Perihal Menunggu
Oleh: Annas Muttaqin*
Sudah lima belas menit aku menunggu bus Asyir-Darrasah untuk pulang, tapi belum kunjung tiba. Ditambah matahari terik membakar kulit, keringat mulai bercucuran, bajuku mulai basah dibuatnya. Aku yang sudah berkulit gelap bisa-bisa bertambah gelap. Namun rasa syukur masih menyelimutiku ketika kerap kali berpapasan ataupun shalat di sebelah orang-orang Afrika. Kulit mereka yang hitam legam mampu menambah rasa syukurku. Apalagi ketika duduk diantara dua sujud, tasyahud awal dan tasyahud akhir. Lenganku tepat bersebelahan dengan mereka. Di sini puncak rasa syukurku. Hal ini bukan bermaksud mengatakan kulit gelap tidak memiliki sisi positif. Tapi kau pahamlah bagaimana dambaan kebanyakan penduduk Asia. Hal ini tentu berbeda dengan dambaan mereka yang hidup di Afrika sana.
Pandanganku masih menetap jauh ke arah munculnya atap mobil, lantaran jalan disini menurun. Sudah pasti yang awal tampak adalah atap depan mobil setelah naik dari puncak jalan yang sedikit menanjak. Kami mahasiswa di Kairo memang terlatih dalam mengenal atap bus dari kejauhan, mengenal warna-warnanya, kode-kode nomornya, isyarat-isyarat jarinya, serta waktu-waktu bus tersebut muncul.
Biasanya jika waktu siang seperti ini durasi antara satu bus dan bus lainnya jurusan Asyir-Darrasah hanya berkisar paling lama satu jam dan jika sedang beruntung bisa langsung menemukan bus yang kebetulan datang. Aku masih berdiri di tepi jalan. Namun kali ini aku memilih mencari tempat berteduh. Sebuah pohon kecil tumbuh di teras apotik, potnya terbuat dari beton. Aku memilih duduk di situ lantaran halte bus masih terletak jauh kisaran dua-tiga ratus meter di depan sana.
Mataku tetap menatap jauh ke tempat atap-atap mobil bermunculan. Sesekali kulirik jam di ponselku. Masih tersisa waktu sekitar empat jam lagi sebelum pengajian dimulai. Memang setelah ini aku punya jadwal pengajian bersama Syekh Husni di rumah beliau. Tampak dua wanita menyebrang jalan menuju ke arahku. Mereka tampak buru-buru.
Setelah mereka mendekat kulirik sejenak, wajah mereka. Sepertinya dua wanita ini yang duduk di sebelah meja makanku tadi, saat makan siang di warung. Aku ingat, tadi aku tak sengaja mendengar dialog mereka, katanya mereka juga sama-sama hendak ke Darrasah. Bisa kupastikan dari segi corak pakaian, raut wajah serta intonasi bicara meraka adalah mahasiswi Indonesia. Tangan mereka mengipas ngipas wajah entah karena kepanasan atau asap dari kendaraan, aku kurang tahu.
Kulirik lagi ponselku. Kali ini aku membuka whatsapp untuk membalas beberapa pesan masuk dari temanku, sekaligus sedikit menghapus bosan. Tak lupa kubuka video yang semalam ku-download via Youtube, kemudian menontonya. Namun bus juga tak kunjung tiba. Kulirik lagi wanita tadi. Mereka masih tetap berdiri di tepi jalan, mungkin mereka menunggu bus yang sama denganku. Sesekali mereka mengoyang-goyangkan badan sesekali setengah rukuk, tanda mereka letih menunggu.
Aku bangkit dari bawah pohon kecil tadi. Kulihat di belakang tepat di depan kantor Shirafah (money Changer) sebuah kursi kosong di sana, di sebelahnya ada seorang bapak paruh baya yang mengepulkan asap rokoknya. Lantaran aku sedang baik hati dan kasihan melihat mereka yang tampaknya sudah keletihan aku memutuskan untuk pindah dari pot beton itu dan mengisi kursi kosong tersebut.
“Assalamualaikum ‘ammu.” (Assalamualaikum Pak) ucapku menyapanya sambil mengisi kursi tersebut.
“Waalaikum salam. Ta’ala huna.” (waalaikum salam, mari duduk di sini saja) jawab Bapak tadi menyuruhku memindahkan kursi kesebelahnya agar tak menutupi pamflet tokonya.
Aku menurut saja memindahkan kursi ke sebelahnya.
“Tasyrab syagair?” (kamu merokok?) ucapnya sambil menawarkan rokoknya.
