Permata yang Retak
Google Image |
Fajar menjelang sebentar lagi. Aku masih saja mematung di atas hamparan sajadah merah bergambar Ka'bah. Kedua tangan menopang dagu menatap ke arah gambar dinding Ka'bah itu. Kucoba memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya perlahan namun percuma. Rasa sesak di dada belum juga reda.
Kejadian tadi sore masih terperangkap dalam ingatan. Seandainya tidak ada pembicaraan kelanjutan kisah cinta kami ke arah makin serius. Seharusnya aku tidak mengajukan pertanyaan itu.
Sejujurnya, separuh hatiku masih mencintainya namun sebagian yang lain tak setuju serta menolak untuk terus melanjutkan cerita ini ke arah lebih serius. Pernikahan. Sikapnya tadi sore membuatku begitu terpukul.
Reaksinya membuatku tersentak seakan tak percaya apa telah terjadi. Syok, terkejut bukan kepalang, ternyata selama ini ada rahasia besar yang tersembunyikan dan ia tutupi. Aku merasa tak yakin bisa mempertahankan perasaan ini dan aku harus melupakannya. Sekarang.
******
"Nama kakak saya ini Permata Ustad," kata Aman saat sesosok gadis dengan balutan hijab merah jambu keluar membawa dua gelas teh manis dan sepiring gorengan.
"Silakan Ustad, teh dan gorengannya dicicipi," ujarnya sopan dengan senyum mengembang diapit dua lesung pipi manis di parasnya. Aku segera membalas senyumnya.
"Iya, makasih banyak."
Selama sebulan aku bertugas menjadi guru privat Aman untuk mendongkrak nilai-nilai pelajaran di sekolahnya. Anak itu baru memasuki kelas enam sekolah dasar. Sang ibu ingin agar nilainya ini meningkat dan lulus dengan nilai memuaskan di ujian akhir. Namun selain pelajaran sekolah Aku juga mengajar Aman mengaji dan Bahasa Arab, hingga ia memanggilku ustad.
Awalnya aku tidak terlalu memedulikan kakak Aman, Permata. Selain mengajar kontrak di salah satu pesantren dan menjadi guru privat di beberapa rumah, aku terlalu disibukkan dengan tesis yang hampir rampung. Tidak ada waktu untuk memikirkan cinta apalagi Permata, hingga pada akhirnya sebuah sms masuk ke handphone-ku dari nomor tak kukenal.
"Assalamualaikum ustad, gimana perkembangan Aman"
"Alhamdulillah Bu, Aman sekarang sudah lumayan bagus bacaan Al-Qur'annya dan tahun depan mungkin sudah bisa diterima di pesantren favoritnya," balasku. Tak ada dugaan lain karena nomor handphone-ku cuma kuberikan pada bocah itu dan ibunya.
"Maaf Ustad, ini Permata. Kakaknya Aman."
Sejak itulah Permata mulai masuk dalam kehidupanku. Ia mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi negeri yang juga sedang berjuang dengan skripsinya. Persamaan ini membuat kami mudah menjadi dekat. Terkadang Ia menjadi sering mengantarku hingga ke pintu gerbang rumahnya setelah selesai mengajar. Sering kali setelah berada di halaman rumah kami bercerita lumayan lama sambil berdiri hingga suara Aman menegur kami.
"Sudah kak, Pak Ustad sudah terlalu lelah besok disambung lagi!" Begitu teriak Aman menggoda kakaknya dari depan pintu.
Tiap hari ia mulai menanyakan kabarku dan beragam pertanyaan lain tentang aktivitasku. Meminta nasihatku untuk skripsinya ataupun menyemangatiku. Membaca sms dan membalas pesannya sudah menjadi kebiasaan baru yang kusukai tanpa sadar.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya perasaan itu tumbuh dan kuat juga. Satu hal telah kusadari. Aku tak bisa lagi menyembunyikan dorongan perasaan yang tak biasa saat bertemu dengannya. Aku mencintainya. Gayung bersambut, ia juga mempunyai perasaan yang sama saat kuutarakan isi hatiku ini. Aku mencintainya tapi tetap tidak ada istilah pacaran dalam kamus kehidupanku. Jika waktunya sudah tepat aku akan melamarnya dan menikahinya. Ia pun memahaminya. Sejak saat itu ia kuminta tak lagi memanggilku ustad.
