Kiat-Kiat Bershalawat di Bulan Mulia
Oleh: Muhammad Dany*
Sumber: Unsplash.com |
Menurut tafsir Ibnu Abbas, perintah gembira
atas kehadiran Rasulullah Saw. telah datang langsung melalui firman Allah pada
surat Yunus ayat 58. Dan
juga nabi Muhammad sendiri memperingati hari lahirnya itu dengan melakukan
puasa sunnah di hari Senin sesuai dengan hadis yang telah sering kita dengar.
Tak
dipungkiri bahwa shalawat merupakan wasilah terdekat menuju keridaan Allah,
Allah akan memudahkan segala urusan hamba yang rajin bershalawat, pada hadis
riwayat Muslim Rasulullah bersabda; “barangsiapa bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan
bershalawat (memberi rahmat) kepadanya 10 kali.” Dan yang lebih istimewanya
lagi ia merupakan amalan yang tidak mungkin ditolak walaupun terdapat ria
di dalamnya.
Allah Swt. dan para malaikat-malaikatnya senantiasa bershalawat kepada nabi Muhammad Saw. “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bershalawat kepada nabi, wahai orang-orang beriman bershalawatlah kepadanya dan berilah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab, 33).
Kata “Allah bershalawat” pada ayat ini ditafsirkan sebagai “senantiasa
memberi rahmat” shalawat di sini
berarti rahmat akan tetapi dimakruhkan kita
mengganti kata "shalawat" dengan kata "rahmat" seperti kata “Allahumma irham
Muhammad” bahkan Imam Subki sendiri mengharamkan pengucapannya dikarenakan
kata "irham" tersebut kesannya ditujukan untuk orang yang penuh dosa seperti
manusia biasa. Namun, nabi adalah sebaik baik manusia dan maksum dari segala
dosa. Setelah turunnya ayat ini para sahabat bertanya, “Bagaimana cara kami
bershalawat kepadamu wahai Rasululah?”. Rasulullah menjawab Dengan mengucapkan
:
اللهم صل على محمد, وعلى آل محمد, كما صليت على إبراهيم
وعلى آل إبراهيم,إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد, كما باركت على إبراهيم,
إنك حميد مجيد."
Jika ditilik dari keutamaan shalawat, saking banyaknya tangan tidak mampu untuk menulis seluruhnya, namun jika ingin mendapatkannya lebih banyak merujuklah ke kitab An-Nufahat Ilahiyyat fi Shalawati ala Khairil Bariyyah karangan Syekh Abdullah Siddiq Al-Ghummari.
Kesempatan kali ini penulis hanya ingin
membagikan sedikit kiat-kiat bershalawat yang mesti diperhatikan.
Menyebutkan Sayyidina.
Banyak yang beranggapan bahwa penyebutan
Sayyidina merupakan khalifusunnah
karena bertentangan lahir hadis yang telah disebutkan di atas. Namun, sebaliknya
anggapan inilah yang sebenarnya keliru, dikarenakan nabi mengucapkan kaifiyah
tersebut dalam keadaan tawaduk kepada sang khalik, tentu adab kepada nabi
dengan mengucapkan sayyidina Muhammad lebih diutamakan. Hal serupa pernah terjadi
kepada Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib yang diperintahkan menulis nama nabi
dengan Muhammad bin Abdillah pada surat perjanjian dengan kafir Quraisy, tetapi
Sayyidina Ali tetap menulisnya dengan Muhammad Rasulullah dikarenakan
mendahulukan adab dibandingkan perintah nabi atas dasar tawaduk.
Alasan kedua juga disebabkan dengan urf (budaya) pada masa itu yang tidak mempermasalahkan jika seseorang dipanggil langsung namanya walaupun ia seorang berpangkat, bahkan sesama ibu dan anak jika dipanggil nama langsung tidak dianggap biadab.
Namun urf (budaya) saat ini
sangatlah tidak beradab misal seseorang alim dipanggil dengan namanya langsung
tanpa menggunakan panggilan kehormatan, apalagi sebaik-baik
makhluk Rasulullah shallawahualaihi wassalam.
Tidak Meninggalkan Salam.
Larangan meninggalkan salam ini diambil dari potongan ayat 33 surah Al-Ahzab “……bershalawatlah kepadanya dan beri salam penghormatan kepadanya.” Larangan tersebut bersifat Makruh. Terjadi perbedaan terhadap kemakruhannya. Imam Nawawi berpendapat bahwa makruh apabila mengucapkan shalawat dalam satu kalimat tanpa diiringi salam begitu juga sebaliknya mengucapkan salam tanpa mengucapkan shalawat, berbeda dengan Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat makna waw di antara shalawat dan salam tidak bermakna fauriyyah (segera) atau beriringan melainkan bermakna mutlak dengan arti jikalau ia bershalawat pada hari ini kemudian ia mengucapkan salam pada hari-hari selanjutnya maka hilanglah kemakruhan itu.
Pada
permasalahan ini ada pengecualian seperti pada shalawat Ibrahimiyah yang mana
ia tidak mengandung kalimat salam karena ia warid dari nabi Saw. Dan juga
ketika berada di hujrahsyarif (Maqam Nabi) yang mana hanya diucapkan salam
tanpa shalawat.