“la, syukran.” (Tidak Pak, Terimakasih) jawabku sebagai rasa hormat kerena berbaik hati menawarkan. Ya, walaupun sebahagian orang menganggap rokok racun, setidaknya kita menghargai perangai katanya yang positif.
Kemudian ia mematikan dan membuang rokoknya yang tinggal setengah lagi. Baru kali ini aku melihat orang mesir yang rela membuang rokoknya, padahal masih tersisa setengah lagi.
Aku mulai membuka pembicaraan sekaligus mencari-cari topik yang tepat untuk kubicarakan dengan bapak paruh baya ini. Sekaligus mengusir rasa bosanku. Mulai dari segi ekonomi, tehnologi, transportasi Mesir. Bahkan ia juga bercerita bagaimana dahulu saat Raja Farouq masih memerintah Mesir. Dirham merupakan mata uang yang digunakan di sini. Namun seiring berjalannya zaman dan berkembangnya ekonomi, kemudian Amerika mulai menguasai mata uang dunia dan ekonomi serta mata uang Mesir sedikit-sedit mulai terpuruk hingga saat ini. Ia juga mengatakan bahwa sebentar lagi di depan sana akan dibuatkan metro untuk mempermudah dan mempercepat transportasi darat.
Tak jarang aku juga ikut memaparkan membagikan cerita tentang kekayaan alam Indonesia dan tehnologi-tehnologi di sana serta bagaimana perbandingan mata uang Indonesia dan Mesir. Ia terkejut saat mendengar uang Rp 1000 bernilai sangat kecil. Baginya itu tak masuk akal.
Sambilan bercerita mataku masih memperhatikan dua perempuan tadi. Sekarang mereka duduk di bawah pohon yang kududuki tadi. Salah satu di antara mereka mulai risih, sedangkan yang satunya lagi sedang membaca sesuatu. Kulirik jam, tanpa sadar sudah satu jam setengah lebih aku menunggu bus, namun tak kunjung tiba bus yang kumaksudkan. Sebenarnya masih ada satu alternatif lagi yang bisa kutempuh agar segera sampai, yaitu dengan tramko jurusan Sabik yang dari tadi banyak lalu lalang di depanku kemudian melanjutkan dengan bis 24 ج ke Darrasah.
Aku bisa saja memilih alternatif tersebut tapi entah mengapa hari ini aku lebih ingin naik bus. Selain murah, kupikir aku juga sedang tak terlalu buru-buru. Toh pengajian akan di mulai setelah ashar sedangkan sekarang baru sekitar satu jam setelah shalat zuhur dan perjalanan pun paling akan memakan waktu satu jam. Jika tidak macet aku memiliki satu jam lagi untuk beristirahat jika telah sampai ke Darrasah.
Salah satu perempuan tadi kemudian turun ke tepi jalan. Sepertinya ia benar-benar dalam keadaan diburu waktu. Satu lagi masih tetap tenang menunggu sambil melambai tangan kepada temannya sebagai isyarat mereka akan berpisah. Aku menikmati gerak gerik mereka. Wanita yang tadi turun ke tepi jalan mulai membuat isyarat angka dua, bertanda ia membutuhkan tumpangan ke Sabik. Tak lama kemudian sebuah tramko berhenti didepannya dengan tergesa wanita tadi menaikinya. Kemudian tubuhnya tenggelam dalam tremko tersebut. wanita yang satu lagi masih terlihat santai dengan bacaan yang ada di tangannya.
Aku mulai kembali membuka pembicaraaan, kali ini ia yang lebih banyak bertanya perihal negaraku. Aku berusaha menggambarkan suasana kampungku. Kuperlihatkan pula letak Indonesia melalui Google Maps. ia mengaku selama ini hanya mendengar Indonesia. Namun tak pernah tahu letaknya. Kami mulai kehabisan bahan. Kemudian ia bertanya.
“Kau menunggu Bus 80?
“Ya” jawabku singkat.
Memang, menunggu merupakan hal yang paling membosankan dalam hidup. Menunggu apapun itu. Termasuk seperti yang sedang aku alami sekarang ini. Menunggu bus yang belum pasti kapan kan tiba, dan dimana keberadaanya sekarang. Rasa bosanku tak tertahan, kali ini waktu tak bisa kuajak kompromi. Jika aku masih tetap bersikeras menunggu bus, bisa-bisa aku terlambat menghadiri pengajian. Belum lagi jika nanti di jalan macet. Kemungkinanku untuk ketinggalan maklumat dari Syekh pasti akan lebih besar. Segera kuubah haluan untuk memilih alternatif yang ke dua. Kupersiapkan langkahku. Aku mulai bergegas tak lama kemudian berpamitan dengan Bapak paruh baya tadi. Tak lupa kutanya namanya, sedikit sebagai muamalahku.