Waktu terus berjalan, sebisa mungkin aku menjaga jarak dengannya. Seperti saat ia minta ditemani ke perpustakaan mencarikan buku untuk skripsinya. Aku menolaknya tapi keesokan harinya aku membawa 3 buku yang dibutuhkan untuk skripsinya. Aku khawatir ajakannya membawaku kepada proses pacaran.
Sore itu pun tiba. Sore yang tak pernah kuduga akan menjadi sore paling menyakitkan dalam kehidupan asmaraku dengannya. Sore itu seharusnya aku mengajar seperi biasa, kondisi Aman yang terbaring lemas di tempat tidur lantaran demam menyurutkan niatku. Permata meminta maaf tak mengabariku soal kondisi adiknya terlebih dulu.
Ia mengajakku menuju teras rumah. Kami duduk bersisian di atas dua kursi berbeda yang dipisahkan sebuah meja kecil. Ada dua gelas teh manis yang terhidang, seperti biasanya.
Ia bercerita banyak tentang teman-teman dan kampusnya. Aku juga mengajukan banyak pertanyaan karena memang banyak hal yang ingin kuketahui tentang dirinya. Segala hal tentang gadis itu yang telah membuat hatiku bergejolak tiap bertemu dengannya. Aku ingin hubungan ini mengarah ke arah seharusnya. Pernikahan. Kemudian sampailah arah pertanyaan ke hal tak terduga.
"Permata pernah pacaran?" Sudah sangat lama aku ingin bertanya seperti ini.
"Pernah Bang, cuma sekali."
"Waktu pacaran dulu gimana Permata?" Tanyaku lagi.
"Biasa Bang, jalan-jalan. Pegang-pegangan tangan…" suaranya terhenti. Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu melanjutkan. "Terkadang ciuman."
Sikapnya makin membuatku penasaran. Dengan sedikit tercekat, aku bertanya lagi, "Maaf Permata, bukan bermaksud berpikiran kotor. Jujur, pernah nggak Permata melakukan hal yang lebih dari itu?"
Ia diam sebentar. Menggangguk pelan, lalu tangisnya pecah tak tertahankan. Air matanya mengalir deras membentuk aliran sungai raksasa di pipinya yang kemerah-merahan. Tak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya. Hanya ada suara tangis yang menyayat hati. Itulah jawabannya.
Aku terkejut, syok. Tak pernah terlintas di pikiranku akan melihat reaksi Permata yang membuatku terdiam kaku. Udara segar sore itu seakan tercemar dengan beragam polusi. Sulit bagiku bernafas saat itu. Kami terdiam membatu, hanya terdengar tangis Permata yang tersendat-sendat. Air matanya terus mengalir deras dan makin tak terbendung saat aku minta izin pulang.
Suasana jalanan Banda Aceh sore itu seperti suasana hatiku, panas, macet dan gaduh dengan bermacam-macam bunyi klakson kendaraan. Tidak, suasana hatiku lebih parah. Setidaknya tidak terjadi kecelakaan lalu lintas sore itu, beda dengan hatiku. Remuk berantakan.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari mendengar tangis penyesalan Permata. Memang benar, Umar bin Khattab yang hampir membunuh Rasulullah-pun akhirnya menjadi pembela Rasulullah yang paling tegas bahkan beliau dimakamkan berdampingan dengan Rasul. Tapi bukan untukku, aku belum siap menerima kenyataan ini. Inilah salah satu alasan mengapa aku membenci pacaran model anak zaman sekarang.
