Aku Salah Menilai
Oleh : Ardhani*
(image : voa-islam.com) |
Mentari muncul di balik pegunungan desa, tanda waktu dhuha segera tiba. Waktu dimana jalanan mulai padat dengan kendaraan serta pejalan kaki, ada yang pergi bekerja, ada juga yang berpergian untuk menuntut ilmu di tempat pilihan masing-masing.
Berbeda dengan suasana rumah. Mamak tidak pergi bekerja, begitu pula dengan bapak yang sedari tadi mondar-mandir mencari kunci mobil. "Penyakit turun-temurun", kata mamak menyebut sakit pelupa yang hingga saat ini tak bisa dipisahkan dari diri bapak.
Berbeda dengan suasana rumah. Mamak tidak pergi bekerja, begitu pula dengan bapak yang sedari tadi mondar-mandir mencari kunci mobil. "Penyakit turun-temurun", kata mamak menyebut sakit pelupa yang hingga saat ini tak bisa dipisahkan dari diri bapak.
"Yung [1], coba cari kunci di atas meja kerja bapak!" pinta bapak padaku, membagi tugas yang seharusnya ditanggulangi oleh bapak seorang diri.
Mamak mulai mengekpresikan kejengkelannya pada bapak. Wajar menurutku. Sebab setiap kali berpergian, kehilangan kunci mobil sudah menjadi langganan. Mamak bergerak mengakhiri semua drama mencari kunci yang tak kunjung ditemui, berjalan ke arah kamar dan mengambil copy kunci yang telah disediakan, sebab ujung dari cerita mencari kunci selalu tak kunjung tertuntaskan dan berakhir dengan sad ending.
Sambil menaikkan satu-persatu kebutuhan mondok anak kedua mamak bapak. Tahun ini, Iki akan menjadi santri di tempat aku mondok dulu. Sedangkan Oka adikku yang terakhir masih duduk di kelas 4 SD, Oka si anak bungsu dan termungil di keluarga kami, tapi paling ahli membuat mamak dan bapak tertawa lepas.
"Ada yang belum dibeli apang[2]?", tanya mamak pada Iki yang sedari tadi diam membisu.
Aku tahu bagaimana perasaan ketika akan mondok dan ditinggalkan keluarga ditengah-tengah keasingan. Gejolak batin bertolak belakang dengan pikiran. Pikiran berkata "Semua demi cita-cita", tetapi batin menyakinkan "Ini adalah kesedihan yang nyata". Oleh karenanya tercipta rasa antara sedih dan bahagia.
"Apang sedih masuk pondok pesantren?" kali ini bapak yang bertanya dari hati. Tetapi, kedua pertanyaan tadi tak kunjung dijawab oleh Iki, dia diam tanpa melontarkan kata dan ekspresi. Begitu juga aku, sedari tadi hanya diam menatap luar jendela.
Iki lebih kuat dari aku, yang dulu ketika diantar kepondok malah meneteskan air mata. Setiap kali bapak dan mamak menjenguk, aku selalu memaksa pulang ke rumah bersama mereka, hingga akhirnya mencapai titik tertinggi kemarahan mamak karena egoku yang tak ingin balik kepondok.
Mamak sudah tidak tahan, pilihan ada di tanganku. Jika kembali, maka aku tetap bersekolah. Jika tidak, aku akan membantu bapak membajak sawah untuk mencari sesuap nasi. Ah, setelah kupikir-pikir tenaga wanita lemah sepertiku tak akan bermanfaat untuk dipekerjakan, akhirnya kupertahankan nama baik sebagai santriwati hingga hari kelulusan.
Mamak mulai mengekpresikan kejengkelannya pada bapak. Wajar menurutku. Sebab setiap kali berpergian, kehilangan kunci mobil sudah menjadi langganan. Mamak bergerak mengakhiri semua drama mencari kunci yang tak kunjung ditemui, berjalan ke arah kamar dan mengambil copy kunci yang telah disediakan, sebab ujung dari cerita mencari kunci selalu tak kunjung tertuntaskan dan berakhir dengan sad ending.
Sambil menaikkan satu-persatu kebutuhan mondok anak kedua mamak bapak. Tahun ini, Iki akan menjadi santri di tempat aku mondok dulu. Sedangkan Oka adikku yang terakhir masih duduk di kelas 4 SD, Oka si anak bungsu dan termungil di keluarga kami, tapi paling ahli membuat mamak dan bapak tertawa lepas.
"Ada yang belum dibeli apang[2]?", tanya mamak pada Iki yang sedari tadi diam membisu.
Aku tahu bagaimana perasaan ketika akan mondok dan ditinggalkan keluarga ditengah-tengah keasingan. Gejolak batin bertolak belakang dengan pikiran. Pikiran berkata "Semua demi cita-cita", tetapi batin menyakinkan "Ini adalah kesedihan yang nyata". Oleh karenanya tercipta rasa antara sedih dan bahagia.
"Apang sedih masuk pondok pesantren?" kali ini bapak yang bertanya dari hati. Tetapi, kedua pertanyaan tadi tak kunjung dijawab oleh Iki, dia diam tanpa melontarkan kata dan ekspresi. Begitu juga aku, sedari tadi hanya diam menatap luar jendela.
Iki lebih kuat dari aku, yang dulu ketika diantar kepondok malah meneteskan air mata. Setiap kali bapak dan mamak menjenguk, aku selalu memaksa pulang ke rumah bersama mereka, hingga akhirnya mencapai titik tertinggi kemarahan mamak karena egoku yang tak ingin balik kepondok.
