Tiga Jengkal Mengenal Aceh Lebih Dekat
Masih menjadi misteri hingga
sekarang jika membahas asal-usul nama Aceh. Sebagian sejarawan mengatakan,
nama Aceh diambil dari empat nama yaitu Arab, China, Eropa, dan Hindia. Kemudian
disingkat menjadi Aceh atau bagi sebagian jika ingin mencocokkan dengan ejaan
lama (Atjeh) maka ejaan Chinanya tinggal diganti “Tjina”. Maka dari itu katanya,
rupa orang Aceh terdiri dari negara-negara yang disebutkan tadi, tapi ada juga sebagian
lain yang berwajah baina-baina artinya wajah campuran. Misalnya rambut keriting,
mata sipit, kulit sawo, ataupun rambut keriting, kulit putih, mata tidak sipit-sipit amat ataupun rambut lurus, kulit sawo mata sipit.
Ada juga yang mengatakan bahwa
asal-usul kata Aceh berawal dari kisah orang-orang Budha yang berasal dari
China. Ketika berlayar di Aceh mereka melihat ada cahaya di puncak Gunung
Seulawah seraya berkata “Aceehera vata
bhoo” yang berarti alangkah indahnya, kemudian dari kata itu lahirlah nama
Aceh. Yang lain ada juga yang mengaitkan asal-usul nama Aceh dengan nama-nama
suku yang pertama menempati kawasan Aceh. Pun, ada yang mengatakan Aceh berasal
dari bahasa Arab, “Asyhadu” artinya aku bersaksi. Dilansir dari halaman
kompasiana salah satu pakar sejarah Aceh A. Rahman Kaoy yang merupakan wakil ketua MAA (Majlis Adat Aceh)
pada tahun 2015 mengatakan bahwa dirinya lebih setuju jika Aceh merupakan
gabungan dari Arab, China, Eropa dan Hindia.
Terlepas dari berbagai teori dan cocoklogi
yang muncul yang jelas kata Aceh masih diperdebatkan asal muasalnya serta masih
menjadi misteri hingga sekarang. Anda boleh saja percaya dan boleh tidak
terhadap berbagai macam teori tersebut. Namun hal yang lebih penting di balik
asal-muasal Aceh tersebut adalah menjaga persatuan, kesatuan, budaya serta Adat
Aceh itu sendiri. Selain merupakan salah satu provinsi dengan kekayaan alam
melimpah Aceh juga kaya akan adat, suku dan budaya. Tercatat hingga 2019
kemarin Aceh memiliki 23 kabupaten, 13 suku dan 11 bahasa daerah, mulai dari
bahasa Gayo, Alas, Kluet, Tamiang, Pak-pak, hingga bahasa Nias. Semua bahasa
tersebut termasuk dalam bahasa Aceh.
Kota Banda Aceh yang Indah. (@wisataaceh) |
Jika kalian berkunjung ke Aceh
pada waktu-waktu tertentu kalian akan menemukan beberapa adat istiadat yang
masih sangat kental di antara masyarakat Aceh, terlebih jika berkunjung ke
desa-desa kecil pedalaman. Pada bulan kelahiran nabi misalnya. Perayaan Maulid
Nabi di Aceh terbilang unik walaupun
setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dalam perayaannya. Selain acara
makan bersama dan ceramah, acara tersebut juga turut menggelar “like/dike” yang dilakukan
oleh kelompok khusus dan terlatih diiringi gerakan khas sambil melantunkan
syair-syair dan shalawat kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw. masakannyapun
dikemas dengan unik. Sebahagian desa ada yang menyebutnya “Bu Kulah”. Jika
diartikan secara bahasa mengandung arti kolam ataupun nasi bak namun jika
dilihat lagi “Bu Kulah” merupakan nasi yang dimasak secara tradisional
beramai-ramai kemudian dibungkus dalam daun pisang hingga berbentuk piramida. Masyarakat
yang hadirpun menikmati hidangan sambil menyaksikan lantunan syair dan
gerakan-gerakan tersebut, ada juga yang membawa pulang.
Selain itu, jika anda berkunjung
tiga hari sebelum memasuki bulan Ramadhan dan hari raya Islam anda juga dapat
menyaksikan gelonggongan-gelonggongan daging sapi bergantung di balai-balai kecil di pinggir
jalan untuk dijual. Biasanya pemandangan seperti ini hanya dapat ditemukan
setahun tiga kali. Hal ini sudah menjadi tradisi bagi orang Aceh sebagai bentuk
penghormat memasuki bulan yang penuh keberkahan dan kemenangan bagi umat Islam.
Dalam pranata sosialnya Aceh
dikenal sebagai suatu masyarakat yang kental dengan syariat Islam dan
menjunjung tinggi norma-norma agama Islam. Penetapan hukuman cambuk merupakan bentuk nyata dari praktik penegakan
syariat Islam di Aceh. Juga tercatat hingga saat ini Aceh merupakan penduduk
dengan tingkat presentase mayoritas muslim terbanyak di Indonesia. Kendati
demikian, kita juga tidak menafikan pelanggar-pelanggar syariahnya.
