Oleh: Muhammad Farhan Sufyan*
|
Unsplash.com |
Dewasa ini, tak harus melewati lautan agar tau suatu hal. Tak harus menelusuri hutan belantara supaya informasi didapatkan. Semua serba dimudahkan dengan berbagai penemuan. Seakan dunia ini telah menjadi kecil karena hal tersebut. Cuma bermodalkan kotak berukuran mini ataupun besar yang mempunyai akses internet dan monitor, maka semua akan terpampang jelas. Ya, baik itu smartphone maupun televisi, Semua berita, informasi, entertainment, dan berbagai program tersedia. Bahkan, itu semua tersedia dengan sangat bebas tanpa batasan yang jelas. Sehingga, efek dan dampak yang ditimbulkan juga tidak sedikit yang berbau negatif. Andai kata semua kejadian dari dampak negatif itu disebutkan, mungkin tak terhitung jari lagi banyaknya.
Media sosial, menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein ialah sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi web 2.0 dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content.
Definisi yang diutarakan oleh kedua pakar tersebut, sangatlah umum dan mencakup segalanya. Karena jika didefinisikan hanya sebatas weblog, blogsosial, wiki dan sebagainya, maka akan memberi gambaran yang terbatas. Sehingga, aplikasi yang sekarang sedang trennya tidak masuk dalam definisi tersebut. Seperti Instagram, Facebook, Twitter dan lain sebagainya.
Sedangkan televisi, dia bukanlah media sosial, jika disesuaikan dengan definisi di atas, tapi memiliki sejumlah koneksi dan keterkaitan. Kerena konten yang disiarkan di televisi, sekarang dapat diakses di smartphone yang menyajikan berbagai fitur aplikasi, seperti halnya menonton bola. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kekuatan dan pengaruh yang dihasilkan oleh smartphone yang berbasis Android dan Iphone lebih dominan efek sampingnya daripada televisi. Apalagi ukuran televisi itu besar sehingga tak bisa dibawa kemana-mana.
Kehadiran sosial media, di satu sisi memang telah membuktikan kehebatan teknologi dan kemampuan manusia yang telah dikaruniakan Allah. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa otak dan akal ketika difungsikan secara maksimal, sungguh merupakan nikmat yang tidak diberikan kepada selain manusia. Akan tetapi, konsekuensi yang ditanggung oleh pengguna dan dunia pun tidak sedikit.
Lantas, apa dampak negatif yang ditimbulkan oleh media sosial?
Tidak sedikit artikel yang mewanti-wanti dan
menjelaskan bahaya yang ditimbulkan baik dari media sosial itu sendiri maupun
dari smartphone. Begitu juga pandangan masyarakat terhadap pengguna media
sosial seringkali negatif.
Sebagai contoh yang sering terjadi pada anak-anak ketika bermain game, mereka bisa kecanduan bermain hingga seharian penuh, di tambah lagi jika adanya koneksi Wi-fi yang penggunaan internet nya lebih irit.
Tak hanya itu, kasus pacaran juga terus meningkat, yang mengakibatkan pelecehan seksual dan zina yang tidak terelakkan. Itu di sebabkan karena hubungan yang renggang antar orang tua dan anak. Orang tua sibuk chattingan atau berkarier lewat media sosial, sehingga menjadikan anak merasa kurang diperhatikan. Akibatnya, anak-anak pasti akan mencari kenyamanan di luar rumah. Kadang kala dengan lawan jenis hingga terjadi pula hal-hal yang tidak diinginkan. Kasus tersebut terjadi akibat dari kelalaian tiap pendidik.
Contoh lain adalah mudah menghukumi dan menyimpulkan berbagai hal. Ini banyak terjadi di kalangan kita. Zaman kini, orang dengan mudah berbicara dan menyampaikan opini termasuk menyebarkan berita provokasi tanpa memerhatikan konsekuensi dari apa yang disampaikannya. Dia membaca suatu berita dari media tidak jelas yang ternyata memberitakan hoax. namun dia menelan mentah-mentah tanpa mengecek ulang berita tersebut dan men-share-nya lewat media sosial. Demikian uraian singkat yang kita lihat secara kasat mata. Pun ada banyak kasus yang efek negatifnya tidak dapat kita temui langsung. Seperti halnya menonton film yang dilarang agama, pelakunya pasti ada yang tidak terang-terangan membeberkan aktivitasnya (Ini kasus kecil, di sana banyak sekali kasus seperti penjualan anggota tubuh secara online dan sebagainya). Semua itu jika ditarik garis, pasti merujuk kepada satu garis, yaitu media sosial.