Mamak sudah tidak tahan, pilihan ada di tanganku. Jika kembali, maka aku tetap bersekolah. Jika tidak, aku akan membantu bapak membajak sawah untuk mencari sesuap nasi. Ah, setelah kupikir-pikir tenaga wanita lemah sepertiku tak akan bermanfaat untuk dipekerjakan, akhirnya kupertahankan nama baik sebagai santriwati hingga hari kelulusan.
***
Senja memenuhi langit, sisa warna birunya kini buram dan tak seindah dasar lautan lagi. Tepat setelah senja datang, Iki kami tinggalkan seorang diri ditengah-tengah keasingan. Sekejam itukah orang tua? Merelakan anak yang selama ini bersamanya kini jauh darinya, membiarkannya menyediakan segala perlengkapan hidupnya seorang diri, bahkan jika ia tersakiti tak ada lagi tumpuan tempat ia mengadu atau sekedar mencurahkan rasa sakitnya.
"Mak, Yung sedih Iki tinggal dipesantren." giliran aku yang bersuara. Sedari tadi sedih kupendam dalam hati, adik kedua yang biasanya ikut serta dengan kami kini tak tampak lagi di antara jok mobil. Aku yang pernah merasakan hal yang sama menjatuhkan air mata. Rasa sakit saat ini seperti perasaan saat aku ditinggal 6 tahun lalu.
Tak ada sahutan dari bapak maupun mamak. Keduanya tetap diam, enggan menanggapi tangisan dan perasaanku. Akupun mengusap air mata dan berusaha tegar setegar baja, walau hanya rekayasa.
Sesampai dirumah, suasana menjadi hening, hanya televisi yang bersuara tanpa henti. Oka tampak sedang memainkan mainan miliknya di ruang tengah.
"Bapak, Yung, Oka, ayo makan!" ajak mamak setelah menghangatkan lauk yang ia masak sebelum Iki kami antar ke pesantren dan membekalinya dengan makanan tersebut.
"Mamak nangis?" tanyaku penasaran begitu melihat hidung mamak memerah.
Mamak tak kuasa menahannya, setelah kutanyakan, tangisan tersebut memecah. Tak acuh dengan adanya Oka di depan mamak.
"Biasanya anakku Iki duduk di sini menyantap makanan bersama kita. Apa malam ini dia sudah makan?" ucap mamak diiringi tangisan lagi.
Suasana meja makan penuh kesedihan dan air mata malam itu. Oka terdiam, dia sudah paham akan suasana sedih dan bahagia. Bapak mendiamkan mamak yang kini terisak.
"Pak, makan apa anakku malam ini pak? Dia harus mengantri makanan pak, kalau telat makan dan masuk angin perutnya bisa sakit pak? Gimana dia tidur pak? Biasanya sekamar hanya berdua dengan Oka, sekarang harus beramai-ramai. Apa dia bisa tidur pak?" mamak melontarkan banyak pertanyaan pada bapak yang wajahnya juga mulai pucat, matanya merah menahan air mata.
Oka dan aku kini terdiam, kugendong si bungsu dan mengajaknya bermain lagi di ruang tengah. Belum ada satupun dari kami yang menyantap makanan, bahkan kami tak lagi berselera, teringat Iki yang kini jauh dari pandangan mata.
Aku salah. Ternyata mamak dan bapak justru lebih terpukul saat berpisah dari anaknya, tapi tegas yang terus keduanya harus tampakkan di depan kami. Akhirnya kami kembali lagi ke pondok, memastikan Iki baik-baik saja dengan teman barunya.
"Yung, mamak lebih merasakan sakit dibandingkan kalian yang merasa sedih karena ditinggalkan di pondok pesantren. Bukan Iki saja, dulu ketika Yung yang ditinggalkan, mamak sama bapak tengah malam kembali ke pesantren memastikan apakah Yung bisa tidur. Apalah arti kita semua berkumpul di rumah tanpa berilmu Yung, mamak sama bapak cuma ingin kalian jadi orang berilmu dan bermanfaat untuk orang lain. Bukan hanya terus-menerus bermanja dan meringkuk di pangkuan orang tua. Kami akan mati Yung, kalau yang kami tinggalkan harta setelah kami meninggal kalian akan rusuh memperebutkannya, tapi jika yang kami tinggalkan ilmu, kalian akan hidup dan bermanfaat dimanapun."
Air mata terus mengalir di pipiku dari awal mamak berbicara hingga kini. Ternyata, selama ini aku telah berburuk sangka pada kedua orang tua. Seharusnya aku yang lebih paham terhadap keduanya, karena aku adalah yang tertua. Tapi aku payah, tak pernah memikirkan perasaan mereka. Ku buang kata 'orang tua tak pernah mengerti dan peduli' dalam kamus hidupku.
Aku lebih suka tawa dari pada arti mata, semua orang pasti begitu. Mulai detik ini, kuyakinkan diri bahwa membahagiakan orang yang paling merasa kesakitan saat berpisah dari kita adalah kewajiban. Allah mengetahui siapa yang berhak menggapai surgaNya, kuharap mamak dan bapak adalah salah satu yang Allah pilihkan untuk jadi penghuni surgaNya selamanya.
Semenjak itu doaku pun berubah, bukan lagi warhamhumaa kamaa rabbayani shoghiro (sayangi kedunya sebagaimana keduanya menyayangiku sewaktu kecil) tapi menjadi warhamhuma akstar min rabbayani shoghiro (sayangi keduanya lebih dari keduanya menyayangiku sewaktu kecil).
***
[1] (sebutan untuk kakak perempuan)
[2] (sebutan untuk kakak laki-laki)
*Penulis adalah Mahasiswi tingkat dua Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Kairo.
Posting Komentar