Belajar dari Spirit Pelajar Pattani di (Al-Azhar) Mesir
Tgk. Azmi Abubakar di Meuligoe KMA Mesir |
Oleh: Azmi Abubakar*
Harus diakui bahwa pelajar Pattani
di Mesir telah mendapat tempat yang baik di hati para syekh dan orang Mesir.
Bahwa nama Pattani begitu melambung tinggi dan akrab ditelinga orang Mesir.
Di sini mereka tak hanya berhasil merekontruksi nama bangsanya, namun mereka
mempertegas tentang sebuah pameo awak droe
dan awak gob.
Ini terbukti ketika diadakannya
sebuah acara kebudayaan tingkat internasional di Gedung Al-Azhar Conference
Center, Kairo, beberapa tahun lalu, Pattani hadir (tidak) mewakili negara
Thailand.
Dengan beraninya dalam kata sambutan mereka menyinggung sejarah Pattani, tentang awak droe dan awak gob tadi. Mereka seolah berteriak tentang sebuah entitas muslim, Pattani Darussalam, kami adalah bangsa muslim yang terjajah! Tarian yang mereka bawa kemudian tercatat sebagai tarian yang sangat elegan penuh emosional.
Dengan beraninya dalam kata sambutan mereka menyinggung sejarah Pattani, tentang awak droe dan awak gob tadi. Mereka seolah berteriak tentang sebuah entitas muslim, Pattani Darussalam, kami adalah bangsa muslim yang terjajah! Tarian yang mereka bawa kemudian tercatat sebagai tarian yang sangat elegan penuh emosional.
Penulis mencatat ada beberapa
restoran milik Pattani di Kairo, fungsi restoran ini justru telah melambungkan
nama Pattani sekaligus memberi warna tentang eksistensi muslim Pattani. Penulis
terkadang dengan sengaja datang ke restoran mereka, kami terlibat
diskusi-diskusi hangat. Betapa kesadaran nasionalisme Pattani sangatlah kuat,
dan perlu dicatat pelajar Patani di Kairo mengetahui Aceh dengan baik.
Betapa kesadaran akan identitas
kepatanian itu sangat deras sekali, tak cukup dengan adanya restoran, Pattani
benar benar merekontruksi namanya secara elegan lewat buku; Almuslimun fi Fatani. Kebetulan buku ini belum
sempat penulis buka, baru melihat covernya saja yang tentu saja sangat elegan
dengan semangat keislaman Pattani.
Lalu bagaimana dengan pelajar
Aceh sendiri? Sebenarnya usaha rekontruksi nama keacehan itu jelas terlihat
lewat pergaulan Aceh dengan beragam pelajar negara lain, bahwa kami adalah Aceh
dalam Indonesia, negara muslim terbesar. Bahkan ada fragmen ketika Aceh beberapa
kali berada dalam keadaan yang ekstrim ketika meneriakkan “kamoe awak Aceh”. Jelas sekali ketika watak dan
khas Aceh begitu menonjol, dan itu benar-benar dinikmati. Narasi ini yang
kemudian membuat rekontruksi Aceh benar-benar berbeda dengan Pattani bahkan
dengan puak-puak lain sekalipun.
Usaha Aceh merekontruksi namanya
juga ada dalam ranah keilmuwan, rekontruksi ini bahkan sangat rapi lewat
tema-tema penulisan tesis dan disertasi dari pelajar Aceh sendiri. Ada beberapa
tesis yang membawa dan memasukkan ruh Aceh, di sini Aceh benar-benar hadir
sebagai Aceh yang berperadaban, Aceh yang santun dengan keilmuwannya yang luar
biasa.
Penulis kira narasi Pattani dalam
merekontruksi namanya di Mesir perlu dijadikan semangat, bagaimana Aceh
menghadirkan sebuah buku berbahasa Arab, tentang “al-muslimun fil Atsyih”. Dengan jiwa yang “Aceh” bahkan
penulisan wajah muslim di Aceh harus ditulis secara lugas, apa adanya dan
berterus terang.
Narasi Pattani dan Aceh akan
terus berjalan mengikuti zaman dengan rekontruksi yang berbeda. Seperti
diketahui awal tahun 1900 hadir pelajar Aceh semisal syekh Abdullah bin Ismail
Al-Asyi, pengarang kitab Nuzhatul Ikhwan, Syekh Ismail Al-Asyi merekontruksi
nama Aceh lewat kitabnya Nuzhatul Ikhwan yang berisi kamus Aceh-Melayu-Turki.
Begitu juga dengan kehadiran
syekh Ismail bin Abdul Muthalib, yang mengambil tharikat Syattariah, pengarang
kitab Tajul Muluk, murid dari syekh Ahmad Al-Fathani. Menurut catatan Wan
Shagir Abdullah, Syekh Ismail dilantik oleh Syekh Ahmad Fatani menjadi
ketua pelajar Melayu pertama di Kairo. Dalam catatan, Syekh Ahmad Fatani-lah
yang mengirim murid-muridnya dari rantau melayu pertama sekali untuk belajar di
Al-Azhar via Mekkah-Kairo.
Era 40-an hadir pelajar
Aceh di Mesir seperti Nur el-Ibrahimy, Hasan Shaleh dan lain-lain
yang aktif dalam organisasi persatuan pelajar Melayu. Penulis teringat ada
seorang Bapak bernama Budi Nurdin yang berdomisili di Banda Aceh mengirim pesan
kepada penulis sekitar satu tahun lalu. Budi Nurdin mewakili sosok putra Aceh
dengan keingintahuan luar biasa untuk mengetahui identitas almarhum kakeknya di
Mesir yang seangkatan dengan Menteri Agama pertama RI Mahmud Yunus.
Dalam beberapa bulan ini penulis
kehilangan kontak dengan beliau, sayang sekali untuk sementara penulis tidak
bisa mengingat nama almarhum sang kakek, seingat penulis kakek beliau juga
menduduki jabatan srategis dalam organisasi Pelajar Melayu. Sebagian besar
kitab dan foto peninggalan beliau telah hilang diterjang Tsunami.
Pergumulan keilmuwan antara Aceh-
Pattani menjadi narasi yang sangat menarik ketika para ulama Aceh jauh
sebelumnya melakukan hijrah ke Pattani lalu mengorbitkan para muridnya di
Pattani. Tradisi keilmuwan ini kemudian melahirkan ulama semisal Syekh Muhammad
Shalih Zainul Abidin Al-fatani, beliau menulis kitab ilmu tajwid Quran,
Syekh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa Alfatani yang mensyarah kitab nahwu Al-awamil Jurjaniyah.
Apapun, hubungan Pattani-Aceh harus tetap berlanjut untuk
mewujudkan “kedarussalaman” yang sekarang telah kehilangan gezah di Aceh
khususnya. Dan para pelajar Aceh-Pattani di “Dayah” Al-Azhar Mesir membawa
tanggung jawab itu. Tak hanya sebatas merekontruksi nama, tetapi rekontruksi
ruh sebagaimana pesan-pesan Syekh Abdullah bin Ismail Asyi dalam kitab Nuzhatul
Ikhwan ketika memberi contoh kalimat berbahasa Aceh-Melayu-Turki. Selalu
menjadi air yang menyejukkan bagi setiap hati, air yang mengalir secara santun
dalam “krueng Aceh”. Semoga!
*Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo.
Posting Komentar