Harapanku
Google Image |
Oleh: Shabrun Jamil Abdul Qaiyum*
“Yayaya, Aku sudah bangun!” Teriakku dari dalam kamar. Jam masih menunjukkan pukul empat pagi, artinya satu jam lagi baru azan subuh. Tapi, Fauzul telah membangunkan seisi rumah. Entah kerasukan apa dia, giat nian bangun subuh.
Selesai subuh Aku kembali ke kamar, melanjutkan mimpi tadi malam yang dipaksa menguap oleh suara cempreng Fauzul tadi. Aku tak perlu menyetel alarm, soalnya azan zuhur pasti membangunkanku.
Sudah genap dua bulan Aku di Mesir, tapi kerjaku hanya tidur saja. Jika mau Kau hitung, sebenarnya Aku hampir tidur seharian. Kau tak bisa menyalahkanku dalam masalah ini, Kawan. Aku hanya mengikuti naluri kemanusiaanku.
Jika mau jujur, sebenarnya Aku juga lelah tidur seharian. Tapi apa boleh buat, Aku terlanjur sakit hati. Bukan niatku berangkat ke tempat berjuluk “Negeri Para Nabi” ini, hanya saja Aku tak tega melihat Ayah yang saban hari membujukku agar mau melanjutkan studiku di sini. Sekarang lihatlah Aku, hanya seonggok daging yang tak berguna, menjadi virus buat teman-temanku yang giat berjuang. Menjadi sampah masyarakat, tersisihkan dari lingkungan, ditipu diri sendiri.
Siapa yang mau peduli padaku sekarang? Tak ada! Sekali lagi tak ada! Bagi Fauzul dan Aulia, mengikuti talaqqi dan menghadiri muhadharah lebih berguna daripada menasehati seorang sampah masyarakat sepertiku.
Kurasa inilah salah satu penyebab mundurnya Islam. Mencoba keras lari sejauh-jauhnya dari larangan Allah, berusaha menjadi hamba-Nya yang taat, mengikuti sunah Nabi dengan konsisten, menuntut ilmu sampai ke negeri Mesir–jika tak mau kusebut Cina–tentu saja adalah kebaikan berpahala agung di sisi Allah.
Tapi melakukannya seorang diri? Tanpa memedulikan orang sekitar yang seharusnya juga mempunyai kesempatan yang sama? Yang benar saja! Agama ini rahmatallil’alamin, bukan untuk Fauzul dan Aulia saja.
Terkadang ketika Aku murka begini, hati kecilku berontak. Berusaha mencari-cari perhatianku yang kalut. Maka ketika perhatianku tertuju padanya, ia berkata tegas;
“Mungkin itu bukan salah mereka, hanya saja Kau yang tak kasihan pada dirimu sendiri. Bukankah Kau sudah besar, memiliki otak yang cerdas, badan yang sehat, Ayah dan Ibu yang tulus serta penyayang? Apa yang Kau miliki ini tak dimiliki oleh Fauzul yang piatu atau Aulia yang penyakitan. Kurasa Kau saja yang tak mau menjemput kesempatan masuk surga itu, Kau saja yang selalu mencari pembenaran atas perlakuan goblokmu atas dirimu sendiri, lalu melampiaskannya pada Aulia dan Fauzul. Dakwah itu harus dijemput, bukan hanya ditunggu saja.”
Hati kecilku berkhotbah panjang lebar. Tapi, sebagaimana khotbah jum’at di mesjid-mesjid, Aku hanya menguap. Tiga detik berikutnya, Aku menjemput mimpi.
“Yayaya, Aku sudah bangun!” Teriakku dari dalam kamar. Jam masih menunjukkan pukul empat pagi, artinya satu jam lagi baru azan subuh. Tapi, Fauzul telah membangunkan seisi rumah. Entah kerasukan apa dia, giat nian bangun subuh.
Selesai subuh Aku kembali ke kamar, melanjutkan mimpi tadi malam yang dipaksa menguap oleh suara cempreng Fauzul tadi. Aku tak perlu menyetel alarm, soalnya azan zuhur pasti membangunkanku.
Sudah genap dua bulan Aku di Mesir, tapi kerjaku hanya tidur saja. Jika mau Kau hitung, sebenarnya Aku hampir tidur seharian. Kau tak bisa menyalahkanku dalam masalah ini, Kawan. Aku hanya mengikuti naluri kemanusiaanku.
