perayaan maulid, “Perayaan maulid pada dasarnya adalah bid’ah, karena
salafus salih tidak pernah mengerjakannya. Tetapi bid’ah itu terbagi lagi
kepada dua bagian. Orang yang melakukan bid’ah dalam konteks kebajikan, maka ia
telah berbuat bid’ah hasanah, yang berbuat bid’ah dalam kemaksiatan,
maka ia telah berbuat bid’ah madzmumah.
Selain lima pendapat ulama di atas, masih banyak ulama lain
dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah yang menyatakan bahwa hukum perayaan
maulid tersebut adalah mustahab, di antaranya: Ibnu Rajab Al-Hanbali, Ibnu
Al-Hajj Al-Maliki, Ibnul Jazari, Imam As-Sakhawi, Imam As-Suyuti, Syihabuddin
Al-Qastallani, Najmuddin al-Ghaiti, Imam Al-Mulla Ali Qari, dll.
2) 2). Sebagian ulama ada yang mewajibkan
perayaan maulid ini. Di antaranya adalah Syekh Muhammad Khalil Al-Hijrisi
As-Syafi'i Al-Azhari (w. 1328 H). Beliau mewajibkan perayaan maulid bagi orang
yang mampu melaksanakannya. Landasan hukum beliau adalah qiyas terhadap
pendapat Abu Hanifah yang mewajibkan berqurban bagi orang yang mampu.
3) 3). Sebagian lagi ada yang menjadikan
hukum maulid ini makruh. Sebagai catatan, sejak munculnya perayaan maulid di
abad ketujuh hijriah, hingga muncul kelompok yang mengaku sebagai pengikut
madzhab salaf, hanya dua orang saja yang memakruhkan maulid, yaitu Ibnu
Taimiyah Al- Hanbali dan Tajuddin Al- Fakihi Al- Maliki. Kedua dari mereka
hanya sampai ke derajat memakruhkan, tidak sampai mengharamkan.
Dari
tiga pendapat besar para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa sejak perayaan
maulid pertama kali muncul di abad ketujuh hijriah, belum ada seorang pun
yang mengharamkan tradisi ini. Hukum haram dalam perayaan maulid pertama kali
muncul dari sekte yang menganggap dirinya sebagai pengikut madzhab salafus
salih, pengikut Muhammad bin Abdul Wahab.
Sumber: Unsplash (Halil Ibrahim Cetinkaya) |
Syekh
Abdullah Izzuddin mengatakan bahwa pendapat mereka itu tidak salah, itu
sebuah ijtihad. Kita hargai ijtihad
mereka, tidak boleh mengingkarinya. Karena permasalahan ini masuk ke dalam bab
khilafiyah yang tidak ada hukum tetap. Kita hargai seluruh pendapat yang ada,
selama pendapat tersebut memiliki dalil yang jelas. Tapi yang sangat
disayangkan adalah, mereka itu yang menganggap dirinya paling sesuai dengan
ajaran sunnah malah merendahkan pendapat yang tidak sesuai dengan ijtihad
mereka. Bahkan mereka menghina para ulama yang tidak sesuai dengan pendapat
yang mereka anut dan menganggap para ulama itu jahil. Padahal yang sedang
mereka hina adalah ulama-ulama besar kaum muslimin, pewaris ilmu dan sunnah
Nabi SAW. Para ulama itu lebih paham sunnah, lebih dekat dengan generasi
salafaus salih dari pada mereka. Yang lebih parahnya lagi dan tidak dapat
ditoleransi adalah mereka membohongi umat dalam menyampaikan pendapat ulama
yang berseberangan dengan mereka dalam permasalahan ini.
Seperti
yang sudah dijelaskan di awal, maulid adalah salah satu wasilah untuk mencintai
Nabi SAW. Di zaman salafus salih mereka tidak merayakan hari lahir Nabi SAW,
karena saat itu rasa cinta mereka kepada baginda masih sangat kental, iman
mereka masih sangat kuat, wasilah mencintai Nabi SAW masih kukuh. Namun, di
zaman yang sudah sangat banyak fitnah ini, saat kaum muda banyak yang lalai
akan agamanya, saat wasilah mencintai Nabi SAW melemah, para ulama menciptakan
inovasi baru agar kecintaan terhadap baginda SAW tetap tertancap kuat meski
zaman terus berganti.
Di
akhir pembacaan kitab “Tadzkirud Du'aat wal ‘Awaam”, Syekh Abdullah
Izzuddin mengatakan bahwa bid’ah itu bukanlah sebuah hukum Namun, ia adalah
sifat yang dinisbahkan kepada perkara-perkara yang muncul setelah wafatnya
Rasulullah SAW. Sedangkan hukum, telah dibatasi oleh ulama kepada hal yang
lima; ijab, nadab, tahrim, karahah, ibahah. Oleh sebab itu, setiap
perkara bid’ah mempunyai hukumnya masing-masing. Imam syafi’i telah membagi
bid’ah ini kepada dua bagian; bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah.
Perkara yang sejalan dengan sunnah Rasulullah SAW tergolong ke bid’ah
mahmudah, sedangkan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW masuk ke
golongan bid’ah madzmumah.
Memang
benar hadits Nabi SAW “Kullu bid’atin dhalalah”. Namun, Imam Syafi’i
menerjemahkan maksud hadits ini sebagai berikut: “Kullu bid’atin (madzmumah)
dhalalah”. Artinya, setiap perkara baru yang muncul setelah wafatnya
Rasulullah SAW yang tidak sejalan dengan sunnahnya saja yang sesat. Adapun yang
sesuai dengan sunnah maka itu sebuah perkara yang terpuji dan berpahala. Dalam
hadits lain Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang siapa memulai dalam agama
islam suatu perbuatan yang baik, maka baginya pahala dari perbuatannya
tersebut, dan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang
sedikit pun dari pahala mereka.”
Nasihat
beliau kepada seluruh hadirin pagi itu agar kita selaku umat islam saling
menghargai ijtihad dan pendapat setiap golongan, tanpa ada yang merasa paling
benar. Semua punya dalil masing-masing. Semua berhak menjalani atas apa-apa
yang diyakininya. Semuanya benar. Yang salah adalah orang yang suka menyalahkan
pendapat yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Kemudian,
walaupun sudut pandang kita terhadap maulid ini berbeda-beda, jangan sampai
perbedaan ini mengurangi kecintaan kita terhadap Nabi SAW. Karena mencintai
Nabi SAW hukumnya wajib, sedangkan merayakan maulid hukumnya sunnah. Mencintai
Nabi SAW adalah tujuan, sedangkan merayakan maulid adalah salah satu wasilah
untuk mencapai tujuan. Boleh berbeda wasilah, tapi tujuan kita tetap sama. Boleh tidak merayakan
maulid, tapi jangan menyalahkan orang yang merayakannya. Boleh tidak merayakan
maulid, tapi kecintaan kita terhadap Rasulullah SAW tetap utama. Wallahu
a’lam.
*Penulis merupakan mahasiswa magister di fakultas ilmu islam jurusan hadis universitas al-Azhar, Mesir
Editor : Ali Akbar Alfata
Posting Komentar