Sistem Ketatanegaraan Kerajaan Aceh Darussalam
Oleh: Muhammad Farhan*
Pada hukum adat kebiasaan, setiap akibat yang terjadi di dunia ini, tidak pernah lepas dari sebab-sebab. Sebab dan akibat itu bagaikan sepasang kekasih yang tak dapat dipisahkan. Kehadiran akibat menjadikan manusia berpikir keras mencari tahu apa hal sebabnya. Karena dari itu, kita sebagai manusia akan dapat mengambil pelajaran serta pengalaman dalam kehidupan. Tolok ukur sebab-sebab itu dapat selalu dijadikan bandingan dalam pelbagai hal dalam kehidupan.
Seperti hal kemajuan suatu bangsa, sebutlah bangsa Aceh yang dulunya memiliki silsilah kerajaan nan maju dalam banyak aspek, mulai militer, ekonomi, diplomasi dan lain-lain. Itu adalah sebuah akibat yang lahir dari sebab-sebab. Pun begitu tak pernah terlepas dari tangan Yang Maha Kuasa. Di sini titik berat yang akan kita fokuskan dari kekuatan yang lahir saja, tanpa mengaitkan yang tiada tampak yaitu kekuatan batin.
Kerajaan Aceh Darussalam merupakan dinamika yang lahir dari sebuah bangsa Aceh hingga menjadi kerajaan yang berkembang pesat pada masanya. Perkembangan yang pesat itu pun memiliki sumber yang menjadi tuntunan dalam mempertahankan, jika tidak, lihatlah kondisi sekarang yang sangat pedih dengan kebodohan, ketertinggalan dan ketidakmajuan yang kita alami dan saksikan.
Lalu, mari kita berpikir sejenak, apakah barometer yang dapat kita jadikan tolok ukur kemajuannya?
Salah satu yang patut kita jadikan tolok ukur ialah tata negara dan aturan-aturan yang telah diterapkannya dari perspektif asas tertinggi. Mulai dari dasar negara, rukun negara, negara hukum, dasar dan sumber hukum dan lain-lain. Poin-poin yang akan dibahas sangat banyak kecuali jika ditinjau dari aspek-aspek tertentu. Dari buku karya Prof. Ali Hajsmy, 'Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah’ beliau mengutip banyak hal, walaupun masih dipertanyakan keotentikan sumber-sumbernya.
Dasar Negara
Sejak abad ke-2 hijriah, Aceh telah dipimpin oleh kerajaan-kerajaan. Mulai dari Kerajaan Perlak hingga Kerajaan Aceh Darussalam. Seperti dikutip dari naskah-naskah kuno, semuanya mengatakan dasar negaranya bersumber dari Islam.
Rukun Negara
Karena di atas telah disebutkan dasar negara dari kerajaan Aceh adalah Islam, maka segala hukum yang berkaitan dengan pemerintahan, elemen masyarakat, lembaga-lembaga kepemerintahan dan hubungan sosial pun berdasarkan hukum Islam. Maka rukun kerajaan ada empat, yaitu ;
1. Pedang Keadilan. Jika tidak ada pedang tidak ada kerajaan.
2. Qalam. Jika tidak ada “kitab undang-undang”, tidak ada kerajaan.
3. Ilmu. Jika tidak mengetahui ilmu dunia-akhirat, tidak bisa mengatur kerajaan.
4. Kalam. Jika tidak ada bahasa, maka tidak bisa berdiri kerajaan.
Untuk dapat melaksanakan keempat rukun tersebut, maka dalam Kerajaan Aceh Darussalam diperlukan empat pula,
1. Ilmu yang bisa memegang pedang.
2. Ilmu yang bisa menulis
3. Ilmu yang bisa mengetahui, mengatur dan menyusun negara
4. Ilmu bahasa
Negara Hukum
Tidak diragukan lagi, Kerajaan Aceh Darussalam adalah negara berdaulat dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Seperti yang tercantum dalam Qanun Meukuta Alam: (36) "Bahwa Aceh Darussalam adalah Negeri Hukum yang muthlak sah, dan rakyat bukan patung yang terdiri di tengah pedang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya lagi panjang sampai ke Timur dan Barat".
