Mata si Kurus
*pemenang juara II el Asyi Award cabang Cerpen pada peringatan HUT 25 el Asyi
Pukul 03.00 malam.
Aku masih menggerayangi alam mimpi, menjelajahi ruang dan waktu yang tak menentu. Bagaimanapun juga itu masih mimpi tentang mata yang sama. Mata yang telah menyerap semua kebahagianku. Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum bahagia sedang tiap malam aku dikejar-kejar dosa.
Di luar gerimis semakin lebat, perlahan tapi pasti hujan deras menyusulnya. Suara guruh bersahutan, yang terakhir berhasil menarikku ke alam nyata.
Aku terbangun. Masih seperti malam-malam sebelumnya juga, berpeluh-peluh dan tersengal. Aku menarik beberapa napas berat sambil mencoba santai. Setelah berhasil menguasai diri, aku berwudu. Lalu kubentangkan sajadah hijau yang baru beberapa minggu lalu kubeli. Tak lama setelahnya aku sudah larut dalam shalat.
Di sujud yang terakhir aku berdoa panjang. Kusampaikan segudang penyesalanku dan betapa aku ingin kembali ke pelukan-Nya. Setelah itu, kusebut semua nama yang memiliki jasa tak terlupa dalam hidupku. Kepada ayah, kepada ibu dan beberapa sahabat baikku. Terakhir, aku memohon ampunan untuk orang-orang yang pernah kuzalimi haknya, aku teringat Si Kurus.
Aku sadar betul siapa aku dan bagaimana seharusnya orang sepertiku berakhir. Tapi aku ingat Ustaz Amir, sang imam mesjid, pernah berkata bahwa orang sepertiku juga punya kesempatan untuk berakhir baik, husnul khatimah istilahnya waktu itu.
Tapi mengingat apa yang sudah kulakukan, rasanya mustahil aku bisa husnul khatimah.
*****
Kutendang-tendang lelaki kurus itu. Ia megap-megap mengambil napas. Salah dia sendiri mau mencampuri urusanku. Ia meraba-raba tanah, mencari kacamatanya yang jatuh saat muka polosnya itu kutunjang.
“Cukup bang… cukup…” dia merengek seperti bayi. Aku meradang.
Setengah jam lalu berlagak jadi pahlawan, sekarang ia merengek-rengek minta ampun. Dasar anjing!!! Kutendang lagi dadanya. Ia terjengkang. Kopiah putihnya terlepas dari kepalanya, rambutnya tersisir rapi. Aku tertawa mengejek.
Kupalingkan muka ke ujung jalan, di sana bocah berseragam yang tadi kupalak masih berdiri ketakutan. Bocah itu hampir saja menyodorkan pecahan lima ribu padaku, kalau saja sampah kampung ini tak menggangguku.
Kuinjak dada Si Kurus, ia tak lagi bersuara. Napasnya sudah satu-satu, aku juga sudah bosan memukulinya. Kurogoh sakunya, ada pecahan sepuluh ribuan dua lembar. Aku tertawa lagi, kucium pecahan bergambar Cut Nyak Dhien itu dengan puas. Aku melangkah pergi.
Sekilas kulihat Si Kurus itu, dadanya naik turun tak keruan. Matanya persis mata bocah tadi, ketakutan dan tersiksa. Sedikit banyaknya hal itu mengintimidasiku, tapi aku memilih tidak peduli. Aku harus segera mengisi perut, lagi pula sudah dua hari tak ada yang menyodorkan rokok. Dua puluh ribu cukuplah.
Beberapa hari setelah kejadian itu, secara misterius aku diserang mimpi buruk. Aku merasa ketakutan dan amat gelisah. Berkali-kali dalam semalam aku harus terbangun, berpeluh-peluh dan sangat ketakutan. Tak peduli seberapa damai pun malam, aku tetap merasa dihantui.
Rasanya apa yang tempo waktu kutatap di mata Si Kurus kini berpindah ke mataku dan mata semua orang yang kutatap, aku seperti melihat bola matanya di mana-mana. Segala sesuatu yang bundar menjelma mata Si Kurus. Aku tak bisa lari.
Kuceritakan apa yang kualami pada Dimas, teman satu kosku. Ia hanya tertawa. Sambil menutupi kepala dengan tudung jaketnya ia berkata, “Ah, kau ini macam banci. Berapa udah lama kau malak orang, hah? Gitu aja kok takot. Aku pernah kuhajar anak SMP sampek sekarat, mungkin pas aku pergi mati dia tu, tapi aku biasa aja.” Ia bangkit berdiri.
Sebelum keluar rumah, ia berbalik, “Kalau kau mau hidup, kau ikut ajalah apa yang sudah kita sepakati, kalo enggak… ya kau mintaklah duet sama ayah kau itu. Jangan sibuk sama istri baru aja dia. Kita butuh uang buat hidup, uang, uang, uang. Hidup atau mati.” Di kalimat terakhir Dimas sengaja mempertegas suaranya.