Bagaimana mungkin untuk menjaga hal yang paling penting dari seorang wanita itu ia tidak bisa. Jodoh memang rahasia terbesar Tuhan, tapi kita juga diberikan pilihan untuk memilihnya Adakah yang menginginkan permata yang retak? Kalaupun ada, itu bukanlah diriku, maaf.
Kejadian tadi sore masih terperangkap dalam ingatan. Seandainya tidak ada pembicaraan kelanjutan kisah cinta kami ke arah makin serius. Seharusnya aku tidak mengajukan pertanyaan itu.
Sejujurnya, separuh hatiku masih mencintainya namun sebagian yang lain tak setuju serta menolak untuk terus melanjutkan cerita ini ke arah lebih serius. Pernikahan. Sikapnya tadi sore membuatku begitu terpukul.
Reaksinya membuatku tersentak seakan tak percaya apa telah terjadi. Syok, terkejut bukan kepalang, ternyata selama ini ada rahasia besar yang tersembunyikan dan ia tutupi. Aku merasa tak yakin bisa mempertahankan perasaan ini dan aku harus melupakannya. Sekarang.
******
"Nama kakak saya ini Permata Ustad," kata Aman saat sesosok gadis dengan balutan hijab merah jambu keluar membawa dua gelas teh manis dan sepiring gorengan.
"Silakan Ustad, teh dan gorengannya dicicipi," ujarnya sopan dengan senyum mengembang diapit dua lesung pipi manis di parasnya. Aku segera membalas senyumnya.
"Iya, makasih banyak."
Selama sebulan aku bertugas menjadi guru privat Aman untuk mendongkrak nilai-nilai pelajaran di sekolahnya. Anak itu baru memasuki kelas enam sekolah dasar. Sang ibu ingin agar nilainya ini meningkat dan lulus dengan nilai memuaskan di ujian akhir. Namun selain pelajaran sekolah Aku juga mengajar Aman mengaji dan Bahasa Arab, hingga ia memanggilku ustad.
Awalnya aku tidak terlalu memedulikan kakak Aman, Permata. Selain mengajar kontrak di salah satu pesantren dan menjadi guru privat di beberapa rumah, aku terlalu disibukkan dengan tesis yang hampir rampung. Tidak ada waktu untuk memikirkan cinta apalagi Permata, hingga pada akhirnya sebuah sms masuk ke handphone-ku dari nomor tak kukenal.
"Assalamualaikum ustad, gimana perkembangan Aman"
"Alhamdulillah Bu, Aman sekarang sudah lumayan bagus bacaan Al-Qur'annya dan tahun depan mungkin sudah bisa diterima di pesantren favoritnya," balasku. Tak ada dugaan lain karena nomor handphone-ku cuma kuberikan pada bocah itu dan ibunya.
"Maaf Ustad, ini Permata. Kakaknya Aman."
Sejak itulah Permata mulai masuk dalam kehidupanku. Ia mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi negeri yang juga sedang berjuang dengan skripsinya. Persamaan ini membuat kami mudah menjadi dekat. Terkadang Ia menjadi sering mengantarku hingga ke pintu gerbang rumahnya setelah selesai mengajar. Sering kali setelah berada di halaman rumah kami bercerita lumayan lama sambil berdiri hingga suara Aman menegur kami.
"Sudah kak, Pak Ustad sudah terlalu lelah besok disambung lagi!" Begitu teriak Aman menggoda kakaknya dari depan pintu.
Tiap hari ia mulai menanyakan kabarku dan beragam pertanyaan lain tentang aktivitasku. Meminta nasihatku untuk skripsinya ataupun menyemangatiku. Membaca sms dan membalas pesannya sudah menjadi kebiasaan baru yang kusukai tanpa sadar.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya perasaan itu tumbuh dan kuat juga. Satu hal telah kusadari. Aku tak bisa lagi menyembunyikan dorongan perasaan yang tak biasa saat bertemu dengannya. Aku mencintainya. Gayung bersambut, ia juga mempunyai perasaan yang sama saat kuutarakan isi hatiku ini. Aku mencintainya tapi tetap tidak ada istilah pacaran dalam kamus kehidupanku. Jika waktunya sudah tepat aku akan melamarnya dan menikahinya. Ia pun memahaminya. Sejak saat itu ia kuminta tak lagi memanggilku ustad.