Ketika suatu kerajaan berasaskan hukum, maka seluruh elemen yang menjadi tiang dalam kemajuannya harus tunduk dan patuh. Tidak berlaku otoritas dan sewenang-wenang dalam kinerja pemerintahan. Baik itu, dari sultan, qadhi malikul adil, menteri, panglima perang, pejabat sipil (hulu balang) dan pejabat lainnya, serta diwajibkan tunduk "ke bawah qanun", yaitu undang-undang hukum negeri Aceh.
Dasar dan Sumber Hukum
Ketentuan yang berlaku dan berlandaskan Islam itu berarti bahwa tidak ada yang bertentangan dengannya. Mengenai sumber hukum, Qanun Meukuta Alam juga memberikan uraian berupa,
1. Al-Quran
2. Hadis
3. Ijma’ Ulama Ahlussunnah wal Jamaah.
4. Qiyas
Adapun hukum yang bersumber kepada empat sumber di atas -yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam- ada empat macam,yaitu:
1. Hukum
2. Adat
3. Reusam
4. Qanun
Yang dimaksud dengan "hukum" yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah-masalah keagamaan. Yang dimaksud dengan "adat" yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah-masalah kenegaraan. Yang dimaksud dengan "reusam" yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah kemasyarakatan. Yang dimaksud dengan "qanun" yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah ketenteraan/pertahanan. Baik hukum, adat, reusam atau qanun, masing-masing ada empat tingkat, yang juga diatur dalam Qanun Meukuta Alam, yaitu:
1. Hukum Syari'i, Adat Syari'i, Reusam Syari'i, Qanun Syari'i;
Hukum dasar atau undang-undang pokok yang mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan dan ketenteraan, dan sumbernya Quran, Hadis, Ijma' Ulama dan Qiyas.
2. Hukum Aridli, Adat Aridli, Reusam Aridli, Qanun Aridll;
Yaitu peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah (sultan atau menteri) untuk mengatur masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan dan ketenteraan.
3. Hukum Dlaruri, Adat Dlaruri, Reusam Dlaruri, Qanun Dlaruri;
Yaitu undang-undang darurat yang langsung dibuat/dijalankan oleh sultan sebagai panglima tertinggi angkatan perang, untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan, ketenteraan.
4. Hukum Nafsi, Adat Nafsi, Reusam Nafsi, Qanun Nafsi;
Yaitu peraturan-peraturan istimewa yang khusus dibuat oleh sultan untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan dan ketenteraan.
5. Hukum 'Urfi, Adat 'Urfi, Reusam 'Urfi, Qanun 'Urfi;
Yaitu peraturan-peraturan yang dibuat oleh para penguasa daerah (hulu balang) untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, pemerintahan, kemasyarakatan dan ketenteraan di daerahnya masing-masing.
Negara yang Memiliki Syura
Syura adalah salah satu lembaga yang sangat penting bagi Kerajaan Islam Aceh. Syura juga merupakan lembaga yang tinggi dalam struktur pemerintahan. Dalam menjalankan prinsip dan ketentuannya, syura memiliki badan yang bernama “Balai Rong Sari”, “Balai Gading” dan “Badan Mahkamah Rakyat”.
Dengan hadirnya badan-badan tersebut, para sultan, menteri dan ulama-ulama memutuskan berbagai musyawarah dari berbagai permasalahan yang menimpa. Hal itu pula yang menjadikan wadah pembuat keputusan kelak yang akan dijalankan oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.
Pemimpin tertinggi dari syura, Wazir Mua’ddham Panglima Polem Muda Perkasa memiliki hak untuk mengangkat dan memakzulkan sultan. Keputusan itu baru dapat diselenggarakan usai musyawarah dengan Majelis Mahkamah Rakyat, Wazir Mizan (Menteri Hakim) dan beserta Majelis Ulama Sepuluh.
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat 1 Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar.
Posting Komentar