Menjadi Wanita Merdeka atau Wanita Setengah Lelaki
Oleh: Yasmin Thahera Al-Ghazi
Kmamesir.org. 29/12/2016. Pada 18 Maret 2005 lalu, Amina Wadud untuk pertama kali berdiri sebagai imam memimpin pelaksanaan salat Jumat. Ritual ini pun diawali dengan azan yang juga dikumandangkan oleh seorang wanita, Suheila El-Attar. Bagi para aktivis feminis ini merupakan satu langkah besar mewujudkan keadilan yang mereka impikan.
Dalam sejarah manusia, banyak sekali kunci-kunci yang dijadikan sebagai parameter harga diri wanita. Parameter yang paling umum ditetapkan adalah standar “kesepertilelakian”. Kita kerap lupa bahwa Allah telah memuliakan wanita dengan memberinya nilai sesuai dengan hubungannya dengan Tuhan, bukan bagaimana hubungannya dengan lelaki.
Namun para feminis barat menghapus kata Tuhan dari standar kemuliaan wanita. Sehingga tinggallah kelelakian sebagai satu-satunya tolak ukur martabat ini. Jadi, wanita tak akan pernah menjadi manusia seutuhnya hingga ia menjadi seperti standar tersebut; laki-laki.
Ketika laki-laki berambut pendek, wanita pun ikut memangkas pendek rambutnya. Ketika laki-laki melaksanakan salat di saf depan, wanita pun harus demikian. Ketika laki-laki menjadi imam dan khatib salat, wanita tak boleh ketinggalan, dengan anggapan bahwa menjadi imam dan khatib berarti menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Aduhai, lelah sekali menjadi wanita jika demikian.
Wanita Muslimah harusnya tak merendahkan diri mereka sendiri dengan mencemburui laki-laki. Karena wanita dan laki-laki masing-masing telah Allah muliakan dengan kelebihan masing-masing, bukan dengan kesamaan.
Kembali kita kritisi tindakan Amina Wadud tadi. Sesungguhnya pendobrakan syariat yang dilakukan dengan menjadi imam salat Jumat, serta mencampur saf jamaah laki-laki dan wanita bukanlah bentuk kebebasan yang dituntun Islam. Namun itu justru bentuk perbudakan diri, dengan menjadikan kesamaan dengan laki-laki sebagai satu-satunya standar kemuliaan. Akhirnya hal-hal terkait kepemimpinan kerap dikaitkan sebagai tolak ukur kedekatan hamba dengan Tuhan.
Berdiri di saf depan, atau menjadi imam bukanlah indikasi kedekatan seorang hamba dengan Allah. Jika tidak, maka Rasulullah empat belas abad silam tentu akan mendahulukan Ummahat Mukminin seperti Aisyah Ra., atau Hafsah Ra., untuk mengimami salat dan mengisi saf depan, mengingat mereka adalah wanita mulia yang dijamin dengan surga. Namun mereka tak pernah mencontohkannya.
Anehnya lagi, empat belas abad kemudian wanita-wanita feminis ini cemburu melihat laki-laki berdiri sebagai imam salat dan mulai menghantam ketentuan tersebut. Ini tidak adil, mengapa hanya laki-laki yang berhak menjadi imam? Demikianlah alasan yang kerap dikemukakan.
Di sisi lain, hanya wanita saja yang Allah anugerahkan kemampuan untuk menjadi ibu. Hamil, melahirkan dan menyusui tak dapat digantikan oleh laki-laki. Nash-nash naqli pun banyak menukilkan ketinggian posisi ibu dalam Islam. Allah memberikan keistimewaan bagi para ibu dengan menjadikan telapak kakinya sebagai pintu surga bagi anaknya.
Dalam sebuah hadis, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik. Beliau menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu.” Apapun yang dilakukan seorang lelaki, ia tak akan mendapat keistimewaan macam ini. Karena lelah dan sakitnya mengandung, melahirkan dan menyusui hanya bisa diemban oleh wanita.
Lalu mengapa hal ini tidak dikatakan tak adil?
Ketika para sahabat menyebarkan Islam ke suatu wilayah, mereka dengan indahnya berkata, “Kami datang untuk membebaskan kalian dari perbudakan dan penghambaan semu dengan penghambaan diri kepada Tuhan.”
Inilah sebenarnya bentuk hakiki dari kebebasan. Ketika kita membiarkan sesuatu selain Allah sebagai kunci kesuksesan, kebahagiaan, kesedihan, atau harga diri, sesungguhnya kita sedang mengubur diri sendiri dalam perbudakan. Akhirnya kunci tersebut yang akan mengontrol hidup kita. Kunci tersebut akhirnya yang akan menjadi ‘tuan’ kita.
Sebagai wanita, kita tak akan benar-benar merdeka hingga kita berhenti meniru laki-laki. Kita berharga tanpa harus persis sama seperti mereka. Masing-masing pria dan wanita memiliki nilai lebih yang Allah berikan. Jadi merdekalah, dengan menghapus laki-laki sebagai standar ketinggian martabat kita. Karena kemerdekaan seutuhnya adalah dengan penghambaan total kepada Dzat Pencipta kita, Pencipta semesta.
*penulis merupakan mantan editor website Kmamesir.org
Posting Komentar