Menelusuri Kemukjizatan Bahasa Al-Quran
Oleh: Muhammad Farhan*
Sumber gambar: Google-Luhur Rindu |
Al-Quran dan Hadits adalah dua sumber utama dalam Islam. Keduanya berupa tulisan yang telah diriwayatkan dan disampaikan hampir 1500 tahun. Khusus untuk Al-Quran, walaupun masa yang telah begitu lama, tidak ada satu huruf pun yang dapat diragukan darinya. Sebagai bukti yang tidak terbantahkan ialah kesamaan antara satu Al-Quran yang terdapat di Indonesia dan di India atau di belahan dunia lainnya. Semua Al-Quran terdiri dari 114 surah dan semua penghafal Al-Quran menghafal isi yang tidak pernah berbeda.
Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang sangat konkrit dengan retorika yang tidak ada tandingan. Bahkan untuk satu ayat saja tidak ada yang mampu menyamainya. Mereka para penyair dan pujangga sekaligus sastrawan hebat di masa jahiliyah itu takluk terhadap kehebatan bahasa Al-Quran. Kalau kita telaah lebih mendalam, bahasa Al-Quran sangat sempurna dengan makna dan tujuan selaras dengan objeknya. Apabila ditujukan untuk bangsa Arab bentuk penyampaiannya tersirat. Sementara untuk selain Arab, bentuk penyampaiannya gamblang dan mudah.
Misalnya, ayat yang khusus ditujukan kepada Bani Israil, maka bahasanya akan berulang-ulang, penjelasan yang jelas karena bangsa tersebut lambat dalam memahami. Sedangkan jika redaksinya diturunkan untuk bangsa Arab, maka penyampaiannya akan lebih ke isyarat dan lugas akan tetapi memiliki makna yang banyak bahkan makna tersebut sekain berkembang dalam seiring berjalannya zaman. Sebab bangsa arab menyukai gaya bahasa yang sedemikian rupa.
Oleh karena itu, hadits memiliki istilah penyampaian dari baginda Nabi dengan Jawami’ul Kalim (جوامع الكلم) yang berarti lafaz yang sedikit kalimatnya namun dapat mengeluarkan makna yang banyak. Penafsiran yang berbeda-beda. Pemahaman yang beragam. Bahkan dengan mempertanyakan tiap susanan kata dapat melahirkan banyak rahasia-rahasia.
Tentu, semua itu tak dapat ditemukan tanpa modal yang ampuh. Tidak mungkin tanpa senjata dapat melunakkan musuh. Mustahil alat tumpul dapat merubah dari keadaan biasa-biasa saja menjadi amazing. Begitu juga Al-Quran dan Hadits, sumber utama yang menjadi referensi Islam yang telah bertahun-tahun. Tidak sedikit pakar-pakar ilmu tafsir, ilmu bahasa, ilmu tasawwuf, ilmu akidah dan filsafat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh bahkan ilmu modern pun dapat beradaptasi dengan Al-Quran, walaupun ada beberapa pandangan yang tidak menyetujuinya. Tapi di sini yang ingin kita tekankan adalah semata keotentikan dan keindahan tata bahasa Al-Quran.
- Penelitian Seputar Kemukjizatan Bahasa Al-Quran
Sebagaimana yang kita imani, Al-Quran ialah salah satu mukjizat Nabi Muhammad yang abadi hingga akhir zaman. Tapi apakah selama ini kita pernah berpikir di mana letaknya itu? Ketika membaca Al-Quran adakah rasa bahwa Al-Quran ini adalah benar-benar mukjizat? Atau kita hanya termasuk orang yang membaca Al-Quran sementara pikiran berada di luar dari baris-baris mulia ini?
Sebagai orang awam yang sama sekali tak menyentuh ilmu syariat, mungkin sah-sah saja mereka menjawab.
"Kami cukup hanya dengan membaca karena walaupun membaca tapi tak paham arti, tetap mendapat ganjaran satu huruf dengan sepuluh kebaikan."
Lantas, sebagai penuntut ilmu? Apakah kita juga mencukupkan diri dengan jawaban tersebut? Jawabannya pasti tidak, ingin lebih dari sekedar membaca dan menghafal, yaitu memahami dan mengamalkan dengan benar serta jika Allah beri kemudahan serta dapat menyampaikan dan menyebarkan kebaikan.
Berbicara seputar mukjizat kalam Allah dari segi bahasa, telah lahir berbagai diskusi tukar pikiran dan perdebatan ilmiah. Semua itu muncul dari surah Al-Baqarah, ayat ke-32.
"Dan jika kamu meragukan (Al-Quran) yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."
Ayat yang diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ini telah mampu melumpuhkan kemampuan para penyair untuk menandingi. Mendatangkan serupa dengannya. Walaupun mereka adalah pemilik bahasa itu sendiri dan manusia-manusia yang paling memahami bahasa Arab kala itu. Kehebatan mereka dalam membuat dan menyusun lafaz dan makna yang bersastra tidak ada bandingan. Dengan spontan dapat mengeluarkan syair yang begitu memesona. Akan tetapi dengan kemampuan yang telah melekat itu, kenapa mereka tak dapat menandingi bahasa Al-Quran?
Menurut Abi Ishaq an-Nashiibi dan Abi Ishaq an-Nidzami yang keduanya dari golongan muktazilah mengatakan bahwa Allah sendiri yang melumpuhkan kemampuan bangsa Arab untuk menandingi bahasa Al-Quran. Jika tidak sedemikian rupa, semestinya mereka mampu melakukan hal tersebut.
