Imam Al-Ghazali, Hujjatul Islam Penebas Syubhat Ahli Tajsim
Oleh: Alvin Nur, Lc.
Kitab Iljam al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalam merupakan sebuah berlian mahal yang ditulis oleh Hujjat al-Islam az-Zahid al-Qudwah Zain ad-Din Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali (w. 505 H). Kitab ini memiliki faedah yang sangat besar. Kitab ini menyingkap hakikat mazhab salaf yang sebenarnya dan menyingkap syubhat yang didengungkan ahli tasybih dan ahli tajsim (orang yang memfisikkan) Allah Ta'ala.
Sebagaimana yang beliau paparkan pada mukadimahnya, suatu ketika seseorang meminta kepada beliau untuk menyingkap penyimpangan para mujassimah dan musyabbihah. Mereka yang berkeyakinan seperti itu adalah orang-orang bodoh dan juga sesat. Mereka meyakini bahwa Allah memiliki bentuk, tangan, kaki, duduk di atas 'arsy dan lainnya. Dan bahayanya lagi, mereka mengaku bahwa merekalah penganut mazhab salaf. Dari sinilah Imam Al-Ghazali berkeinginan untuk menjelaskan kepada masyarakat umum tentang kebenaran mazhab salaf melalui kitab Iljam al-‘Awam ini.
Biografi
Penulis:
Imam al-Faqih al-Hujjah al-Mujtahid Zain
ad-Din Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, At-Thusi, Asy-Syafi'i. Beliau merupakan hujah Islam dan muslimin,
imamnya para imam agama ini, Radhiyallahu 'anhu wa ardhah.
Al-Imam
dilahirkan tahun 450 H di Thus. Ayahnya merupakan seorang laki-laki yang shaleh
yang selalu menjaga hati dan tangannya dari maksiat. Sehari-hari ia merajut
bulu domba dan menjualnya. Ketika waktu senggang ia mengahadiri majelis ulama
di halakah-halakah mereka untuk belajar fiqih dan mendengar nasehat dari
mereka. Kebiasaan mulia menghadiri mejelis ilmu tersebut berdampak sangat besar
pada anaknya Al-Ghazali yang turut ikut pada mejelis-majelis tersebut.
Imam
al-Ghazali memiliki seorang adik yang bernama Ahmad, Ahmad juga menjadi seorang alim yang memiliki derajat
yang tinggi. Ketika sang ayah hendak meninggal,
ia berwasiat kepada temannya, seorang sufi
yang terkenal kebaikannya, ia berkata, “Sesungguhnya
aku sangat menyesal atas pendidikanku selama ini (walaupun ia rajin ke majelis
ilmu, namun ia merasa masih kurang). Aku tidak ingin itu terjadi kepada kedua anakku ini (Imam Al-Ghazali dan Ahmad), maka ajarilah mereka. Kau boleh menggunakan harta yang aku
tinggalkan untuk mereka”.
Sang temanpun melaksanakan wasiat tersebut
untuk mengajari anak-anak mendiang Syekh Muhammad. Hingga akhirnya habislah
harta kedua anak ini dan ia memohon maaf kepada keduanya karena ia tidak mampu
memberikan keduanya makan. Iapun menyarankan
keduanya belajar di sekolah yang menyediakan
makanan dan pakaian dan merekapun menyetujuinya.
Imam Al-Ghazali
belajar fikih sejak kecil kepada Imam Ahmad bin Muhammad Ar-Radzkani. Kemudian
ia pergi ke Jurjan untuk belajar kepada Imam Abi Nashr Isma'il. Ia juga pergi ke Naisabur untuk menimba ilmu kepada Imam Al-Haramain
Al-Juwaini. Imam Al-Ghazali belajar dengan sangat giat hingga menjadi pakar dalam fikih mazhab Syafi’i, ahli dalam fikih perbandingan mazhab, pakar ilmu jadal, mantik, ushul fikih dan ilmu kalam. Ia juga sangat mendalami ilmu hikmah dan filsafat.
Imam Al-Ghazali
dikenal dengan kejeniusannya. Beliau sangat
teliti dalam mendalami sesuatu dan mempunyai
pengetahuan yang sangat tajam. Gurunya, Imam
Haramain, mensifatinya dengan “Lautan yang
luas”.
Pernah suatu hari Imam Al-Ghazali menghadiri majelis di perkemahan menteri raja. Ketika itu majelis tersebut diisi oleh
para alim. Berdialoglah Imam Al-Ghazali dengan mereka dan beliau mampu
mematahkan setiap argumen mereka sehingga yang hadir mengakui keutamaan Al-Imam. Beliau menjadi sangat dihormati sehingga Menteri
mengangkatnya sebagai pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memintanya untuk pindah kesana.
