Azhary dan Kepekaan Terhadap Umat
Oleh: Hayatul Rahmi*
azhar.edu.eg |
Berbicara tentang pemuda berarti membuka peta Indonesia masa depan. Kita bisa meraba dan meramal banyak hal karena di pundak pemudalah nasib suatu bangsa dipertaruhkan. Singkatnya, generasi saat ini yang akan menahkodai Indonesia kelak. Maka, sudah sewajarnya kita mengevaluasi diri, apakah kita siap mengemban amanah agama dan bangsa sekaligus? Jangan sampai kita dikenal dengan generasi sosial media atau generasi warung kopi yang lambat menganalisa polemik masyarakat.
Indonesia sendiri terdiri dari beragam suku dan agama yang kemudian disatukan dalam ideologi pancasila yang juga sejalan dengan syariat agama kita, Islam. Tetapi mengapa permasalahan dan perselisihan di dalam negeri seakan memicu pertanyaan sensitif, kemanakah peran pemuda, mahasiswa, khususnya mahasiswa Al-Azhar (Azhary) yang memang dipersiapkan untuk mengatasi ini semua?
Jika universitas di seluruh dunia bertujuan mencetak generasi berpengetahuan yang siap terjun ke dalam masyarakat, memperkenalkan ilmu baru, meluncurkan teknologi canggih, dan membangun sumber daya manusia, maka peran Al-Azhar lebih dari itu. Sistematika keilmuan Al-Azhar seakan memberi angin segar kepada kita semua.
Dikutip dalam surat kabar Sautul Azhar saat menyampaikan apresiasi nya kepada para alumni Al-Azhar, Syekh Ahmad Tayib menegaskan “Al-Azhar adalah lembaga yang memikul amanah keilmuan dan akhlak (karakter) yang harus berjalan beriringan satu sama lain. Juga keabsahan ilmu yang merujuk kepada konsep kesanadan.”
Ungkapan ini mengindikasikan bahwa Al-Azhar adalah rujukan umat Islam dalam memberikan fatwa terhadap sebuah pemasalahan. Itulah mengapa secara tidak langsung di pundak seorang pelajar Al-Azhar telah tersemat amanah yang besar, yang tidak dipikul oleh mahasiswa lainnya. Dan kabar baiknya, telah lahir ratusan pakar ulama yang mampu bersaing dan menyelamatkan dunia Islam dari kesalahan pahaman, termasuk dalam memahami Al-Quran secara tekstual. Dengan metodologinya yang wasathi (moderat) Al-Azhar telah mematahkan ideologi kaum radikalis ataupun liberal.
Tidak bisa dipungkiri, setiap tahun angka peminat Al-Azhar semakin bertambah. Entah itu datang dengan beasiswa pemerintah daerah, maupun beasiswa dari Azhar itu sendiri. Bahkan, banyak yang maju dengan finansial pas-pasan, mengutang sana-sini demi tercapai cita-cita.
Tahun ini, Indonesia bahkan mengutus kurang lebih 1.555 anak. Kapasitas yang begitu besar bukan? Lantas setelah mengorbankan hampir seluruh aset ini, apakah pesan dan wasiat ayah bunda terealisasi atau malah terbengkalai tak bermakna? Apakah pemuda pemudi Indonesia pulang dengan membawa solusi atau malah menambah benang kusut? Lantas, kenapa Indonesia belum berevolusi seperti yang di harapkan? Apakah ada kesalahan sistem atau pihak mana yang mesti bertanggung jawab?
Umat Membutuhkan Azhary yang Peka.
Mengutip perkataan Pangeran, Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) beberapa waktu lalu dalam seminar keazharian bersama ustad Abdul Somad “Jika tidak ada mahasiswa Jurusan Hadis yang menghafal Kutubus Sittah, maka kepada siapa masyarakat berharap dan bertanya tentang keabsahan atau penjelasan suatu hadis?”
Ini menarik sekali, karena seperti yang kita ketahui, Al-Azhar yang dibangun sejak 970 M tentu mengalami pasang surut seiring bergantinya zaman dan majunya teknologi serta peradaban, namun tetap meng-update polemik masyarakat kemudian memberikan fatwa yang wasathy. Universitas kedua tertua di dunia ini jelas sudah menunjukkan wajah keilmuan muslim yang sesungguhnya, yang toleran, menerima keberagamaan, dan tidak ekstremis maupun liberal.
Berangkat pada sistematika keilmuannya, di kampus berbasis Islam manapun tak terkecuali Al-Azhar, seorang mahasiswa pasti dituntut untuk menguasai diktat (muqarar) seutuhnya. Ini bertujuan agar mereka dapat menyebarkan risalah Islam sesuai yang diajarkan Rasulullah Saw. Hal seperti ini mendesak hampir sebagian masisir untuk menghafal seluruh isi muqarar tanpa merasa perlu memahaminya.