Dimas ada benarnya, kami memang butuh uang untuk hidup. Setelah bisnis kami bangkrut dan kuliah amburadul, apa lagi pilihan kami agar tetap bertahan di ibukota selain cara-cara haram. Mencari kerja di sini ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami, sia-sia.
Untuk minta uang pada ayah, itu bukan pilihan. Semenjak aku punya ibu tiri, aku tak pernah lagi dihubungi ayah. Aku pun tak berharap dihubunginya. Lagi pula, suaranya sudah muak kudengar.
Bagiku dan Dimas, pulang ke kampung juga sudah tak mungkin. Kami sudah kepalang malu. Kuliah tak tamat, kerja tak ada. Bisa kubayangkan seribu pertanyaan akan dilontarkan masyarakat awam itu. Dalam bayangan mereka yang kerjanya cuma mengangon lembu, hidup di rantau semudah memberi makan lembu setiap sore. Hanya menuntunnya ke padang, lalu tambatkan tali, selesai.
Aku tak sudi mempermalukan diri di sana, apalagi kudengar Rahmi sudah menikah. Tanpa Rahmi, kampung itu hanya akan menambah kepedihanku.
Maka mencopetlah kami, mengompas, mencuri, apasaja yang bisa menyambung napas untuk esok hari. Dimas mengajarkan banyak hal tentang operasi ini padaku, aku belajar dengan cepat.
Maka mulailah hari-hari penuh cerita itu. Di terminal, di angkutan umum, di pasar, dan dimana saja keramaian terlihat, ke situ kami berangkat. Awalnya kami hanya mencopet lalu kabur. Seiring berjalan waktu aksi kami mulai lebih berani. Beberapa kali tertangkap juga mengajarkan kami banyak hal detil yang sering terlewati.
Awalnya hanya membentak dan mengancam, lama-lama tangan ikut bergerak, lalu kaki juga mulai sering terangkat. Aku tak tahu bagaimana awalnya, tapi rasanya ketika menghajar orang-orang itu rasanya sangat menyenangkan. Semakin menderita si korban makin nikmat sensasinya.
Aku dan Dimas bahkan sudah menyepakati jadwal piket, tentu saja dengan komitmen akan menjalankan jadwal sebaik-baiknya. Jika pagi tiba, aku yang bekerja. Nanti jika matahari sudah memerah jam kerjaku usai. Waktu senja itu jatah Dimas yang beraksi. Besok subuh baru dia pulang.
Hari Jumat setiap minggunya kami libur, mengumpulkan pendapatan dan menghitung pengeluaran. Jadilah kami partner in crime.
Lalu tibalah aku pada sore yang aneh itu, saat itu aku baru pulang dari pasar. Karena sedang ada penertiban pasar, maka polisi berkeliaran. Aku tak bisa beraksi, terpaksa aku pulang dengan tangan kosong.
Ketika melewati gang sepi tak jauh dari rumah, kulihat seorang bocah berseragam SD berlawanan jalan denganku. Pikiranku berputar cepat, SD mana yang jam pelajarannya sampai sore? Anak ini pasti tersesat. Aku menoleh ke belakang, takut kalau-kalau ada yang melihat.
Setelah tahu jalanan lenggang, segera kudekati anak itu.
“Anak mana kau dek?” Bentakku.
Ia mendongakkan kepala, wajahnya pucat.
“Abang belum makan dua hari, mintak jajan kau sikit lah.” Kali ini suaraku senagaja kutekan agar tampak menyeramkan.
Dengan cepat bocah itu merogoh sakunya, aku senang ini berjalan mudah. Tapi tanpa kusadari di belakangku sudah ada pemuda kurus itu, ia menarik tangan bocah itu dengan cepat.
“Pulang!!!” katanya singkat.
Bocah itu urung menyerahkan pecahan lima ribu ditangannya, ia berbalik lari sebelum aku sadar apa yang sedang terjadi. Terlalu lelah membuatku tidak fokus. Saat aku menyadari apa yang terjadi, kulihat Si Kurus sudah lari menyusul bocah tadi.
Dengan penuh emosi kukejar dia, terjadilah apa yang terjadi. Habis-habisan kuhajar dia.
Lalu sekarang, aku mulai dihantui bayang-bayangnya. Kemana saja aku bergerak, seakan matanya memperhatikan. Matanya seperti ada di mana-mana.
Karena sudah tak tahan, seminggu setelah kejadian itu aku kembali ke gang itu, berharap bertemu pemuda misterius itu. Aku ingin minta maaf. Tak tahan aku dikejar-kejar bayangan mengerikan itu. Bahkan dua hari lalu sudah kuputuskan untuk meninggalkan Dimas, tentu saja setelah adu mulut yang panjang.
