Maaf, Aku Khilaf
Oleh: Suci Darmayanti*
Sumber foto: @aishaharas |
Cuaca sangat gelap, bukan karena
mendung pertanda hujan kan menyapa, melainkan karna debu telah berkuasa. Pula
angin yang bertamasya ria tanpa beban dan dosa membantu sang debu untuk menyapa
setiap mata manusia, tak kecuali mataku yang tak segan diajak bermain
oleh mereka. Ini memang salahku yang lupa menyiapkan payung sebelum hujan, pula lupa memakai pelindung mata sebelum berjalan. Akhirnya aku harus berpura
seperti orang China, menyipitkan mata guna menghalangi debu agar tak sepenuhnya bisa mengajakku bermain.
“Assalamu ’alaikum
Sa” sapa teman sepondokku dulu yang membangunkanku dari lamunan panjang tak
bertema. “Wa’alaikumussalam Put, ngagetin aja”. “Ya lagian kamu-nya sih, siapa
suruh ngelamun siang-siang gini. Oh ya Sa, kamu mau kan temenin aku ketemu sama ikhwan
yang aku ceritakan kemarin?”. Dalam batinku, bukannya sudah kukatakan padanya
kalau aku tidak mau menemaninya berjumpa
dengan laki-laki yang tidak jelas keperluannya. “Hehe, maaf Put, kan aku udah
bilang, kalau aku gak bisa temenin kamu, karena ada acara dengan kekeluargaan Jumat ini, maaf sekali ya Put”.
Dalihku agar Putri tidak mengajakku lagi untuk
menemaninya berjumpa dengan salah satu ikhwan yang baru dikenalnya. Ya
walaupun aku memang ada acara dengan kekeluargaan mahasiswa Aceh, yang selesai jam 3 WK. Masih sempat jika mau menemaninya, tapi aku
tetap menolak dengan halus agar tak menyakitinya. “Yaahhh, ya sudahlah Sa
kalau kamu gak bisa, tapi gimana kalau minggu depan, kamu bisa kan? Ya..ya bisa
kan Sa, bisa dong Sa!”. Wajah memelasnya membuat aku menelan ludah, sebenarnya
ada apa di balik pemaksaan untuk menemaninya berjumpa dengan lelaki tersebut,
apakah dia sahabatnya, saudaranya, atau lelaki yang punya hubungan spesial
dengannya, sampai ingin sekali untuk berjumpa.
Putri hanya bercerita kalau laki-laki
tersebut adalah mahasiswa Indonesia yang baru dia kenal di Mesir ketika
berkunjung ke perpustakaan mahasiwa Indonesia. Lelaki tersebut tak
sengaja menabraknya hingga menjatuhkan semua buku yang hendak dipinjam ke
petugas perpustakaan, dan berakhir dengan saling meminta nomor whatsapp, entah
lah apa kelanjutan dari kisah seperti di film-film, yang berawal dari seorang
lelaki menabrak seorang perempuan hingga berlanjut ke chattingan.
“Hmm, in syaa Allah ya Put”. “Oke Salsa, makasih ya. Aku pamit dulu,
mau ke pasar, Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikumussalam”. Jawabku.
Berakhir
percakapanku dengannya, sampai nomor antrian crepe-ku, roti berisi nugget, daging dan sedikit sayuran dilumuri saus dan mayones, dipanggil untuk segera mengambilnya.
Hari
ini aku kembali ke rutinitas, meneguk ilmu dari lautan luas,
mencari penawar kehausan, penyiram kegersangan hati akan Rabb yang telah
menciptakanku. Rumahku sedikit jauh dari al-Azhar Banat, membuatku harus
menunggu sebuah mobil kecil yang disebut tremco, jika di Indonesia biasanya angkot. Saat itu, cuaca sangat cerah, awan biru menemani senyum lebar sang
matahari, kulihat jam tangan pukul 08.30 tepat, hingga akhirnya sebuah tremco tujuan ke kampus berhenti di dekatku dan langsung kutumpangi.
Sampai di ruangan aku langsung
duduk sembari mengulang-ngulang kembali materi kemarin, suasana ruangan fakultas Syari’ah wal Qanun beraneka, ya maklum lah di sini mahasiswi dari berbagai benua, negara dan ras
yang berbeda. Tapi ilmulah yang menyatukan semua muslimah dalam ruangan ini.
