Ied Adha dan Merawat Nilai Meu Adoe-a
(Ilustrasi:Orretz.com) |
Oleh : Muhibussabri Hamid
Idul Adha sangat identik dengan ibadah Haji dan Qurban,
konon pada hari tersebut jamaah haji berbondong-bondong menuju Mina untuk
melempar Jamarah Aqabah setelah bermalam di Muzdalifah dan berwuquf di Arafah
(9 Zulhijjah). Bagi yang tidak berhaji disunnahkan berpuasa arafah yang
keutamaannya sangat besar.
Banyak sekali pesan penting dalam pelaksanaan ibadah Haji
diantaranya adalah totalitas beribadah dengan harta dan jiwa, persatuan dan
ukhwah islamiah serta tadabbur rangkaian nilai-nilai sejarah utuh yang mereka
rasakan dengan mempraktikkan secara langsung.
Dalam berbagai literatur Islam, Idul Adha disebutkan penuh
dengan momentum. Mulai dari kisah turunnya perintah Allah Swt kepada Nabiyullah
Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail, yang berakhir dengan ibadah qurban
dalam Islam. Bahkan jauh sebelum peristiwa tersebut Nabiyullah Ibrahim sudah
menerima perintah untuk membawa Siti Hajar dan Nabi Ismail yang masih bayi
hijrah ke tanah Makkah.
Di
sana hanya aroma tandus, tidak ada air, tidak ada manusia, hanya rumah tua
dari pelepah kayu yang sudah mengering dan tempat penampung air hujan. Lalu di sanalah
tanah yang menjadi cikal bakal Bait al Atiq (Ka’bah) dimulai, Sumur
Zamzam, Sa’i (berlari kecil antara Shafa dan Marwa) juga awal mula Kota Mekkah.
Lalu berlanjut pembinaan tempat orang-orang melakukan thawaf, perintah i’tikaf,
ruku’ dan sujud diturunkan seperti termaktub dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah
ayat 125.
Merawat Nilai Meuadoe-A
Narasi diatas penting sekali bagi penulis dalam mencari
momentum untuk merangkai dan mengingatkan nilai meuadoe-a (bersaudara layaknya adik dan kaka kandung) di tubuh KMA
sejak musibah pandemi mewabah. Sebab mau tidak mau, pergeseran nilai hidup dan
nilai sosial dipaksa berubah oleh keadaan bahkan aturan hukum dan agama harus
menggunakan hukum penyesuaian di masa-masa istisna’i.
Thayyib, KMA sejak mulai didirkan hingga sekarang asas dan
pondasinya utamanya adalah keluarga. Artinya di sana ada orang tua (mungkin
ayah, ibu), abang, kakak dan adik. Poin ini wajib terukir dalam hati dan
pikiran siapa saja yang berada dalam payung KMA, terlepas dari darah luar Aceh-kah
ia atau warga turunan-kah ia, sering ke KMA-kah dia atau membenci KMA
sekalipun.
Baca juga: Buka Puasa dan Takbiran bersama (arsip 2011)
Pun demikian, jika sewaktu-waktu salah satu keluarga kita
(baca; kalian) di KMA butuh bantuan kita dalam hal apapun, tentu saja sebagai
abangnya/kakak, kita tidak akan meninggalkan mereka. Jika mereka kelaparan kita akan membagi setengah jatah kita untuk
mereka, jika mereka bahagia kita akan memberi tepuk tangan kebahagiaan dan
kebanggan. Bahkan ketika mereka meninggal kita akan berbagi air
mata dan doa untuk mereka.
Nilai agama dan budaya kita mengajarkan untuk tidak
meninggalkan siapapun, mengorbankan siapapun dan membenci siapapun. Sebab kita
tidak tau siapa yang akan berbagi sesuap nasi ketika kita kelaparan suatu saat,
atau siapa yang berada disamping kita ketika kita menghembuskan nafas terakhir
dan berbagi recehan untuk memulangkan jasad kita.
Sebaliknya, sebagian dari kita (baca; kalian) saat ini sebagai
adik-adik, yang diperhatikan dan disayang, dikritik dan ditempa, mungkin sakit
atau cara mereka salah, tapi sabarlah. Tidak ada satupun abang/kakak kita yang
ingin mencelakan kita, toh mereka orang tua dan keluarga kita disini. Pun
suatu saat kita akan berada di posisi mereka.
Akhiran, di bumi ini kita hidup bersama dalam ukhwah islamiah dan
KMA, menjalani rangkaian serta tadabbur nilai-nilai luhur sejarah para ulama
menuntut ilmu secara langsung. Pun kita diharuskan totalitas mencari ilmu
semaksimalnya, beberapa orang bahkan berqurban dengan umur dan nyawa mereka. Pendidikan
hidup kita dimulai di sini, mungkin lima tahun belajar cukup bagi seseorang
menjadi seorang sarjana, tapi untuk menjadi manusia kita butuh bertahun-tahun bahkan
seumur hidup kita.
Wallahu A’lam
Editor: Annas Muttaqin
(Penulis adalah Dewan Majlis Syura Keluarga Mahasiswa Aceh)
Posting Komentar