Namun bila dibandingkan dengan tidak bershalawat sama sekali maka
bershalawat tanpa salam lebih baik tentu saja.
Menambahkan
kalimat “Wa ala Ali Muhammad”.
Kata Ali sering ditinggalkan ketika bershalawat
dikarenakan mendengar nama Muhammad, yang afdhal menurut kebanyakan
ulama adalah menambahkan kata Ali yaitu seperti “Shallahualaihi wa ali
wasallam”.
Walau tidak
dimakruhkan meninggalkan kata “wa ala
ali Muhammad” sebagaimana diisyaratkan Imam Nawawi dalam Minhaj At-Thalibin, tetapi
menambahkannya lebih utama. Menurut Imam Syafi'i kata tersebut
ditujukan kepada umat Islam Bani Hasyim dan Bani Muthalib, tetapi berbeda
halnya dengan pendapat Imam Nawawi dan pendapat Imam-imam Mazhab yang empat selain
Syafi'i yang mengatakan ia bermakna
seluruh umat nabi Muhammad sampai hari kiamat walaupun ia ahli maksiat.
Oleh karena itu jika melihat pandangan Nawawi jika kita menambahkan kata wa ala ali Muhammad, maka secara tidak sadar
kita telah mendoakan kepada seluruh umat baginda Saw.
Tak kalah penting pula kata “ala” juga
lebih baik ditambahkan guna menggugat pendapat golongan Syiah yang tidak
menggunakannya dengan dalil hadis palsu yang dibuat-buatnya. Hal tersebut guna memperkokoh
pendirian mereka yang berbunyi “jangan kalian sambungkan di antaraku dan di antara
Ali (keluarga) dengan kalimat ala”.
Dengan Shalawat yang Ma’tsur.
Tak dipungkiri Shalawat Ibrahimiyyah
merupakan sebaik baik shigah shalawat. Shalawat Ma’tsur merupakan
shalawat yang diajarkan langsung oleh Nabi Saw. Seperti yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim “Dari Kaab bin Ujrah R.A bahwa para sahabat
pernah bertanya ‘Wahai Rasulullah kami telah mengetahui tata cara memberi salam
kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu?’ Nabi Saw. bersabda ‘"Ucapkanlah;
اللهم صل على محمد, وعلى آل محمد, كما صليت على إبراهيم
وعلى آل إبراهيم,إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد, كما باركت على إبراهيم,
إنك حميد مجيد."
Shalawat
ini sangat dianjurkan untuk dibaca sebanyak-banyaknya agar mendapatkan syafaat
darinya di hari kiamat, seperti dikatakan pada hadis riwayat Imam Tirmizi
“Orang yang paling berhak mendapat syafaatku di hari kiamat ialah orang yang
paling banyak bershalawat kepadaku.”
Shalawat Ghairu Ma’tsur
Di samping adanya shalawat ma’tsur ada
pula shalawat karangan para ulama yang baik diamalkan, selama shalawat ini
tidak bertentangan dengan syariat, di antaranya shalawat Imam Musa Ad-Darir yang
berbunyi :
اللهم صل علي محمد, صلاة تنجينا بها من جميع الأهوال
والآفات, وتقضي لنا بها جميع الحجات, وتطهرنا بها من جميع السيئات وترفعنا بها
أعلى الدرجات, و تبلغنا بها أقصى الغايات من جميع الخيرات في الحيات وبعد الممات.
Shalawat ini tidak diriwayatkan langsung melalui nabi, tetapi
shalawat ini didapatkan melalui manamiyyah
(mimpi bertemu nabi), ketika itu syekh
Musa Ad-Darir bermimpi bertemu Rasulullah menyuruhnya membacakan shalawat ini yang mana ketika itu ia sedang berada di kapal
yang nyaris tenggelam, kemudian ketika bangun dari tidurnya syekh Musa Ad-Darir
mengamalkan shalawat ini dan akhirnya selamat sampai tujuan, kisah ini
diceritakan oleh syekh Abdullah bin Siddiq Al-Ghummari pada kitabnya
An-Nufuhat Ilahiyyat. Dengan kisah ini ulama berijtihad apabila sedang ditimpa
musibah maka shalawat ini sangat cocok untuk diamalkan.
Di antaranya pula shalawat yang dicantumkan
Imam Syafii pada kitabnya Ar-Risalah :
اللهم صل على محمد كلما ذكره الذاكرون و غفل عن ذكره
الغافلون.
Dikutip dari murid beliau Imam Al-Muzani
bermimpi bertemu Imam Syafii setelah wafatnya dan bertanya “Apa yang telah
diperbuat Allah terhadapmu?” Imam Syafii menjawab “Allah telah mengampuniku,
meninggikan derajatku di surga berkat shalawat yang kucantumkan di dalam kitab Ar-Risalah. Shalawat syafiiyyah ini sangat cocok diamalkan saat sedang lalai dari
mengingat Allah.
Wabakdu, semoga kita semua mendapatkan
keberkahan dari shalawat yang senantiasa kita lantunkan, baik itu keberkahan
duniawi maupun Ukhrawi. Amin. Wallahu A’lam bi As-Shawab.
*Penulis merupakan mahasiswa tingkat dua jurusan syariah islamiyyah universitas Al-Azhar,Kairo.
Editor: Ali Akbar Alfata
Posting Komentar