Menafsirkan Kembali Paham Relativisme Tafsir
google image |
Oleh: Hasan Basri Usman, MA
“No method of Quranic exegesis fully objectives. Each exegete makes some subjective choice” (Tak ada metode penafsiran al-Quran yang sepenuhnya obyektif. Setiap tafsir selalu membuat pilihan-pilihan yang subyektif).
Paragraph diatas merupakan cuplikan wacana yang digulirkan oleh kaum liberal untuk menyerang tafsir al-Quran, baik di lakukan oleh orientalis maupun orang-orang Islam sendiri yang pemikirannya telah terpengaruh oleh pemikiran barat. Hal ini dilakukan dengan maksud menjauhkan umat Islam dari pemahaman terhadap al-Quran yang benar. Sehingga dengan demikian umat Islam akan hilang kepekaannya terhadap segala media interpretasi al-Quran yang menjadi penopang dan penjelas terhadap al-Quran.
Paham relativisme adalah suatu paham yang menolak adanya kebenaran mutlak. Kebenaran yang ada semuanya ralatif, bisa jadi benar menurut satu orang dan salah menurut orang lain, atau bisa jadi benar menurut satu kelompok dan salah menurut kelompok yang lain.
Manusia tidak mampu melahirkan sebuah kebenaran yang absolut. Karena manusia berada pada tataran makhluk yang hanya mengetahui kebenaran absolut yang datang (bersumber) dari Tuhan dan tanpa mampu melahirkannya. Kebenaran yang mutlak (absolut) hanyalah milik Tuhan semata.
Berangkat dari pemahamn seperti ini, maka kelompok ini (kaum relativis) menganggap, bahwa segala interpretasi yang di lakukan terhadap teks (nash) tidak ada yang objektif, dan setiap interpretasi terhadap al-Quran selalu berada pada tataran subyektif.
Oleh karena itu semua karya tafsir yang di hasilkan oleh ulama zaman dulu hingga sekarang bisa di interpretasi ulang karena tidak ada yang mutlak kebenaran interpretasinya. Selain itu mereka menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menafsirkan al-Quran sesuai dengan keinginannya.
Pemahaman seperti ini sengaja di populerkan agar kaum muslimin keluar dari pemahaman Islam yang benar, bahkan mereka menuduh bahwa orang yang masih berpegang pada metode tafsir klasik yang telah dirumuskan oleh ulama terdahulu adalah sebagai golongan yang anti terhadap kemajuan dan anti terhadap pembaharuan.
Akibatnya mereka juga menghina dan mencela ulama-ulama dahulu yang telah meletakkan pondasi metodelogi yang kuat seperti Imam at-Tabari, Imam ibnu kastir, Imam al-Syafi’i (yang dikenal sebagai orang yang meletakkan kaidah usul fiqh dan juga di kenal sebagai mufassir) serta lainnya yang telah berjasa meletakkan kaidah-kaidah usul fiqh dan kaidah ilmu tafsir yang telah di pakai berabad-abad.
Pemahaman seperti ini akan meruntuhkan pondasi-pondasi akidah yang telah mapan bahkan akan merobohkan Islam itu sendiri. Karena semua orang akan menganggap bahwa Islam bukanlah agama yang paling benar, karena paham ini menyakini bahwasanya semua agama benar.
Semua tafsir al-Quran bukanlah tafsir yang mutlak kebenarannya karena ia ditafsirkan oleh manusia yang berada pada tataran makhluk yang relativ dan manusia tidak mampu mengetahui maksud Tuhan yang sebenarnya. Artinya, kalau semua manusia mempunyai pemahaman seperti ini maka tidak ada lagi orang yang bisa dipegang pembicaraanya, tidak ada lagi nilai-nilai nasehat yang diucapkan oleh para ulama, tidak akan berfungsi lagi para dokter yang mendiagnosa orang sakit. Karena orang sakit tidak boleh menyakini hasil diagnosa para dokter tersebut.
Kerancuan Paham Relatifisme Terhadap Tafsir Al-Quran
Hasan Basri, MA |
Dalam menafsirkan al-Quran, para mufassir dituntut menguasai beberapa macam ilmu agar dapat menafsirkan al-Quran sesuai dengan kaidah Islam. Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah yang mapan untuk menafsirkan al-Quran, seperti imam al-Sayuti, Ia menulis dalam bukunya “al-Itqan” satu bab khusus yang memuat syarat-syarat seseorang boleh menafsirkan al-Quran.
Hal ini di lakukan agar kita tidak sewenang-wenang menafsirkan al-Quran. Selain itu metodologi yang digunakan pun harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. karena Rasulullah adalah orang yang paling mengetahui tentang al-Quran, begitu juga harus sesuai dengan kaidah para sahabat.
