Fikih, Fatwa dan Qadhak
*Oleh: Mukhlis Hasballah, Lc.*
Dalam berakidah,
beribadah dan bermuamalah, Islam sudah menetapkan tata pelaksanaannya tersendiri
yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis, sehingga kalau pelaksanaanya sesuai dengan
perintah maka layak disebut ibadah dan berhak mendapatkan ganjaran disisi Allah
Swt.
Perkara
akidah adalah perkara yang sangat sakral, karena bersandarkan pada dalil-dalil qat’i.
Hal ini yang menyebabkan tidak diperbolehkan sedikitpun berbeda paham dalam hal
ini. Adapun perkara ibadah (fikih) sedikit lebih elastis, seperti kata para ulama
“al-fiqhu min bab al-dhunun”. Akan tetapi tetap saja tidak boleh menerka-nerka
dalam pengamalannya. Ia tetap harus disinkronkan dengan praktek mazhab yang
muktabar.
Dengan
kata lain praktek ibadah sebaiknya harus punya lisensi yang bisa dipertanggungjawabkan,
sehingga apa yang diamalkan dan diucapkan sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Hadis.
Maka dalam hal ini mazhab muktabar memiliki lisensi tersebut yang menghubungkan
setiap perkataan mereka dengan perkataan Rasulullah Saw. dan sahabat.
Dimensi Hukum
Pengertian
Fikih adalah al-ilmu bi al-ahkam asy-syar’iyah al-amaliyah al-muktasabah min adillatiha at-tafshiliyah. Fatwa adalah bayan
hukmu asy-syar’i biduni ilzam. Sedangkan Qadhak adalah bayan hukmu
syari’ bi ilzam.
Ada
kalanya hukum fikih bisa bergeser menjadi hukum fatwa, demikian juga hukum
fikih dan fatwa bisa bergeser menjadi hukum qadhak. Pergeseran yang saya
maksud adalah pergeseran atas landasan yang sah secara syar'i, yang terikat dengan
kondisi tersendiri dan hanya dipahami oleh mujtahid fatwa.
Perbedaan
antara fikih, fatwa dan qadhak sering salah diartikan oleh orang awam bahkan
pelajar ilmu agama sekalipun. Ketiganya punya dimensi dan pelaksanaan yang
berbeda-beda. Akibat yang paling fatal yang ditimbulkan dari kesalahan memahaminya
berujung pada salah kaprah dalam memahami hukum dan menuduh tanpa alasan.
Singkatnya
hukum fikih tidak sama dengan hukum fatwa dan keduanya juga tidak sama dengan hukum
qadhak, walaupun peristiwa atau perbuatan yang dihukumi adalah hal sama.
Masing-masing punya sudut pandang dan ketentuan yang berbeda, bahkan konsekuensinya
juga berbeda.
Ketentuan
Fikih, Fatwa dan Qadhak
Dalam pengertian
lebih dekat:
Fikih adalah hukum-hukum yang sudah termaktub di
dalam kitab mazhab yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis.
Fatwa adalah hukum yang dikeluarkan oleh Mufti. Fatwa ini bisa lahir apabila ada komponen berikut; adanya mustafti (penanya), adanya Mufti –yang memenuhi kriteria ijtihad-, dan adanya masalah yang dialami mustafti.
Fatwa adalah hukum yang dikeluarkan oleh Mufti. Fatwa ini bisa lahir apabila ada komponen berikut; adanya mustafti (penanya), adanya Mufti –yang memenuhi kriteria ijtihad-, dan adanya masalah yang dialami mustafti.
Sedangkan
Qadhak adalah hukum yang dikeluarkan oleh hakim (pemegang wewenang
tertinggi pemerintahan).
Namun harus
kita yakini bahwa ketiga-tiganya punya peran sebagai bayan hukmu asy-syar’i.
bedanya, fikih adalah hukum dalam kondisi stabil, sedangkan fatwa adalah hukum
dalam kondisi dharuri (yang membolehkan keluar dari kondisi stabil) dan tidak
ilzam (wajib untuk dilaksanakan), sedangkan hukum qadhak berlaku ketika
kondisi dharuri dan mengharuskan untuk ilzam.
Keputusan Hakim adalah final
Rasulullah Saw. diutus bukan hanya sebagai pembawa wahyu, tapi juga sebagai
hakim (kepala negara) dan sebagai penjelas hukum. Nah, atas dasar inilah para ulama
membedakan setiap hukum yang keluar dari mulut Rasulullah Saw, baik sebagai Hadis,
atau ijtihad, atau qadhak.
Maka jika terjadi sebuah pertikaian dan hakim
sudah memutuskan-setelah menimbang maslahat bersama, bermusyawarah dengan para
petinggi pemerintahan dan ulama- dengan mengeluarkan sebuah amandemen, maka semua
masyarakat wajib mengikutinya. Dan bagi siapa saja yang mengingkari hukumnya adalah
dosa. Para fuqaha berkata, “hukmu al-hakim yarfa’u al-khilaf”. Tidak ada
lagi pintu perbedaan jika hakim sudah memberikan keputusan. Hal itu karena
persatuaan jauh lebih penting daripada perpecahan. Wallahu a’lam.
*Penulis adalah mahasiswa Lembaga Fatwa Mesir (Darul Iftak Misriyyah).
*Penulis adalah mahasiswa Lembaga Fatwa Mesir (Darul Iftak Misriyyah).
Posting Komentar