Jika mau jujur, sebenarnya Aku juga lelah tidur seharian. Tapi apa boleh buat, Aku terlanjur sakit hati. Bukan niatku berangkat ke tempat berjuluk “Negeri Para Nabi” ini, hanya saja Aku tak tega melihat Ayah yang saban hari membujukku agar mau melanjutkan studiku di sini. Sekarang lihatlah Aku, hanya seonggok daging yang tak berguna, menjadi virus buat teman-temanku yang giat berjuang. Menjadi sampah masyarakat, tersisihkan dari lingkungan, ditipu diri sendiri.
Siapa yang mau peduli padaku sekarang? Tak ada! Sekali lagi tak ada! Bagi Fauzul dan Aulia, mengikuti talaqqi dan menghadiri muhadharah lebih berguna daripada menasehati seorang sampah masyarakat sepertiku.
Kurasa inilah salah satu penyebab mundurnya Islam. Mencoba keras lari sejauh-jauhnya dari larangan Allah, berusaha menjadi hamba-Nya yang taat, mengikuti sunah Nabi dengan konsisten, menuntut ilmu sampai ke negeri Mesir–jika tak mau kusebut Cina–tentu saja adalah kebaikan berpahala agung di sisi Allah.
Tapi melakukannya seorang diri? Tanpa memedulikan orang sekitar yang seharusnya juga mempunyai kesempatan yang sama? Yang benar saja! Agama ini rahmatallil’alamin, bukan untuk Fauzul dan Aulia saja.
Terkadang ketika Aku murka begini, hati kecilku berontak. Berusaha mencari-cari perhatianku yang kalut. Maka ketika perhatianku tertuju padanya, ia berkata tegas;
“Mungkin itu bukan salah mereka, hanya saja Kau yang tak kasihan pada dirimu sendiri. Bukankah Kau sudah besar, memiliki otak yang cerdas, badan yang sehat, Ayah dan Ibu yang tulus serta penyayang? Apa yang Kau miliki ini tak dimiliki oleh Fauzul yang piatu atau Aulia yang penyakitan. Kurasa Kau saja yang tak mau menjemput kesempatan masuk surga itu, Kau saja yang selalu mencari pembenaran atas perlakuan goblokmu atas dirimu sendiri, lalu melampiaskannya pada Aulia dan Fauzul. Dakwah itu harus dijemput, bukan hanya ditunggu saja.”
Hati kecilku berkhotbah panjang lebar. Tapi, sebagaimana khotbah jum’at di mesjid-mesjid, Aku hanya menguap. Tiga detik berikutnya, Aku menjemput mimpi.
*****
“Darrasah, Darrasah, Darraaasaaah.” teriak kondektur bus. Beberapa wajah Asia masuk dalam bus, kuterka Malaysia. Entah mengapa mereka selalu terlihat lebih sopan dan rapi daripada makhluk dari negeriku.
Aku tak habis pikir, dalam suasana sepanas ini, bus delapan puluh coret ini tetap saja penuh. Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang ini, rela berdesak-desakan dalam siang sepanas ini. Belum lagi risiko kecopetan dan sederet kekacauan lainnya. Bagiku Mesir ini adalah gembong masalah. Di sini masalah memang sudah banyak, jangan Kau cari lagi. Meskipun mereka keturunan Nabi Musa As., jangan lupa kalau Fir’aun juga penduduk negeri ini.
Kalau saja bukan karena ada urusan dengan Syu’un kuliah, Aku tak sudi keluar rumah. Aku benar-benar muak dengan segala aspek tanah ini; sampah di mana-mana, orangnya kasar-kasar, debu yang banyak, cuaca tak menentu–jika sedang musim panas seperti terebus, jika sedang musim dingin ibarat membeku–pengurusan yang tak jelas, dan segaris human error lainnya.
Kau tau Kawan, sebenarnya Aku memang berniat melanjutkan studiku ke luar negeri, tapi tak di sini. Aku hendak ke Eropa, menjelajahi negara-negara maju nan luar biasa itu, kemudian pulang dan menceritakan petualangan-petualanganku pada setiap orang yang kujumpai. Aku ingin bertualang, merasakan betapa luar biasanya keteraturan segala elemen alam ini. Petualangan yang sanggup menentang batas logika. Lalu kemudian setelah petualangan yang panjang itu dengan amat mengesankan akan kutemukan Sang Pencipta.
Tingkat keimanan orang yang Islam sejak lahir dan muallaf yang masuk Islam karena ilmu dan keyakinan kuat–dan tentu saja hidayah–sangat jauh berbeda. Mereka yang sejak kecil beriman merasa agama Islam yang dipeluknya itu biasa-biasa saja.
Sedangkan para muallaf tadi melihat segala aspek agama ini sebagai suatu yang extra ordinary, sebagai suatu hal sakral yang diperjuangkan dengan darah dan menempati tempat teratas dalam deretan hal-hal penting.
