Gadis Bermata Sembap
Oleh: Muhammad Chalil Bisri*
(Gambar oleh: Fariza Chan) |
Dulu, aku pernah bahagia denganmu. Aku merasa menjadi gadis paling beruntung saat itu. Namun setelah Kau menikahi model asing berparas rupawan itu, semua menjadi berubah. Setelah sepuluh tahun tanpa kabar, tiba-tiba di suatu pagi Kau menghubungiku.
“Halo, Sari. Masih ingat dengan suara ini?"
Ekspresiku ketika itu biasa saja. Kau kira aku terkejut, lantas tersenyum bahagia? Tidak. Kejadian masa lalu itu telah menghancurkan segalanya. Aku tak lagi menganggapmu seorang yang spesial.
“Bagaimana kabarmu?”
Aku baik-baik saja, meskipun dokter telah memperhitungkan sisa usiaku. Andai Kau tahu bagaimana aku sekarang, mungkin Kau tak sudi menghubungiku, Zul. Walaupun dulu aku pernah tergila-gila kepadamu, tapi sekarang kita sudah tidak di fase itu lagi. Kita sudah sama-sama dewasa. Kedewasaan terkadang sedikit banyak telah merubah tabiat manusia.
"Oh ya, belakangan ini aku menemukan Facebook-mu. Kamu masih ayu, Bu Guru.”
Ternyata Kau belum berubah. Masih seperti dulu. Gaya bicaramu masih sama, suka memuja-muji. Aku sudah lama tidak membuka Facebook. Foto terakhir yang aku unggah mungkin tiga tahun lalu. Dulu, aku pernah terpikir untuk menghapus akun Fb-ku, tapi setelah dipikir-pikir, tak apalah, apa salahnya aku menyimpan kenangan. Jadi untuk saat ini, foto-foto itu sungguh tak bisa dipercayai lagi, Zul.
“Aku dan Aiko sudah bercerai enam bulan lalu. Kami merasa sudah tidak cocok. Dia pun sudah kembali ke Jepang, melanjutkan rutinitasnya sebagai model, menghiasi cover majalah lokal di sana. Oh ya, tiga hari lalu aku komunikasi dengan Sophia, dia nge-DM aku. Kami bercerita panjang lebar. Dia bilang … hmmm, maaf, Kamu masih single?”
Aku sudah tahu kemana arah pembicaraanmu. Tapi aku bukanlah wanita seperti yang Kau pikirkan. Mesikipun dulu aku pernah sangat sulit melupakanmu, tapi sekarang situasinya berbeda. Setelah Kau meninggalkanku tanpa kabar, Kau kira bisa seenaknya kembali begitu saja, hah?
“Peruntunganku di ibu kota juga sepertinya sudah habis. Wabah covid yang terus melanda dunia membuat beberapa usahaku gulung tikar. Oh iya, aku teringat sesuatu, Kamu masih suka makan Indomie, kan?”
Kau tertawa di seberang sana. Suara cekikikanmu terdengar jelas di telingaku. Aku tidak tertawa. Kau tau Zul, aku sudah tidak boleh makan indomie, bakso, dan produk makanan lain yang mengandung pengawet. Dokter sudah melarangku.
Namun, Kau malah terkekeh. Kau bilang, “Ah, Sari. Ternyata Kamu masih persis seperti dulu.”
Tidak, Zul Kau kira aku masih sama seperti masa muda kita dulu. Bahwa diamku adalah setuju. Tidak. Kau salah besar. Dokter telah memvonisku dengan kanker payudara dua tahun lalu. Sekarang, aku harus kemoterapi sebulan sekali. Aku kira kanker payudara sudah cukup, ternyata Tuhan menuntutku menjadi lebih kuat. Kanker itu sekarang sudah menjalar ke tulang belakang.
“Aku tahu waktu berjalan dan bisa mengubah semuanya, tapi aku ingin kita kembali.”
Oh, tidak. Tidak, Zul. Jangan katakan itu. Aku takut Kau menyesal. Aku takut Kau menarik kembali kata-katamu. Aku takut.
“Sophia juga bilang padaku kalau Kamu sudah berhijab. Pasti wajah manis itu bertambah manis dengan dihiasi kerudung.”
Kau bahkan tidak tahu kenapa alasanku memakai kerudung, Zul. Seluruh rambutku habis. Kanker itu tak menyisakannya sehelai pun. Pasca-kemo tiap awal bulan, aku merasa kepanasan di sekujur tubuh yang hangus dan pecah-pecah. Ya, dengan kerudung itu setidaknya orang-orang yang belum tahu tentang kankerku tidak banyak bertanya.
“Oh iya, Kamu sudah mendengar kalau aku akan mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Kampar, kan? Bulan depan aku berencana kembali ke sana. Aku dipinang petahana untuk maju mencalonkan diri tahun depan. Aku dan Kamu orang asli daerah sana. Aku rasa ini adalah momen yang tepat untuk merajut kembali kisah baru kita. Kamu bersedia mendampingiku, kan? Tenang saja, urusan menang atau kalah kita tetap akan menghabiskan sisa umur bersama. Kita akan menikah.”