Namun, bukan hanya dampak negatif!
Begitu pula media sosial, jika diarahkan demi
kebaikan, tak sedikit pahala yang bersifat kontinu akan terus didapatkan.
Contohnya, memposting ilmu yang bersifat ringkas dan lugas, ditambah
poster yang menarik pembaca. Konten tersebut pastilah mendapat perhatian lebih
ketimbang buku yang bersifat klasik dan menghabiskan waktu membacanya dengan
berat serta membutuhkan fokus yang banyak.
Begitu pula media sosial, jika diarahkan demi kebaikan, tak sedikit pahala yang bersifat kontinu akan terus didapatkan. Sebagai contohnya, memposting ilmu yang bersifat ringkas dan lugas, ditambah poster yang menarik pembaca. Konten tersebut pastilah mendapat perhatian lebih ketimbang buku yang bersifat klasik dan menghabiskan waktu membacanya dengan berat serta membutuhkan fokus yang banyak.
Kemudian ia juga dapat menghubungkan antar
kerabat yang saling berjauhan. Bayangkan saja, andai selama wabah
pandemi Covid-19 ini berlangsung
tanpa Whatsapp dan Facebook, pasti kabar dan keadaan keluarga
nun jauh di sebelah benua tidak akan diketahui.
Bisa saja, kita katakan. “Kalau begitu, telah jelas bahwa semua dampak itu hanya tergantung kepada penggunanya, jadi jangan terlalu ekstrem menilai media sosial”.
Adapun untuk menanggapi pernyataan tersebut, faktor-faktor yang menyebabkan ditekankannya nilai-nilai negatif dari dampak media sosial memang lebih cenderung didapati, sehingga penekanan tersebut tak dapat dinilai sebagai sebuah ekstrimisme terhadap media sosial.
Lantas, bagaimana menyikapi hal ini?
Demi menjawab hal yang dapat dikira bertentangan dengan era globalisasi, butuh semacam pemikiran yang maju dan kesadaran yang tinggi bagi tiap individu. Karena titik permasalahannya ialah globalisasi yang tak dapat dibendung begitu saja. Bahkan andai kata Indonesia bersatu hanya demi membendugnya, mungkin Negeri ini sendiri yang akan dilabeli katrok dan ketinggalan zaman. Apalagi pesatnya ilmu pengetahuan saat ini dikuasai oleh dunia barat.
Maka, semua hanya kembali kepada kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan. Dapat dipastikan, semua paparan di atas itu nyata adanya. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sehat akal pikiran pasti akan tahu bagaimana pencegahannya, yaitu mulai dari diri sendiri meminimalisir penggunaan media dan menyadarkan keluarga yang mulai terlalu gila pada teknologi tersebut.
Salah satu bentuk metode yang efisien juga dengan menunjukkan kegunaan positif dari media sosial. Mulai dari memperkenalkan ustaz-ustaz yang dapat dipercayai amanah keilmuannya hingga banyak orang yang terarah, dan tidak asal menghukumi berbagai problema agama, terlebih masalah yang kontemporer.
Bagi keluarga juga mulai bisa merancang target bersama dengan membentuk keluarga yang tenteram. Dimulai dengan meminimalisir pemakaian smartphone yang berlebihan.
Perlu juga semacam gerakan dan wadah yang dapat menjadikan anak-anak menemukan kenyamanan, agar anak-anak tak hanya mendapat perhatian dari media sosial saja. Semua itu akan didapati mulai dari keluarga yang merupakan sekolah pertama bagi anak-anak.
Demikian, sekelumit pikiran yang dapat penulis tuang secara ringkas. Berangkat dari itu, amatan yang sederhana ini hanya lah penilaian yang sangat terbatas. Semoga bermanfaat.[]
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Arab Universitas Al-Azhar Kairo
Posting Komentar