Pelajaran berakhir, kami bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
Hal yang sama, menanti tremco untuk pulang ke rumah, kali ini aku menaiki bus.
Karena bus yang pertama menyapaku, matahari masih saja bersemangat, ditemani
sang angin yang menggugurkan daun-daun dari pohonnya. Sugguh dedaunan itu tak pernah membenci angin yang telah menjatuhkan dan membawanya jauh tak berarah.
Sumber foto: @deafith |
Untung
bus yang aku tumpangi tak begitu penuh, sehingga aku tak perlu adu badan dengan
orang Mesir, jelas mereka akan menang karena perawakan orang Arab
yang tinggi dan besar. Namun di sisi kananku kulihat wajah tua, lelah bermandi
peluh, dengan sedikit barang pecah belah di atas pangkuannya, sampai angin
meniupkan baunya melalui lubang kecil jendela. Mungkin dia sangat lelah,
selepas kerjanya mencari rezeki, sampai-sampai angin di sampingku tak mampu
menghapus sedikit saja bau yang tercipta dari tubuh tua nan lusuhnya.
Tujuanku
hampir sampai, tak lama “‘Ala gamb yastha” ungkapan bila tujuan sudah sampai, gegasku turun dan
berjalan menyusuri setapak demi setapak jalanan bumi para Nabi ini, bumi tempat
orang yang pernah mengaku sebagai Tuhan juga di sini. Maka tak ayal bila
ungkapan mitslukum katsir, orang seperti kalian banyak. Jika kamu orang
kaya di sini ada yang lebih kaya yaitu Qarun. Kamu orang jahat, di sini ada
juga yang lebih jahat, yaitu Fir’aun. Dan jika
kamu orang baik, di Mesir ini ada yang lebih baik lagi, yaitu Nabi Musa as.
Maka jangan pernah sombong ketika masuk ke Mesir ini. Ungkapan itu cukup
membuat hati sadar akan posisi kita di dunia ini hanyalah orang biasa yang
harus senantiasa memperbaiki diri sekaligus mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tiba-tiba
masuk pesan dari whatsapp berbunyi “Sa, kita ketemu di gamik ya”. Sambil bergumam, masih
saja dia mengajakku untuk menemaninya berjumpa lelaki itu, padahal ini sudah
minggu kedua setelah minggu kemarin aku menolaknya kembali, tidak bosan-bosannya dia mengajakku walau selalu berujung penolakan. Lima menit kemudian dia sampai ke gamik.
“Assalamu’alaikum Sa”.
“Wa’alaikumussalam Put, ada apa ya Put ngajak ketemuan?. “Aku mau minta kamu
temenenin Sa, tapi kenapa selalu kamu tolak?. “Oke Put, sekarang aku mau
jujur ya sama kamu, apa alasan di balik penolakanku, kita udah tau kan udah
pernah rasa kan, kehidupan di pondok dulu yang mengajarkan kita agar menjaga
hubungan dengan lawan jenis kalau engga ada perlunya dan engga penting". “Lah,
kamu sok suci Sa, bukannya pertama-tama kamu di sini kamu juga pernah
chattingan sama ikhwan”. (dengan wajah kesal dan menyindir).
“Astaghfirullah, iya Put. Aku pernah chattingan, tapi alhamdulillah ada yang
cepat ingatin aku, dan itu pun bukan chattingan berlebihan, aku
merasa telah mendzalimi diriku sendiri, terlepas dari itu dan alhamdulillah aku
punya kekeluargaan yang sangat menjaga kami, khususnya perempuan, karena
perempuan suka memainkan perasaan dan cepat terbuai, jadi kalau tidak ada yang
tegas menjaga dan menegur lantas siapa lagi, kita tinggal di negeri orang, jauh
dari pengawasan orang tua, maka mereka lah yang menjadi orang tua kita di
sini. Kami dilarang untuk pacaran dan
hal-hal negatif lainnya, untuk apa? Semuanya kembali untuk menjaga kami,
karena jangan dekati, kata Allah dekati aja jangan apalagi sampai masuk, apa
kita bisa menjamin saat kita berdua dengan lawan jenis yang ketiganya bukan
iblis? Engga Put, kita engga bisa jamin. Mana Putri yang dulu, Putri yang aku
kenal baik dan menjaga dirinya?