Menyikapi para pelanggar ini,
Aceh memiliki lembaga khusus yang
mengawasi terlaksananya Syariat yang dikenal dengan sebutan Wilayatul Hisbah
(WH) atau Polisi Syariah Islam yang berkerja sama dengan Satuan Polisi Pamong
Praja dalam penegakan syariat, dimana WH hanya berperan sebagai penyidik dan
Satpol PP sebagai lembaga yang mempunyai wewenang untuk menangkap tangan.
Danau Laut Tawar, Takengon. (@wisataaceh) |
Terbentuknya lembaga ini merupakan
implementasi dari otonomi khusus yang diberikan Indonesia kepada provinsi Aceh
dalam mengatur berjalannya Syariat Islam serta upaya untuk tetap menjaga nama
baik Aceh yang terkenal dengan Serambi Mekah. Hal itu pun diikuti dengan adanya
Qanun Aceh yaitu peraturan perundang-undangan sejenis perda yang mengatur
pelaksanaan syariat di Aceh.
Namun jangan salah sangka,
meskipun di Aceh kental akan pelaksanaan Syariat Islam, Aceh juga termasuk
masyarakan yang menjaga nilai toleransi yang tinggi. Peunayong contohnya, salah
satu kawasan di Banda Aceh yang banyak diduduki oleh Etnis China. Disana
masyarakat China hidup tentram dan damai berdampingan dengan masyarakat Aceh
lainnya selama mereka menghormati norma-norma masyarakat. Merekapun bebas
beribadah di wihara-wihara dan gereja yang terdapat disana. Bahkan kebanyakan
mereka melakukan bisnis dagang bersama dengan masyarakat Aceh.
Jika mengenai jeratan cambuk,
sebahagian mungkin berpikir terlalu ekstrem mengenai hukuman tersebut. Kenyataannya tentu tidak. Hukuman-hukuman tersebut hanya akan dijatuhkan jika
memang memenuhi syarat-syarat tertentu. Bukan gampang menjatuhkan hukuman
cambuk bagi seseorang. Harus melalui bukti dan mekanisme-mekanisme berat
sehingga orang dapat dihukumi bersalah.
Namun mengenai busana jangan
heran jika anda berbusana terbuka dipandang aneh oleh masyarakat Aceh. Hampir
seluruh penduduk di Aceh berbusana tertutup dan berbusana terbuka adalah
melawan mayoritas busana disana. Hal tersebut wajar dipandang aneh. Bahkan jika
anda berbusana tertutup di suatu tempat dan mayoritas masyarakat disana
berbusana terbuka andapun akan dipandang aneh.
Di suatu Tempat di Aceh. (@wisataaceh) |
Hal lain yang sering menjadi
perbincangan publik mengenai Aceh adalah karakteristik orang Aceh yang dianggap
teguh memengang prinsip atau beberapa orang bahkan mengatakan keras kepala.
Jika berpijak pada landasan sejarah, Aceh termasuk daerah yang sering dilanda
konflik fisik dibandingkan provinsi-provinsi lain. Mulai dari konflik pada masa
kerajaan, kemudian dilanjutkan penjajahan, hingga konflik terakhir yang sangat
kontroversial adalah pada masa ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi
Militer (DOM).
Pada masa penjajahan, Aceh memang
dikenal wilayah yang sulit untuk ditaklukkan. Butuh waktu berpuluh-puluh tahun lebih
untuk Belanda menguasai Aceh dengan segala senjata dan kecanggihannya. Bahkan
tercatat beberapa jenderal Belanda terbunuh dalam beberapa konflik di Aceh. Sulitnya
para penjajah dan beberapa oknum menguasai Aceh bukan tanpa sebab. Kepercayaan
yang kuat masyarakat Aceh terhadap landasan-landasan Islam dan ulama-ulamanya
menjadi pilar penting dalam membangun semangat perjuangan. Alhasil tak ada kata
lain selain berjuang membela diri dan negeri melawan penjajahan, dan jikapun kelak
akan meninggal maka syahid menjadi gelar. Mungkin sejarah yang beragam, menjaga
prinsip dan konflik ini yang membuat orang Aceh terlihat keras kepala. Ya
walaupun memang kadang benar, namun itu kembali pada cara masing-masing
berpikir dan pengaruh apa yang dirasakan orang tersebut.
Selain beberapa hal di atas Aceh
juga memiliki destinasi wisata yang tak kalah anggun dan menarik dari provinsi
lain, mungkin untuk sekte ini saya akan mengulasnya di lain waktu. Oleh karena
itu jangan segan-segan untuk berkunjung ke Aceh kemudian mengenal lebih dalam
mengenai masyarakat Aceh.
Oke guys, sekian dulu pembahasan
kita mengenai Aceh. Semoga Bermanfaat.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah
Islamiyah Al-Azhar Kairo.
Posting Komentar