Dari siang aku menunggu pemuda itu lewat, tapi sampai menjelang gelap tak sesiapa kujumpa. Aku sudah sangat gelisah, bagaimana jika si kurus sudah meninggal? Kemana aku harus meminta maaf? Sedangkan tempat tinggalnya aku tak tahu, keluarganya tak ada yang kukenal.
Esoknya aku kembali menunggu di gang itu, besoknya lagi, lagi dan lagi. Sampai beberapa hari sesudahnya aku masih menunggu, tapi ia lenyap. Selama menunggu kemunculannya semakin hari aku semakin gelisah, bahkan rokok tak mampu menenangkanku lagi.
Si Kurus itu benar-benar lenyap, meninggalkan tatapan matanya yang tersiksa dan kesakitan menghantuiku. Sejak saat itu, tak satu malam pun aku tidur nyenyak. Selalu saja aku tersentak dengan tubuh penuh peluh dan napas tersengal-sengal. Mata itu mengawasiku lekat.
*****
Selesai witir aku terpekur lama, lucu rasanya membayangkan hidupku tak lama lagi. Aku mulai sering bertanya pada diriku, bagaimana mungkin secepat ini ajal mau menjemputku? Bahkan umurku belum genap 20 tahun. Bukankah ini masa menikmati hidup? Ketika semua orang sedang menikmati masa mudanya, aku malah dibayangi kematian.
Aku masih ingat betul ketika Dokter Hanung, kawan ayahku dulu, menyampaikan berita petaka itu.
Rasanya ekspresi wajahnya pun aku masih tergambar jelas ketika dia memanggilku ke ruang pribadinya. Mengatakan dengan berat hati bahwa paru-paruku sudah tamat riwayat.
“Ndi, ini memang sedikit berat untuk kita terima. Tapi inilah kehendak Allah, di sini kita tidak memiliki kuasa menolaknya.” Katanya membuka percakapan, aku sudah bisa menebak apa yang kira-kira akan dikatakan selanjutnya.
“Saya benci harus menyampaikan ini… tapi saya harus mengatakannya. Mm, hasil rontgen menunjukkan berita kurang menggembirakan. Maafkan saya, tapi dengan kondisi paru-paru kamu yang sudah teracuni asap rokok sangat susah mendeteksi adanya kanker. Apalagi dengan alat yang tak cukup canggih. Selama ini kami menganggap gejala batuk dan kelelahan berat yang kamu rasakan hanyalah efek dari merokok.” Ia menarik napas panjang, tampak jelas ia gelisah. Aku sudah bersiap untuk kalimat selanjutnya.
“Kamu sudah stadium atas, sel kanker sudah menyebar.” Akhirnya kalimat itu keluar juga. Beliau sengaja tak menyebutkan stadium berapa sebenarnya aku secara spesifik, aku menghargai itu.
Meskipun sudah kupersiapkan diri, tapi ketika mendengarnya langsung tetap saja aku terguncang.
Kata-kata Dokter Hanung selanjutnya mengenai proses pengobatan dan penyembuhan… bukan! Bukan penyembuhan, bagi orang dengan kanker yang sudah menyebar tak ada lagi istilah penyembuhan, hal yang akan kujalani selanjutnya dinamakan paliatif. Ini adalah istilah medis untuk proses pengurangan rasa sakit dan perpanjangan umur pada penderita kanker ganas.
Tak kuperhatikan lagi kata-katanya, aku sudah membayangkan hal lain. Mata itu pasti punya andil besar dalam penderitaanku ini. Aku menelan karma. Kupikir selama ini batuk berdarah, nyeri di bagian dada dan kesulitan bernapas yang kurasakan hanyalah sakit biasa, tak seserius ini.
Aku paham betul seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk proses paliatif itu. Bahkan untuk sampai ke tahap ini saja aku sudah berutang kemana-mana. Untuk biaya administrasi, kata petugas rumah sakit. Dan lagi, kalau saja tanpa bantuan Dokter Hanung, bahkan untuk melewati pintu administrasi itu aku tak mampu. Maka dengan kondisi ekonomiku yang mengerikan itu, aku hanya punya satu pilihan; menunggu mati.
Maka disinilah aku, termenung di penghujung malam, menyesali masa laluku. Kenapa tak jadi lelaki baik saja aku? Kenapa harus jalan haram yang kupilih?
Meskipun saat ini aku sudah bertaubat, tapi kegelisahanku tak kunjung reda. Bahkan ketika shalat malam begini, aku merasa diawasi. Sungguh angker membayangkan diriku mati dalam kegelisahan, lalu di hari kiamat nanti dilemparkan ke dalam kerak neraka. Berdaki-daki bersama para pendosa.
Tapi aku harus bagaimana? Aku ‘kan sudah bertaubat? Kenapa aku masih gelisah? Bukankah seharusnya aku sudah layak berada di surga?
Ah, aku masih terbayang mata Si Kurus.
*****
Posting Komentar