“Alah, udah lah Sa, everything has change,
semua berubah, bayi engga bayi selalu. Tuh liat pohon itu aja, yang pertamanya
hijau sekarang udah coklat gak menarik, apalagi manusia. Waktu dan keadaan
mengubah segalanya Sa, ahh yaudah lah aku pamit dulu”. Istighfar dalam hatiku,
gerangan apa yang membuat Putri seperti itu. Aku memang se-pondok dengannya
tapi kami berasal dari daerah yang beda, aku dari Aceh sedang dia dari
provinsi lain, oleh karna itu kami berbeda kekeluargaan ketika di Mesir.
Dua bulan lamanya kami tak pernah berkontak lagi, namun bukan
berarti aku tak pernah melihatnya, bahkan sering aku berpapasan dengannya, sangat disayangkan selama itu pula dia sudah sering berjalan dengan lelaki yang diceritakan itu, kadang aku berjumpa dengannya di taman duduk bersama
lelaki itu, kadang di mobil bersama, walaupun tidak ada hal-hal seperti
pegangan. Bukanku tak coba menegur dan menasehati, tapi lisanku telah
berhenti kehabisan diksi. Mungkin cara tersebut kurang ampuh, esoknya kuajak
Putri untuk berjumpa di sebuah taman, dan alhamdulillah dia setuju.
Langsung saja kuutarakan maksudku,
“Put, ada hubungan apa dengan lelaki itu?" Tanyaku seperti sedikit mengintrogasi,
“Sa, kamu tenang aja deh, aku
pacaran sama dia, tapi bukan berarti aku menyukai hal-hal yang dilarang seperti
bersentuhan, ciuman dan sebagainya, aku ga suka Sa, masih tau batas, apalagi
aku menuntut ilmu agama di Mesir, lagian dia juga orang yang paham, dan
ngajarin apa yang aku gak bisa. Jadi aku sama dia pacaran seperti teman gitu,
tenang aja deh Sa."
“Hhmm, baik lah Put, tapi aku tetap berharap kalau bisa
kamu jauhi dia supaya gak menimbulkan fitnah bagi kalian.”
“Iya, iya Sa, makasih
nasihatnya”. Tanpa menjawab perkataan terakhirnya kami sudah sama-sama
meninggalkan taman.
Selesai
dari kegiatan kuliah aku melihat Putri langsung bergegas pulang dan seperti ada
hal lain yang harus segera dikerjakan. Tak membuang-buang waktu aku langsung
menuju ke rumah ketua WIHDAH untuk menemaninya bertemu dengan ketua keputrian
KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh) yang kebetulan sedang berada di rumah Putri
menemui temannya. Sepuluh menit selama perjalanan kami habiskan untuk berbincang
tentang peran perempuan di masa keterbukaan informasi ini, yang harus pandai-pandai menjaga diri khususnya bermedia sosial.
Sumber foto: @ilmailliyyin |
Kami
sudah sampai di depan pintu rumah Putri, langsung kutekan bel, tapi belum ada
jawaban, malah kami dikejutkan dengan bunyi teriakan minta tolong dari dalam rumah, dan aku tidak asing dengan
suara tersebut. “Putriiiiiiii……buka pintu ini aku Salsa, cepat buka
pintu, apa yang terjadi sama kamu?”. Dari depan pintu kami mendengar suara
langkah kaki yang tertahan, seperti orang yang sangat susah untuk bangkit dari
jatuhnya, dan ada isak tangis yang samar-samar terdengar dari dalam, hingga terdengar suara pintu mulai
terbuka, “Salsa….aa..a..a..a”.
Suaranya yang terputus-putus dan air mata
bercucuran, membuat mukanya merah bercampur keringat yang belum kupahami
sedikit pun kenapa da seperti ini. Dengan perasaan cemas dan takut, kami
mencoba membawanya masuk, belum sempat tubuh kami melewati pintu, keluarlah
seorang lelaki dengan tergopoh-gopoh ketakutan berlari seolah takut dikenali,
namun wajah tersebut tidak asing bagiku. Dia adalah lelaki yang dekat
dengan Putri selama ini.