Ketika tiba
di Baghdad pada tahun 484 H, Al-Imam mengajar di Madrasah An-Nizhamiyah. Semua
yang ada di madrasah tersebut kagum pada kejeniusan Al-Imam. Bicaranya sangat fasih dan mereka pun sangat
menyukainya. Al-Imam
menjadi seorang guru yang sangat dihormati, sangat didengar perkataannya dan
sangat terkenal.
Di dalam
kitab Munqidz min adh-Dhalal, Al-Imam menuturkan, “Setelah aku
mempelajari ilmu-ilmu ini (ilmu fikih, kalam, filsafat dan lainnya), dengan niat
yang mantap aku menempuh jalan sufi, aku mengetahui bahwa tarekat (cara) ini
telah disempurnakan dengan ilmu dan amal.
Adapun tujuan
dari amalan mereka adalah membersihkan diri dari akhlak tercela, sifat yang
buruk, hingga mengosongkan hati dari segalanya kecuali Allah Ta'ala dan
kemudian diisi kembali dengan berzikir kepada-Nya.
Bagiku, ilmu
lebih mudah daripada amal. Maka aku mulai mempelajari ilmu tasawuf ini dengan
membaca kitab mengenai tasawuf, seperti Quut al-Qulub karya Abi
Thalib Al-Makki, karya-karya Harits Al-Muhasibi, Al-Mutafarriqat Al-Ma’tsurah
karya Al-Junaid, tulisan Asy-Syibili, Abi Yazid Al-Bisthami dan lainnya.
Akhirnya aku mendapati bahwa kita tidak akan mencapai hakikat dalam tasawuf
jika hanya membacanya dan mempelajari secara
otodidak. Akan tetapi dibarengi dengan zauq (Rasa
maknawi), hal dan
perbaikan sifat”.
Al-Imam
memiliki banyak karya tulis dari setiap disiplin ilmu. Ini jelas menunjukkan kejeniusan dan ketinggian kedudukan beliau. Kitab-kitab peninggalan beliau diantaranya, Ihya Ulumuddin (Tasawuf), Al-Munqidz min adh-Dhalal (Tasawuf), Bidayah al-Hidayah (Tasawuf), Tahafut al-Falasifah (Filsafat), Al-Mustashfa (Ushul Fikih), Iljam al-'Awwam 'an Ilm al-Kalam (Tauhid), Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Tauhid) dan masih banyak lainnya.
Diantara
perkataan beliau yang masih bisa kita ambil
faedah adalah, “Barangsiapa
yang tidak mempelajari ilmu batin (Tasawuf), aku khawatir ia akan su'ul khatimah. Minimal hal terkecil yang bisa dilakukan membenarkan
ilmu tersebut dan belajar dari ahlinya. Ilmu tidak akan bisa dikuasai oleh orang yang
mempunya dua sifat, yaitu bid’ah dan sombong.
Gurunya, Imam Al-Haramain, memujinya dengan menyebut lautan
yang sangat luas. Muridnya, Imam Muhammad bin Yahya menyebutnya sebagai Imam Syafi'i kedua. Imam Nazhar As'ad Al-Maihini mengatakan, seseorang tidak bisa sampai kepada makrifat
dan keutamaannya Imam Al-Ghazali kecuali ia memiliki akal yang sesempurna
al-Imam.
Al-Imam
melanjutkan perjalanannya ke Syam, mengunjungi
Baitul Maqdis dan tempat lainnya selama hampir 10 tahun. Imam Subki mengatakan, “Al-Imam
mengunjungi daerah-daerah di Syam. Selama disana ia terus melatih dan
menundukkan nafsunya dari segala keburukan. Ia beribadah dengan segala bentuk ketaatan yang
dapat mendekatkan dirinya kepada Allah”.
Selanjutnya ia pulang ke Baghdad dan mengadakan
majelis yang berisikan nasehat. Disana Al-Imam juga mengajarkan magnum opus-nya Ihya 'Ulumuddin. Kemudian ia kembali ke Khurasan dan kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah. Lalu ia kembali
ke Thus dan mengisi waktunya dengan tasawuf, mengkhatamkan Al-Quran dan mengajar
di majelis-majelis, hingga Sang Imam wafat dengan kedudukan yang tinggi. Tidak seorangpun membencinya kecuali
pendengki dan kaum atheis. Tidak ada satupun yang mencelanya
kecuali yang menyimpang dari jalan kebenaran. Beliau -Qaddasallahu Ruhah-
wafat di Thus pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir tahun 505 H.
Diterjemahkan dari kata pengantar dan biografi dalam kitab Iljam al-'Awwam 'an Ilm al-Kalam karya Imam Al-Ghazali.
Posting Komentar