Karena mereka adalah orang-orang yang menyaksikan secara langsung turunnya al-Quran, mereka mengetahui dimana, kapan dan kenapa di turunkan al-Quran. Begitu juga harus sesuai dengan kaedah-kaedah penafsiran yang telah di lakukan oleh para tabi’in dan tabi’ tabi’in karena mereka telah mendengar langsung dari para sahabat.
Berbeda halnya dengan penafsiran para ulama klasik (pertafsiran yang sesuai dengan kaidah), para pengusung paham relativisme kini telah mewacanakan paham interpretasi al-Quran yang sama sekali bertolak belakang dengan maksud al-Quran itu sendiri.
Bagi pengusung paham ini yang paling penting dalam menafsirkan al-Quran adalah melihat konteks sosial budaya-nya dan bukan pada nash (teks). Artinya nash bisa di pahami apabila konteksnya bisa di pahami dengan baik dan benar.
Paham seperti ini akan membolak-balikkan pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran. Contonya, dalam al-Quran Allah telah mengharamkan khamar, zina, berjudi. Dan Allah mewajibkan syahadat, shalat lima waktu, menutup aurat, melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan serta lain sebagainya.
Semua dalil-dalil yang berbicara tentang hal tersebut merupakan dalil-dalil qat’i stubut. Apabila hukum tersebut di pahami sebagaimana yang mereka inginkan, maka yang terjadi adalah semua hukum yang sudah qat’i harus di tinjau kembali karena semua itu belum final, sebab konteks sosial budaya ketika al-Quran diturunkan 14 abad silam tidaklah sesuai dengan konteks sosial budaya zaman sekarang, maka ayat-ayat yang berbicara tentang hukum syariat meskipun qat’i haruslah ditafsirkan ulang agar sesuai dengan konteks zaman sekarang.
Sungguh menempatkan kontektual (realitas sosial dan budaya) sebagai faktor penting dalam menafsirkan nash sangatlah tidak sejalan dengan metode penafsiran al-Quran yang benar. Karena konteks sosial budaya merupakan sesuatu yang selalu berubah setiap saat. Oleh karena itu yang terpenting untuk didahulukan adalah realitas sosial dan budaya yang harus di sesuaikan dengan al-Quran, karena kebenaran al-Quran itu tetap dan tidak pernah berubah-ubah.
Selain itu al-Quran turun bukan untuk mengikuti kebudayaan yang ada saat itu, akan tetapi al-Quran diturunkan untuk merubah budaya jahiliyah saat itu menjadi budaya yang berperadaban. Al-Quran turun mengharamkan khamar yang menjadi kebiasaan orang arab jahliyah, mengharamkan berjudi, mengharamkan zina. Al-Quran juga turun mensyariatkan wanita untuk menutup aurat.
Haramnya minum khamar, zina dan judi tidaklah di peruntukkan untuk orang arab saja meskipun ayat al-Quran turun di Arab. Begitu juga hukum wajib menutup aurat (memakai jilbab) juga tidak di khususkan untuk wanita-wanita Arab saja, dengan alasan memakai jilbab adalah budaya mereka dan konteks sosial pada masa itu menuntut mereka untuk menutup aurat.
Tentu tidak bisa kita mengambil kesimpuan demikian, karena larangan minum khamar, berzina, berjudi dan perintah menutup aurat tidaklah terikat dengan konteks sosial dan budaya pada saat itu. Perintah dan larangan tersebut diperuntukkan untuk semua generasi tanpa memandang sosial budaya sebuah generasi.
Selain itu mereka juga beranggapan bahwa semua produk tafsir adalah relatif, tidak mutlak kebenarannya. Karena tafsir merupakan produk akal manusia yang sifatnya terbatas dan bisa saja keliru. Dengan demikian, menurut paham ini tidak ada sebuah penafsiran-pun yang sifatnya qath’i, dan tidak ada kebenaran yang tetap, semuanya bersifat relatif dan semuanya zhanni.
Argumentasi seperti ini sangatlah tidak beralasan, karena jika pengusung paham ini menyatakan bahwa semua produk tafsir adalah relative, karena di hasilkan oleh akal manusia yang terbatas, maka pernyataan mereka juga bersifat relative. Karena paham relativisme ini juga hasil produk pemikiran manusia. Ini adalah salah satu alasan kenapa argumentasi mereka dianggap tidak beralasan.