Setelah
kepergian lelaki itu, kami mendudukkan Putri yang masih dalam
ketakutan, kuambilkan air putih untuk menenangkan dirinya. Setelah keadaan
kondusif, perlahan kami tanyakan apa yang terjadi, belum ada suara yang keluar
dari bibir tipisnya itu, kucoba untuk kedua kalinya, akhirnya dia mulai bersuara,
“Tadi selepas kuliah, aku menyuruh Sukimin untuk membantuku
memperbaiki kompor yang rusak, setiba di rumah ternyata gak ada satu pun orang
karena mereka masuk kuliah siang, jadi karena aku percaya sama Sukimin, aku menyuruhnya masuk memperbaiki kompor, awalnya baik-baik aja, dia
fokus memperbaiki kompor, namun setelah beberapa saat dia mulai terlihat aneh,
lirik-lirik sekitar, seperti nebak kalau
di rumah saat itu hanya ada aku dan dia, dan tebakannya benar, kemudian
gelagatnya mulai berubah dia coba memegang tanganku, tapi berhasil kutepis. Bukan sekali, ia mencoba lagi dan aku mulai berburuk sangka, akhirnya aku coba
berlari untuk meraih telpon genggamku, dia malah mencegahku. Sampai akhirnya
kalian datang, aku merasa seperti dimasukkan ke dalam lubang yang gak bercahaya, yang ada hanya rasa pengap, sesak seakan mati rasanya dan
tiba-tiba ada yang membuka penutup, lalu masuklah cahaya hingga aku bisa mencari
jalan keluar, terus aku gigit tangannya, tusuk jarum pentul punyaku sampai dia meraung dan lepasin cengkramannya. Waktu itu aku berusaha cepat raih gagang
pintu dengan takut bercampur lelah yang gak bisa kubendung lagi, untung dia
belum bisa ngapa-ngapain sama aku”. (Tampak raut penyesalan yang besar dari
wajahnya).
“Aku nyesal dengan perbuatanku, makasih Sa kamu udah selalu
nasehatin aku, maafin aku yang egois dan merasa bisa menjaga diri kemarin, maaf
aku khilaf”. Masih dengan suaranya yang belum pulih benar. Sungguh malang nasib kami, sudah tidak berjumpa dengan ketua Keputrian KMA, mendapati teman
sekaligus saudari rantau seperti ini lagi.
Kak
Ratna ketua organisasi WIHDAH yaitu
sebuah organisasi yang mengurus dan
mewadahi aspirasi mahasiswi Indonesia di Mesir menanyakan perihal ada hubungan
apa Putri dengan lelaki itu. Kemudian Putri menceritakan awal perjumpaannya
dengan panjang lebar sampai berakhir dengan satu permintaan darinya untuk
diadakan seminar perempuan, untuk menenangkan hatinya, sekaligus agar muslimah
lain tahu bahwa tidak ada laki-laki yang bisa dipercaya ketika mengantarkan
janji-janji manis kecuali telah sah mendatangi ayah si perempuan.
Tak
lama berselang, dua minggu setelah kejadian itu, seminar keperempuanan diadakan
dengan mengusung tema “Menjadi Perhiasan di tengah gersangnya Dunia”. Perempuan adalah madrasatul ula,
sekolah pertama bagi anak-anak kita, jika baik perempuan maka akan baik
generasi, jika baik perempuan maka akan baik bangsa, bukankah orang-orang hebat
terlahir dari rahim seorang perempuan yang hebat, jadi marilah kita menjadi
perhiasan di tengah gersagnya dunia. Jangan sampai zaman menjadikan kita
muslimah yang kehilangan akhlak. Tidak ada kemuliaan terbesar yang diberikan
Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang ibu. Maka
jelaslah bahwa wanita adalah tumpuan dasar kemuliaan suatu masyarakat bahkan
Negara. Seperti Sabda Rasulullah Saw.:
الدنيا متاع وخير
متاعها المرأة الصالحة.
“Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah." (HR. Muslim)
“Dan besar harapan kita dan saya khususnya agar mahasiswi Indonesia di
sini menjadi perempuan teladan yang bisa dicontoh ketika kembali ke tanah air
nantinya, karena perempuan sekarang adalah penentu agama dan bangsa ke depannya.
Jika bagus perempuannya, maka akan bagus semuanya” tutur kak Ratna dipenghujung acara. Ucapan terimakasih Putri untuk kak Ratna
dan Salsa. Semoga saling mengingati dalam kebaikan.
*Penulis adalah Mahasiswi tingkat 1 fakultas Syariah wal Qanun jurusan Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo.
Posting Komentar