Baca juga: Selin
Setelah telepon masuk itu datang, aku kembali menjalankan rutinitasku seperti biasa. Aku tidak terlalu ambil pusing dengan kalimat-kalimatmu di sana. Malah aku kasihan. Aku takut Kau menyesali seluruh ucapanmu itu. Hembusan nafasku menjadi jawaban di setiap pertanyaan yang Kau lontarkan.
Hingga pada suatu pagi, aku mendengar pintu rumahku diketuk. Sebenarnya aku ingin sekali mencegahmu datang, tapi sudah terlanjur. Aku mengintip di balik gorden. Oh tidak, Zul, Kau membawa buket bunga. Kau tahu, itu sama sekali tidak mencairkan apa pun, termasuk perasaanku yang terlanjur membatu.
Terdengar suara daun pintu pintu Kau kuak. Kau mengucapkan salam, lalu mengambil posisi duduk di sofa ruang tamu.
“Mau minum apa?” Teriakku dari dapur. “Aku masih punya blooming tea, oleh-oleh dari muridku tempo hari.”
“Hmmm… terima kasih sebelumnya. Tidak usah repot-repot.”
Lima belas tahun lalu saat kita masih bersama, Kau sangat suka dengan teh asal Cina itu. Waktu itu kita sering menyeruput teh bersama di halaman belakang rumahku sambil menikmati sepotong senja. Ah, kenangan itu lagi-lagi terbayang di pikiranku. Kau hari ini datang membawa luka lama, tapi tak apa. Aku tak lagi kecewa dengan luka itu. Anggap saja hari ini adalah kewajibanku menjamu tamu. Aku menjamumu layaknya tamu-tamu lain yang datang ke rumahku.
Kau seperti melihat pintu neraka terbuka saat melihatku muncul dari dapur dengan membawa dua cangkir blooming tea. Bola matamu membesar saat menatap wajahku ketika aku sedikit membungkuk meletakkan air di atas meja. Aku bisa merasakan tatapan itu. Bibirmu terkunci, Kau terdiam terpaku. Kepalamu menggeleng.
“Zul,” kataku setelah duduk, membuka percakapan. Ekspresimu masih terkejut. Kau masih belum percaya dengan apa yang ada di hadapanmu.
“Ingin aku mendengar kalimatmu sekali lagi. Ingin sekali aku mendengar ucapanmu tempo hari lewat telepon bahwa aku masih cantik. Ingin sekali aku mendengar kalimatmu bahwa kita akan menjalani sisa umur bersama.”
Kau menelan ludah. Kaki dan tanganmu gemetaran. Dahimu berkeringat. Tak kuasa mulutmu berbicara.
“Minggu lalu saat Kau meneleponku bukannya aku tidak mau bicara, dua minggu pasca-kemo adalah neraka bagi pengidap kanker. Kulitku melepuh terbakar, lidahku kehilangan rasa, kerongkonganku panas, sakit saat berbicara. Aku tidak mempunyai banyak uang untuk membeli ramuan China agar tubuhku tidak menjadi zombi. Tunjangan guru honor tidak ada harganya bagi para pengidap kanker.”
Kau menghela nafas panjang, sambil mengelap keringat yang mulai banyak di keningmu.
“Tenang, Zul. Aku tidak meminta uangmu.”
Ah, tanggung, benakku dalam hati. Aku melipat lengan bajuku sampai siku. Kau melihat jelas tanganku bergelembung seperti orang yang terkena infus obat keras salah urat. Seketika itu Kau membuang muka.
“Ayolah, Zul, bicaralah. Jangan balas dendam padaku. Aku tidak bicara di telepon ketika itu karena aku tidak kuasa mengeluarkan kata-kata. Lah, sekarang Kau? ayo, Zul. Aku ingin mendengar kata-katamu sekali lagi.”
Pandanganmu mematung ke atas meja. Kau memandang kosong kepulan asap dari Blooming Tea yang aku sajikan.
“Atau minumlah dulu. Barangkali setelah kerongkonganmu basah kita bisa memulai percakapan. Kamu masih suka teh itu, kan? Tenang, Zul, kanker payudara dan tulang belakang bukan penyakit menular, kok.” Aku melepaskan hijab di kepalaku.
Tanganmu mengatup seluruh wajahmu. Kini Kau enggan melihat sosok di hadapanmu.
“Kau baru tahu kalau aku botak, kan?” Aku sebenarnya ingin menangis, tapi demimu aku mencoba tertawa. “Kau yakin tidak menyesali ucapanmu beberapa hari yang lalu? Pikirkan lagi, Tuan. Apakah menikahi wanita buruk rupa pengidap kanker stadium akhir ini mampu meningkatkan elektabilitasmu atau bahkan sebaliknya? Apakah ....”
Belum habis kalimatku, Kau sudah beranjak bangun meninggalkan tempat duduk tanpa permisi. Kau tinggalkan aku dengan dua cangkir teh yang sudah tak hangat lagi. Dari luar sana tampak Kau ingin berkata sesuatu, tapi pintu sudah terlanjur lebih dulu aku tutup. Di balik daun pintu, aku terduduk, menangis sejadi-jadinya.[]
*penulis merupakan mahasiswa tingkat IV Fakultas Hadis Universitas Al Azhar Kairo.
Editor: Annas Muttaqin
Posting Komentar