Pendapat di atas juga dikuatkan oleh Yahya ibn Hamzah ibn 'Ali Al-Husaini Al-'Alawi yang mengatakan bahwa Allah mencabut segala ilmu yang telah melekat di jiwa bangsa Arab sehingga kemampuan itu tiada.
Seluruh pendapat di atas ditolak dan bathil. Karena dapat menyudutkan Al-Quran dan melemahkan nilai bahasa Al-Quran. Dan makna sebenarnya daripada kalimat Allah menantang para penyair untuk membuat semisal satu surah dari Al-Quran adalah Allah tetap membiarkan kemampuan mereka dalam kefasihan dan keindahan beretorika. Oleh karena itu, Abu Sulaiman al-Khithabi, salah seorang ulama bahasa yang menulis Risalah al-'Ijazi Al-Quran membantah pendapat ini dengan ayat ke-88 dari surah Al-Isra.
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."
Sekalipun manusia dan jin bersatu untuk menandingi, pun tak mampu untuk mendatangkan suatu hal yang dianggap baru. Allah menantang dengan adanya kalimat persatuan dan saling membantu antara jin dan manusia itu sekaligus menetapkan bahwa kemampuan fasih dalam beretorika tak dicabut sehingga kedua bangsa ini dapat bersatu dalam mendatangkan semisal satu surah dari Al-Quran. Andaikata kemampuan itu diambil dan dilenyapkan, tentu tidak ada hubungan yang dapat menyatukan keduanya.
Imam Abdul Qahir al-Jurjani juga membantah pemahaman tersebut, menegaskan keingkaran bangsa Arab akan tampak dengan nyata, jika seandainya kemampuan itu dihilangkan, tentu mereka akan berujar, "Sungguh sebelumnya, kami dapat mendatangkan hal semacam itu, akan tetapi kamu (Muhammad) telah menyihir kami," akan tetapi tidak ada satu nash pun yang menyatakan pernyataan itu.
Pernyataan Allah menghilangkan kemampuan bangsa Arab untuk beretorika fasih akan menjadikan kurangnya nilai kehebatan mereka. Akan tetapi, meskipun Al-Quran telah diturunkan, kelihaian mereka tidak ada yang berubah baik itu sebelum diturunkan Allah atau sesudahnya. Itu juga menjadi bukti kelemahan mereka dalam menandingi dan meninggikan derajat Al-Quran yang bahasanya mukjizat.
- Lantas, bagaimana merasakan mukjizat bahasa Al-Quran?
Pertama, ayat Al-Quran mencakup peristiwa-peristiwa ghaib, sebagaimana yang termaktub dalam surah Ar-Rum, bahwa kemenangan bangsa Romawi akan terwujud. Dan benar, para sejarawan menyebutkan bahwa sembilan tahun usai ayat tersebut turun, bangsa Romawi menang atas bangsa Persia kala itu.
Namun al-Khithabi menambahkan, perkara ghaib ini tidak bisa menjadikan Al-Quran mutlak sebagai mukjizat. Namun, hal ini hanyalah bagian dari kemukjizatan Al-Quran.
Yang kedua, kemukjizatan Al-Quran kembali pada gaya bahasanya yang baru dan terlihat beda daripada gaya bahasa syair dan khitabah.
Kemudian yang ketiga, bukti kebenaran dan rahasia tersirat yang selalu lahir dari Al-Quran, itulah yang menjadi tumpuan menaikkan derajatnya sebagai mukjizat abadi. Rahasia bahasa yang lahir dari tafakkur dan kedalaman dalam tadabbur melalui ilmu balaghah seperti isti’arah dan tasybih.
Adapun yang keempat, ini adalah pendapat yang shahih dan benar, bahwa Al-Quran ialah mukjizata abadi karena indahnya susunan bahasa, kefasihan dalam penuturan, retorika yang tinggi di atas penggambaran pemikiran manusia.
Terakhir yang kelima, bahasa Al-Quran mampu melunakkan batin dan mempengaruhi jiwa. Apabila pesona keindahannya mengetuk pintu hati melalui pendengaran, niscaya kelezatan, ketentraman, dan kelembutan akan lahir sehingga tumbuh perasaan cinta yang dalam. Sebagaimana hal ini telah terbukti jauh sebelum masa sekarang ketika Sayyiduna Umar bin Khattab mendengar adiknya membacanya surah Thaha, lalu beliau menyatakan keislamannya.
Inilah ringkasan singkat mengenai bahasa Al-Quran yang tiada bandingannya. Bahasa yang diturunkannya pun menjadi bahasa yang paling mulia di seantero dunia. Mempelajarinya ialah sama dengan menjadikan diri sebagai pengagum abadi hingga pengamalan yang benar. Sungguh aneh jika ada sebagian kelompok yang mengangungkan diri sebagai Ahlul Quran tapi tidak mempelajari bahasa Arab dengan mendalam. Sungguh aneh jika semata-mata menjadikan terjemahan Al-Quran sebagai pedoman utama dalam mengamalkan sekaligus tanpa guru yang membimbing.
Semoga dengan sedikit coretan yang pendek dari beberapa referensi dapat menjadi motivasi lebih giat dalam belajar, khususnya bahasa Arab. Karena ia merupakan kunci dari seluruh ilmu syariat kelak. Aaamiin.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar - Kairo.
Editor: Syafri Al Hafidzullah
Posting Komentar