“Ismak e ba ah?” (Btw namamu siapa?)
“Ammu Thariq, Thariq bin Ziyad” jawabnya memperkenalkan diri sekaligus menisbahkan namanya kepada salah satu kesatria Islam dengan semeringah senyum.
“Syarraf tana Ammu Thariq, ma’as salamah.” (Terima kasih telah menyambut kami dengan baik, sampai jumpa) sambungku memujinya, sekaligus mengakhiri pembicaraan.
Aku bergegas meninggalkan kursi sebelahnya. Ia kembali tersenyum. Sambil melambaikan tangannya. Memang seperti ini watak orang mesir. Mereka bisa sangat cepat akrab, mereka bisa sangat kasar, bahkan juga bisa cocok jadi lawan tarung tangguh jika diperlukan. Tergantung bagaimana kita menyikapi mereka dan mereka menyikapi kita.
Aku beranjak dari kursi turun ke tepi jalan. Mengacungkan dua jari sebagai isyarat aku mebutuhkan tumpangan ke Sabik. Tak lama tramko tiba, aku naik. Kulirik sekali lagi ke belakang lewat jendela mobil, perempuan tadi masih menunggu. Kemudian dia beranjak dari tempat duduknya. Mobil kutumpangi mulai melaju sedangkan aku masih melihat perempuan tadi. ternyata bus yang ku tunggu tadi tiba. Perempuan tadi menaikinya, sedangkan aku telah terlanjur naik dalam tramko. Sebenarnya aku bisa saja turun.Namun aku tidak sedang ingin menambah dosa pengemudi tramko ini dengan mencaciku nanti lantaran rasa geramnya jika aku minta diturunkan.
Usai pengajian aku langsung menuju rumah untuk istirahat. Bersyukur aku hadir tepat saat syekh masih bertanya-tanya kabar muridnya. Memang seperti itu kebiasaan Syekh Husni sebelum mengajar. Beliau termasuk guru yang akrab dengan muridnya, tak jarang pula beliau menawarkan kami makanan yang disediakan khusus untuknya saat pengajian mulai terlihat jenuh. Pembahasan hari ini lumayan berat, berkaitan dengan mantiq. Akalku habis-habisan dikuras oleh pembahasan ini untuk memikirkan cara manusia berpikir. Walaupun sudah agak terbiasa. Namun yang namanya mempelajari ilmu mantiq tetap harus memerlukan fokus lebih. Karena jika saja fokusku hilang bisa-bisa aku gagal paham terhadap pembahasannya.
Di rumah yang kuhuni, suasana sangat jauh dari rasa hening. Jika bukan suara-suara Za’i yang menggema di ruang tengah melantunkan hafalannya pasti ada suara Ngali yang tiba-tiba tertawa sambil menyaksikan anime di HP-nya. Jika bukan mereka berdua, ada Ipul yang sering nyanyi dan bershalawat memamerkan suara merdunya, Jika bukan mereka masih ada suara Bobox dan Izul yang bercanda dengan tingkah-tingkah konyol. Mereka memang seperti itu, maklum dari dulu di Ma’had mereka telah bersama. Kadang-kadang aku tertawa terpingkal-pingkal melihat lakon mereka. Pernah suatu pagi aku terbangun hanya karena perdebatan mereka yang konyol dan tidak berfaedah sama sekali.
Pagi itu mereka ribut hanya karena saling cokeh perut satu sama lain. Ya, jika berbicara tubuh mereka memang memiliki tubuh yang sangat sehat, Terlebih setelah sampai di sini. Walaupun diet setiap hari tapi makannya setiap malam. Walaupun memiliki tubuh yang hampir sama sehat namun warna kulit mereka tetap berbeda yang satu kuning langsat yang satu lagi tidak. Awalnya Bobox mulai menyokeh perut Izul. Kemudian Izul membalasnya kemudian lanjut saling balas membalas menyokeh perut hingga kemudian Izul meninggikan suara.
“Apaan sih cokeh-cokeh perut orang, perut sendiri ada,” jawabnya geram.
Bobox mulai kehabisan kata. Tapi ia hanya senyum-senyum. Kemudian beranjak begitu saja tanpa rasa bersalah. Sedangkan Izul masih berwajah masam. Aku yang menyaksikannya setengah sadar dan merasa terzalimi ingin marah, namun tak jadi.
