Gelora Sang Anak Batu
Oleh: Setia Farah Dhiba
(Sumber foto: Google) |
Saat berusia empat tahun beliau
ditinggalkan sang Ayah, tepatnya pada bulan Rajab 777 H/1357 M.. Saat itu ayahanda beliau menjadi satu-satunya tempat Ibn Hajar
kecil berpangku. Sedangkan sang Ibunda telah terlebih dahulu wafat. Musibah yang
bertubi-tubi ini begitu mengusik pikiran Ibnu Hajar kecil yang mulai memasuki fase
belajar, dari situ ia mulai mengalami kesulitan menghafal serta memahami
hal-hal sederhana dalam pembelajarannya. Sampai satu hari dimana ia memutuskan sejenak meninggalkan kelas
belajarnya untuk memaknai apa yang sedang terjadi pada jiwanya.
Qadarullah kala berjalan meratapi diri, turunlah hujan
lebat yang mengantarkannya berteduh di dalam sebuah gua. Di dalam sana
al-Hafizh duduk termenung. Hujan yang mereda meninggalkan tetesan air yang
jatuh ke atas bebatuan. Perlahan nan lembut meneduhkan hatinya, tetesan air itu membuat bebatuan sekitar gua tersebut berlubang. Lantas beliau
merenungi bahwasannya tidak mungkin itu semua terjadi jika bukan karena kuasa
Allah Ta’ala.
Berangkat dari kejadian tersebut kemudian al-Hafizh
tergerak untuk kembali ke tempat belajarnya dan mendiskusikan persoalan ini
pada gurunya. Mendengar cerita muridnya, sang Guru membuka satu rahasia kepada
al-Hafizh,
“Lihatlah, Jika air hujan saja menetes dengan lembut karena tunduk dan patuh mengikuti ketentuan Allah bisa menjadikan batu yang sangat keras jadi berlubang, bagaimana lagi jika dirimu mau patuh atas ketentuan Allah dalam hidupmu.”
Dari situ Ibn Hajar mulai tersadar, semangatnya menggelora. Ia yakin tak ada kata sulit dan payah jika terus berusaha dan menyerahkan semua hasilnya pada Allah.
Semula satu hadis terasa sukar untuk dihafalkan. Tak lama
berselang masa yang singkat Shahih al-Bukhari hadir dalam benak sang Imam. Tak tanggung-tanggung, beliau hingga mensyarahkannya dalam delapan belas
jilid kitab yang dinamai Fath al-Bari Bisyarh Shahih al-Bukhari. Nama kitab ini merupakan isyarat dari kejadian yang beliau alami. Al-Bari
adalah satu dari nama Allah yakni sifat baik Allah yang senantiasa memberikan
bermacam kebaikan yang bersifat luas dalam kehidupan hambanya. Kemudian Fath
yaitu sesuatu yang terbuka. Maka Ibnu Hajar mengisyaratkan dari pemberian nama
tersebut seumpamanya siapa saja yang ingin terbuka segala kebaikan dalam
hidupnya entah itu persoalan keluarga, pekerjaan, sosial dan hal lain hendaknya
memulai mempelajari apa yang sudah beliau syarahkan dalam kitab tersebut.
(Sumber foto: nacihashop.com) |
Melalui kitab ini sang Imam, dengan nama pena “ Ibn Hajar” ingin menyampaikan bahwa beliau pernah
mengalami kesulitan dalam hal menghafal, kesulitan sekeras batu, bahkan lebih
dari itu. Namun dengan kuasa Allah Ta’ala semua kesulitan tersebut bisa dibuka
dengan segala kebaikan-kebaikan dari Allah. Kebaikan-kebaikan
inilah kemudian beliau tuangkan dalam Fath
Al bari, penjabaran dari kitab Bukhari.
Syarah al-Bukhari adalah yang terbesar secara mutlak, dan karya al-Hafizh yang terbesar. Kedelapan belas jilid kitab tersebut yang kemudian dalam Alquran hanya disingkat dengan satu kata yaitu “Taqwa”. Pada penggalan akhir Quran surah al-Baqarah Ayat 282 Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ
عَلِيمٌ
“Dan bertakwalah kepada Allah, Ia Dzat yang memberikan pengajaran kepadamu, dan Ia Maha Mengetahui segala sesuatu."
Maka dapat diperhatikan redaksi konsep ilmu dalam
al-Quran bersifat “pemberian” bukan hanya hasil kerja keras seorang pelajar itu
sendiri. Secara hukum dunia seseorang belajar lalu mendapat pengetahuan. Namun
di seberang sana terdapat hukum akhirat, yang mana jika seorang thalibul
‘ilmi mendekati pemilik ilmu, bukankah lebih mudah untuk mendapatkan ilmu
dari pemiliknya?
Al-hafizh adalah gambaran nyata seseorang yang berhasil
mencapai esensi dari makna “takwa”. Dekat dengan Allah Ta’ala, berpengetahuan
luas dalam masa yang singkat, mendapatkan furqan; mampu membedakan mana yang
bermanfaat dan tidak, dijaga dari maksiat, dijadikan sebagai orang mulia di
dunia, cepat diberikan solusi dalam masalah yang dihadapi, serta mendapat
kebahagiaan juga kesuksesan di dunia.
Baca juga: Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi
Dr. Hamid Abdul Majid mengatakan, “Allah telah
menjadikannya mencintai hadits, lalu merasa lahap dengannya, bersemangat
padanya, mewakafkan hidupnya untuk mempelajarinya, dan memperbanyak perjalanan
untuk mencarinya.” Nukhbah al-Fikr fi Musthalah Ahl al-Atsar, merupakan
karya lain dari Ibnu Hajar sebagai ringkasan dari Ulum al-Hadits karya
Ibnu ash-Shalah. beliau pun turut menambahkan beberapa maklumat yang tidak
disebutkan oleh Ibnu ash-Shalah. Beliau pula dapat menyatukan esensinya hanya dalam beberapa lembar saja mengikuti tertib maklumat yang terbaharukan. ini menjadi tanda dari kejeniusan sang Imam. Ringkasan
maklumat istilah-istilah hadis pada kitab Nukhbah al-Fikr secara
sederhana dijelaskan secara luas pada syarahannya Nuzhah an-Nazhar.
Sebagai pelajar pemula, kedua kitab ini bisa menjadi langkah-langkah awal
sebelum memasuki ruang keilmuan hadis yang lebih luas lagi.
Pada malam sabtu permulaan 28 Dzulhijjah 852 H, cucu dan sebagian sahabat duduk di sekelilingnya membaca surah Yasin sekali dan mengulanginya kembali. Sampai pada Firman-Nya,
سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ
“(Mereka) mendapat ucapan salam (sebagai tanda selamat) dari Tuhan yang Maha Penyayang"
Ibn Hajar al-Hafizh kembali pada Rabbnya. Semoga Allah
Ta’ala senantiasa merahmati beliau dan mengganjarkan pahala terbaik atas apa
yang sudah dituliskan untuk generasi setelahnya.
Mempelajari ilmu hadits secara tidak langsung membawa kita semakin mencintai
apa yang disampaikan Rasulullah ﷺ. Karena hidup bukanlah perkara durasi, tapi
kontribusi. Juga setiap manusia akan kembali pada Sang Ilahi untuk mempertanggungjawabkan amal sepanjang umur yang diberi.
Penulis adalah Mahasiswi tingkat akhir Fakultas Syari'ah Islamiyah Universitas Al Azhar, Kairo.
Editor: Annas muttaqin S
Posting Komentar