Waktu terus berjalan, sebisa mungkin aku menjaga jarak dengannya. Seperti saat ia minta ditemani ke perpustakaan mencarikan buku untuk skripsinya. Aku menolaknya tapi keesokan harinya aku membawa 3 buku yang dibutuhkan untuk skripsinya. Aku khawatir ajakannya membawaku kepada proses pacaran.
Sore itu pun tiba. Sore yang tak pernah kuduga akan menjadi sore paling menyakitkan dalam kehidupan asmaraku dengannya. Sore itu seharusnya aku mengajar seperi biasa, kondisi Aman yang terbaring lemas di tempat tidur lantaran demam menyurutkan niatku. Permata meminta maaf tak mengabariku soal kondisi adiknya terlebih dulu.
Ia mengajakku menuju teras rumah. Kami duduk bersisian di atas dua kursi berbeda yang dipisahkan sebuah meja kecil. Ada dua gelas teh manis yang terhidang, seperti biasanya.
Ia bercerita banyak tentang teman-teman dan kampusnya. Aku juga mengajukan banyak pertanyaan karena memang banyak hal yang ingin kuketahui tentang dirinya. Segala hal tentang gadis itu yang telah membuat hatiku bergejolak tiap bertemu dengannya. Aku ingin hubungan ini mengarah ke arah seharusnya. Pernikahan. Kemudian sampailah arah pertanyaan ke hal tak terduga.
"Permata pernah pacaran?" Sudah sangat lama aku ingin bertanya seperti ini.
"Pernah Bang, cuma sekali."
"Waktu pacaran dulu gimana Permata?" Tanyaku lagi.
"Biasa Bang, jalan-jalan. Pegang-pegangan tangan…" suaranya terhenti. Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu melanjutkan. "Terkadang ciuman."
Sikapnya makin membuatku penasaran. Dengan sedikit tercekat, aku bertanya lagi, "Maaf Permata, bukan bermaksud berpikiran kotor. Jujur, pernah nggak Permata melakukan hal yang lebih dari itu?"
Ia diam sebentar. Menggangguk pelan, lalu tangisnya pecah tak tertahankan. Air matanya mengalir deras membentuk aliran sungai raksasa di pipinya yang kemerah-merahan. Tak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya. Hanya ada suara tangis yang menyayat hati. Itulah jawabannya.
Aku terkejut, syok. Tak pernah terlintas di pikiranku akan melihat reaksi Permata yang membuatku terdiam kaku. Udara segar sore itu seakan tercemar dengan beragam polusi. Sulit bagiku bernafas saat itu. Kami terdiam membatu, hanya terdengar tangis Permata yang tersendat-sendat. Air matanya terus mengalir deras dan makin tak terbendung saat aku minta izin pulang.
Suasana jalanan Banda Aceh sore itu seperti suasana hatiku, panas, macet dan gaduh dengan bermacam-macam bunyi klakson kendaraan. Tidak, suasana hatiku lebih parah. Setidaknya tidak terjadi kecelakaan lalu lintas sore itu, beda dengan hatiku. Remuk berantakan.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari mendengar tangis penyesalan Permata. Memang benar, Umar bin Khattab yang hampir membunuh Rasulullah-pun akhirnya menjadi pembela Rasulullah yang paling tegas bahkan beliau dimakamkan berdampingan dengan Rasul. Tapi bukan untukku, aku belum siap menerima kenyataan ini. Inilah salah satu alasan mengapa aku membenci pacaran model anak zaman sekarang.
Bagaimana mungkin untuk menjaga hal yang paling penting dari seorang wanita itu ia tidak bisa. Jodoh memang rahasia terbesar Tuhan, tapi kita juga diberikan pilihan untuk memilihnya Adakah yang menginginkan permata yang retak? Kalaupun ada, itu bukanlah diriku, maaf.
Posting Komentar