Juga yang unik dari Bobox adalah ia bisa menilai ketampanan seekor anjing. Suatu hari aku pernah berjalan bersamanya menuju kampus untuk mengurusi perihal kartu mahasiswa setelah mengantri dua hari. Seperti biasa di gang-gang menuju rumah kami, anjing bak kambing-kambing di kampungku.
“Anjing di sini gak ada yang tampan ya,” celotehnya saat melewati segerombolan anjing.
“Emang ada Anjing yang tampan?” sahutku sambil sedikit terkekeh.
“Tu, kayak anjing Shih Zau yang di Youtube,” sahutnya lagi lagi meyakinkanku.
Aku mulai berpikir, sejak kapan ada orang yang menilai ketampanan seekor anjing. Aku hanya mengangguk sambil memikirkan kata-katanya. Di satu sisi aku merasa dibodohi, di lain sisi aku tak bisa membantahnya, karena aku belum paham tentang anjing. Kalau kalian gimana guys, jangan lupa komen di kolom komentar ya!
Sampai di rumah aku langsung membuka pintu dan masuk. Kemudian meletakkan barang-barangku dan duduk di kursi balkon rumah, tak lupa sebelumnya kubuka kulkas untuk mengambil segelas teh dingin yang sejak tadi pagi kuletakkan. “Alhamdulillah masih utuh” ucapku dalam hati.
Maklum perihal makanan dan minuman rumahku memang tergolong buas. Pernah ketika itu karena aku sedang jahat. Kubuat teh tapi bukan gula yang kutaruh melainkan garam, kemudian kuletakkan di kulkas. Benar saja ketika aku pulang ke rumah, tehnya hanya tinggal setengah gelas. Aku tertawa terbahak-bahak saat melihatnya. Sedangkan beberapa diantara mereka ada yang masam.
Pernah pula ketika kemarin aku jalan-jalan ke Nil. Lantaran teringat kata-kata dari ustadku bahwa “Barang siapa yang sempat minum air Nil, maka ia akan kembali ke Mesir”. Spontan kuambil kotak Jus Juhaynah non-transparan yang baru saja kami habiskan isinya. Kemudian kumasukkan air Nil mentah dan kubawa pulang. Benar, sampai dirumah mereka menagih makanan dari kami.
“Mana kuenya? Masa jalan-jalan gak bawa pulang kue.” Sambut mereka ketika melihatku membawa plastik berisi kue-kue.
Langsung saja kusodorkan kotak jus tersebut. Mereka ramai-ramai menyambut bahkan rebutan untuk meminumnya. Ternyata Za’i yang menjadi peminum utama. Sontak ia kaget sambil menahan tegukan yang kesekian kalinya, karena isinya bukan jus melainkan air putih yang agak anyir-anyir sedikit. Tawa pun pecah, yang tak mendapat jatahpun bersyukur. Semenjak beberapa kejadian tersebut warga rumahku mulai was-was dalam perihal makan memakan dan setiap ada kejadian serupa pasti menuduhku. Memang seperti ini lakon warga rumahku, walaupun usia sudah dewasa namun perihal bercanda pasti ada. Maklum kami sudah seperti keluarga.
Dengan nafas lega aku kembali duduk di balkon sambil menikmati teh dinginku, sambil memandang gedung-gedung yang disinari cahaya keemasan matahari sore. Ah, rasanya benar-benar lega. Serasa lebih indah dibandingkan duduk di Starbuck ataupun Costa. Teh dinginku rasanya benar-benar melebihi bintang lima. Melepas jenuh, kembali kuhidupkan Hp-ku. Niatku ingin menelpon ke kampung halaman sambil bertukar kabar memberi info bahwa aku sudah mendaftarkan diri dan diterima untuk melanjutkan Magisterku di sini. Dan Insyaallah bulan depan aku akan pulang kampung melepas Rindu. Di sini memang seperti itu harus terlebih dahulu terdaftar di salah satu instasi, baru kemudian bisa mengeluarkan Visa jangka panjang.