Adapun alasan lain adalah akal manusia jelas bisa menjangkau hal yang mutlak, tentu saja dalam batasan akal manusia. Artinya akal manusia bisa meyakini kebenaran yang satu. Tidak bisa dibenarkan kalau akal manusia selalu berbeda dalam semua hal. Buktinya para ulama tafsir dari dulu hingga sekarang tidak pernah berbeda dalam menfasirkan ayat-ayat tentang haramnya hukum berzina, minum khamar, dan berjudi.
Begitu juga dalam menafsirkan ayat-ayat yang mewajibkan wanita menutup aurat, para mufassir tidak pernah berbeda antara satu dengan yang lain ketika menafsirkan ayat tersebut. Selain itu, ulama tafsir juga tidak pernah berbeda dalam menafsirkan ayat pertama dalam surat al-Ikhlas, bahwa Allah itu Esa.
Para mufassir tidak pernah berbeda dalam menafsirkan ayat 72 dalam surat al-Maidah sehingga mengatakan bahwa Tuhan itu adalah al-Masih. Dan para mufassir pun sepakat bahwa nabi Muhammad adalah penerima wahyu yang pasif dan Dia tidak pernah bertindak kecuali dengan perintah Allah. “Dan tiadalah yang di ucapkan itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapa itu tiada lain wahyu yang diwahyukan kepadanya”. Jadi penggunaan paham relativisme dalam memahami ayat-ayat al-Quran adalah mutlak sebuah kesalahan dan harus diluruskan.
Konsekwensi Paham Mutlaknya Kenisbian Tafsir al-Quran
Klaim bahwa semua produk tafsir yang dihasilkan ulama semuanya nisbi (relatif) merupakan klaim yang tidak beralasan. Klaim seperti ini akan melahirkan dampak negatif yang sangat besar terhadap keberadaan al-Quran sebagai wahyu yang turun dari Allah lafdhan wa ma’nan. Dan juga akan berdampak terhadap kedudukan nabi Muhammad sebagai seorang rasul yang menerima wahyu dari Allah untuk dijelaskan kepada ummat-Nya, bahkan akan berdampak negatif terhadap Islam itu sendiri.
Diantara dampak negatif terhadap al-Quran adalah: Pertama, paham seperti ini akan menyeret kita pada pengertian bahwa tidak ada penafsiran yang tetap dan pasti di semua ayat-ayat al-Quran. Bahkan semua tafsir telah dianulir oleh kepentingan si penafsir. Kedua, kebenaran yang ada dalam al-Quran hanya milik Tuhan saja.
Manusia tidak pernah mampu mengetahui kebenaran yang pasti dari isi al-Quran tersebut, karena manusia tidak pernah mampu mengetahui maksud Tuhan secara pasti yang terkandung dalam al-Quran. Ketiga, semua umat manusia bisa menafsirkan al-Quran menurut kemauannya sendiri, karena setiap individu tidak bisa menyakini kebenaran yang di sampaikan oleh orang lain yang sifatnya nisbi (relatif).
Diantara dampak negatif terhadap kedudukan nabi Muhammad Saw. sebagai rasul adalah: Pertama, paham ini beranggapan bahwa nabi Muhammad Saw. bukanlah sebagai seorang rasul yang diutus untuk menjelaskan kepada umatnya maksud dari wahyu yang diturunkan kepada-Nya, karena Dia sejajar dengan manusia lain yang tidak mutlak kebenaran yang di sampaikannya.
Kedua, dalam menjelaskan wahyu yang turun kepada umat-Nya, Dia dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan juga psiko-sosial pada saat itu, dan bukan semata-mata kebenaran yang datangnya dari Allah Swt.
Adapun dampak negatif terhadap Islam itu sendiri adalah: Pertama, paham ini akan menghilangkan keyakinan akan kebenaran dalam Islam yang sudah final. Kedua, paham ini akan menempatkan agama Islam sebagai agama yang hukumnya selalu berubah-ubah dan sebagai agama sejarah yang harus mengikuti zaman.
Dengan demikian, memutlakkan kenisbian tafsir al-Quran bisa sangat berbahaya, karena berpotensi besar merobohkan ajaran-ajaran Islam yang sudah kokoh dan final. Bahkan itu sama artinya kita membubarkan Islam secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kita sebagai akademi Muslim seyogyanya sadar dan paham akan besarnya paham seperti ini, dan jangan sampai lahir dari diri kita sikap tidak peduli terhadap wacana kontemporer yang ingin menghancurkan Islam yang dibalut dengan bahasa-bahasa yang ilmiah, atau bahkan sekedar ikut-ikutan dengan tradisi kaum liberal yang diadopsi dari Barat. Wallahua’lam bissawaab.
*Tulisan ini sudah di muat pada Jurnal Seumike Dept. Pendidikan KMA, Edisi Perdana, 2010.

Posting Komentar