Apakah cara ini efektif? Tidak. Biarpun persentase kelulusan meningkat dengan trik seperti ini, atau bahkan ada yang mengisi bangku negara dengan modal Lc di belakang nama, Islam Indonesia tetap akan sulit berkembang. Islam rentan dikambinghitamkan oleh oknum tak bertanggung jawab.
Rakyat memerlukan kecakapan serta integritas seorang Azhary yang bisa mendatangkan solusi dalam polemik bangsa. Bukan sekedar gelar tanpa tindakan nyata. Itulah mengapa meski tidak ada prosedur tertulis yang mengharuskan Azhary jurusan hadis untuk menghafal Kutubus Sittah, Azhary sejati akan merasa bertanggung jawab dengan amanah ini, yang tidak hanya menghafal tetapi juga menguasai dan memahami apa yang di hafalnya serta kemudian tercermin dalam refleksi kehidupannya.
Al-Azhar yang dulu sempat mewajibkan seluruh mahasiswanya hafal Al-Quran 30 juz baik itu untuk mahasiswa wafidin atau mahasiswa Mesir. Tapi seirama dengan perubahan globalisasi, kebijakan ini diganti. Saat ini, Al-Azhar memberi keringanan kepada wafidin menghafal 1 juz per-tahunnya. Inilah kemerosotan drastis yang tidak kita sadari.
Lantaran banyaknya maddah yang harus dikuasai per-semesternya, hal ini seakan-akan merupakan suatu kewajaran, padahal jika saja kita mau membuka mata dan melihat esensi Al-Quran itu sendiri, kita akan menghadapi banyak kerugian tanpa menghafal Al-Quran. Hal ini disebabkan, Al-Quranmemuat jawaban atas semua permasalahan, terlepas apakah itu butuh kepada penafsiran tertentu atau dapat di pahami secara dhahir.
Lalu, kenapa Al-Azhar tetap membuka Ruwaq (majelis pengajian/talaqqi) di masjid dan tempat lainnya? Inilah metode sesungguhnya yang Rasulullah Saw. praktekkan dalam kehidupan beliau. Selepas shalat, beliau mengambil posisi di sudut masjid untuk menyampaikan wahyu dan risalah Islam kepada para sahabat. Selain untuk menghidupkan masjid, hal ini jelas menunjukkan etika sempurna antara guru dan muridnya.
Dan esensi keilmuan yang masih di pertahankan Al-Azhar sampai sekarang adalah sanad. Sanad berarti silsilah, artinya jika suatu ilmu diperoleh dengan ber-talaqqi langsung kepada syekh pemilik sanad yang bersambung kepada Rasullulah Saw., maka tidak di ragukan lagi keabsahannya.
Kita hidup di zaman serba praktis, ingin mencari suatu hukum misalkan, atau mencari dalil yang menguatkan hukum tersebut, kita tinggal menekan tombol. Informasi dengan mudah kita akses tanpa tahu dan mau tahu apakah informasi tersebut faktual atau hanya pandangan oknum yang ingin memprovokasi kita agar berpihak kepadanya. Atau sebaliknya, kita tidak langsung browsing, akan tetapi mempelajari langsung suatu kitab atau buku secara otodidak tanpa penjelasan dari guru dan para ulama. Ini bisa berakibat fatal karena boleh jadi pemahaman yang kita simpulkan tidak sesuai dengan penulis kitab atau buku.
Mempelajari untuk kemudian didiskusikan adalah hal yang baik. Tapi jangan sekali-kali menganggap remeh sebuah sanad, apalagi beranggapan negatif kepada syekhnya. Abdullah ibnu Mubarak r.a. menyebutkan, “Tanpa sanad, seseorang akan berbicara tentang Islam sesuai kehendaknya.”Sanad salah satu hal paling prinsipil agama Islam. Ilmu-ilmu keislaman diwariskan secara otentik berdasarkan sanad yang jelas hingga kepada Rasulullah Saw. Tanpa sanad, keilmuan Islam sangat rentan terjadi penyimpangan, bahkan bisa terjebak dalam kisah-kisah khayalan.
Baca juga: Siapakah yang Disebut Seorang Azhary Sejati?
Sanad dan hal-hal penting lainnya dalam keilmuan Islam dijaga sangat kuat oleh Al-Azhar selama ratusan tahun aktif dalam mengampanyekan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu, mahasiswa Al-Azhar yang diidamkan masyarakat, terutama masyarakat Islam Indonesia adalah mahasiswa yang mampu menyerap keilmuan Islam dalam proses pendidikan Al-Azhar secara utuh.
Mahasiswa Al-Azhar diminta mampu memperbaiki citra Islam dan mengenalkannya dengan benar. Mereka dituntut peka terhadap permasalahan umat dan menyikapinya dengan cermat sesuai prinsip Azhary Hal ini diharapkan dapat membawa wajah Islam, khususnya Islam Indonesia ke arah lebih baik dan dapat menyelesaikan masalah bangsa tanpa unsur fanatisme apalagi radikalisme.[]
*Penulis adalah mahasiswi tingkat satu Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Mesir.
Posting Komentar