Puluhan pesan WA masuk. Wajar, aku lebih senang mematikan Hp-ku ketika sedang mengikuti pengajian atau belajar. Menurutku itu aternatif utama agar tidak merasa terganggu. Puluhan pesan masuk, namun pesan grup jauh lebih banyak. Beberapa ada pesan pribadi dari temanku. Terpaksa kubuka terlebih dahulu pesan-pesan yang masuk, barang kali ada yang harus segera kubalas. Namun ada sebuah nomor yang tak kukenali masuk. Awalannya +62. Oh, mungkin ini pesan dari temanku yang di Indonesia. Kubuka ternyata ada sebuah gambar masuk. Kulihat lagi, ini bukan gambar melainkan sebuah undangan pernikahan. Ah wajar pikirku, memang teman-temanku sedang musim nikah di sana, maklum umur angkatanku sekarang sudah memasuki 26 tahun. Sebahagian dari mereka bahkan ada yang sudah beranak dua. Kulihat nama yang tertera di muka undangan tersebut. tertulis
Our Wedding day.
“Muhammad Asyrafil dan Khaira Nabila.”
Aku tertegun sesaat tak lama kemudian pesan kembali masuk.
“Maaf, tak bisa menunggu lebih lama”
Tanganku mulai bergetar, mood-ku hilang seketika. Aku tak tahu harus membalas apa dari pesan singkatnya. Kembali kuseruput teh yang sudah hilang rasa sambil menatap dinding yang ada di sisiku. Sekali lagi kutilik lagi namanya, kali ini beserta nama ayahnya. “Benar ini Khaira-ku” Semua kenangan tentangnya seakan kembali diputar di dinding itu. Perihalnya yang datang saat ku terbaring sakit, perihalnya saatku bertamu ke rumahnya ketika lebaran, perihal gurau-gurau yang pernah terlintas, perihal janji-janji yang pernah kuucap, perihal hadiah-hadiah yang pernah ia berikan, perihal tingkah-tingkahnya yang sedikit tomboi, bahkan saat kami saling malu berfoto di bandara sebelum keberangkatanku ke sini terputar jelas di hadapanku. Semuanya tergambar begitu saja diiringi senyum manisnya. Air mataku hampir Tumpah, namun kutahan sebisa mungkin. Masih terngiang kata yang pernah kulontar.
“Setelah empat tahun aku akan pulang” ucapku saat berpamitan padanya.
Ah, betapa berengseknya aku ini. Semenjak dua tahun terakhir aku tak pernah lagi memberinya info. Bahkan kontaknya saja tak kumiliki lagi. Bukan sengaja kuhapus, namun tak sengaja hilang bersama HP-ku yang dulu. Sedangkan media komunikasi lain, hanya FB yang ia miliki itupun ia sangat jarang menggunakannya. Benar, hingga sekarang aku masih mencintainya. Benar, wajahnya masih sering terbayang dibenakku. Benar pula bahwa aku masih sangat merindukannya. Namun, setelah lebih dari empat tahun yang kujanjikan kemudian aku memutuskan tidak menghubunginya lagi.
Aku beranggapan telah mengkhianatinya dan tak ingin membuatnya menunggu lebih lama setelah janjiku empat tahun. Dan pula anggapanku, memang ia takkan sanggup menunggu, toh enam tahun merupakan penantian yang sangat panjang. Namun ternyata, anggapanku tidak sepenuhnya benar. Setelah empat tahunku di sini, ia masih tetap memegang janji itu bahkan ini masuk ke tahun yang ke enam. Hanya saja, hari ini akhirnya ia menyatakan rasa "pasrah" dengan ketidakpastianku.
Maaf kawan, bukan maksudku menggurui. Hanya saja jangan sampai perihal ini juga terjadi pada salah seorang yang sangat kau kasihi. Untukmu lelaki yang telah mengucapkan janji, segera tepati janji sebagai bentuk tanggung jawab kita. Untukmu yang belum mengucapkannya, jangan pernah kau untai harapanmu jika kau belum bisa memastikan akan seatap kelak. Kasihan diri kita lelaki yang harus berbohong pada diri sendiri, juga kasihan mereka menunggu teralu lama. Sedangkan umur mereka habis ditelan masa.
Perihal menunggu itu berat kawan, apa lagi tanpa kepastian seperti yang Khaira-ku telah lakukan. Tak ada yang bisa kuungkapkan kepada Khaira, selain kata maaf dan terima kasih atas penantian tulusnya selama ini. "Semoga kau bahagia bersamanya, Khaira".[]
Perihal menunggu itu berat kawan, apa lagi tanpa kepastian seperti yang Khaira-ku telah lakukan. Tak ada yang bisa kuungkapkan kepada Khaira, selain kata maaf dan terima kasih atas penantian tulusnya selama ini. "Semoga kau bahagia bersamanya, Khaira".[]
*Penulis Meupakan Mahasiswa Tingkat Dua Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar.
Baca juga Cerpen: Hatt Geneh!
Posting Komentar