Berangkat dari hal itu, Aku selaku anak yang begitu melihat dunia langsung dalam suasana islami, harus mengguncang kamar keimananku sampai Aku benar-benar yakin bahwa apa yang kuyakini adalah benar. Tidak sekedar mengikuti Ayah atau Ibuku yang juga mengikuti Ayah atau Ibunya, begitu seterusnya. Aku tak mau begitu, Aku ingin membuktikan sendiri semuanya. Semuanya!
Tapi lihatlah, sekarang Aku malah terdampar di negeri aneh ini, semuanya aneh kecuali Aku. Mengubur semua mimpi menjelajah Eropa, mengunci rapat jiwa petualanganku yang entah kuwarisi dari siapa. Betapa kasihannya Aku, Kawan.
“Aiyuwa ya rigaala.” kondektur bus membuyarkan lamunanku. Semua orang turun, begitu menjejejakkan langkah pertama di luar bus, suhu empat puluh sekian derajat langsung menyengatku. ‘yakhreb beitak.’ umpatku dalam hati.
*****
Tak tahan lagi, malam ini kuadukan semua perihalku pada Ayah lewat facebook (hanya medsos ini yang Ayah paham penggunaannya). Setelah kuutarakan semua uneg-unegku, malam besoknya Ayah membalas;
“Sabarlah wahai anakku, semuanya hanyalah proses. Percayalah, Ayah dan Ibu hanya menginginkan kebaikanmu. Kami hanya tak ingin Kau menjadi sampah masyarakat, Eropa itu berbeda dengan yang ada dalam pikiranmu. Sungguh berminggu-minggu kami merundingkan masalah studimu ketika Kau lulus dari pondok dulu. Kami penuh pertimbangan mengirimmu ke Negara yang jauh itu, Kau anak kami satu-satunya. Tidakkah Kau percaya pada pilihan kami? Tidakkah engkau ingin membahagiakan kami yang sudah tua ini, apalagi yang kami inginkan selain kebaikanmu? Kami hanya tinggal menunggu panggilan Ilahi. Sabarlah, seperti namamu. Doa kami selalu menyertaimu.”
Malam ini, setelah bertahun-tahun tidak menangis, Aku tersedu-sedu. Ah, betapa durhakanya Aku. Terbayang wajah mereka yang sudah menua, seakan mereka tersenyum dari jauh. Aku ingin menjerit, meluapkan rasa sesal terhadap kebodohanku selama ini. Aku berjanji, akan memberi pakaian terbaik buat Ayah dan selendang terbaik buat Ibu di akhirat.
Pesan 88 kata itu entah mengapa menenggelamkan semua alibiku. Tiba-tiba saja Aku merasa harus mengubah pandanganku terhadap ‘Negeri Seribu Menara’ ini. Bukankah semua hal memiliki segi positif dan negatif?
Tak tahan lagi, malam ini kuadukan semua perihalku pada Ayah lewat facebook (hanya medsos ini yang Ayah paham penggunaannya). Setelah kuutarakan semua uneg-unegku, malam besoknya Ayah membalas;
“Sabarlah wahai anakku, semuanya hanyalah proses. Percayalah, Ayah dan Ibu hanya menginginkan kebaikanmu. Kami hanya tak ingin Kau menjadi sampah masyarakat, Eropa itu berbeda dengan yang ada dalam pikiranmu. Sungguh berminggu-minggu kami merundingkan masalah studimu ketika Kau lulus dari pondok dulu. Kami penuh pertimbangan mengirimmu ke Negara yang jauh itu, Kau anak kami satu-satunya. Tidakkah Kau percaya pada pilihan kami? Tidakkah engkau ingin membahagiakan kami yang sudah tua ini, apalagi yang kami inginkan selain kebaikanmu? Kami hanya tinggal menunggu panggilan Ilahi. Sabarlah, seperti namamu. Doa kami selalu menyertaimu.”
Malam ini, setelah bertahun-tahun tidak menangis, Aku tersedu-sedu. Ah, betapa durhakanya Aku. Terbayang wajah mereka yang sudah menua, seakan mereka tersenyum dari jauh. Aku ingin menjerit, meluapkan rasa sesal terhadap kebodohanku selama ini. Aku berjanji, akan memberi pakaian terbaik buat Ayah dan selendang terbaik buat Ibu di akhirat.
Pesan 88 kata itu entah mengapa menenggelamkan semua alibiku. Tiba-tiba saja Aku merasa harus mengubah pandanganku terhadap ‘Negeri Seribu Menara’ ini. Bukankah semua hal memiliki segi positif dan negatif?
*****
“Subuh Jol, subuh.” Kali ini Fauzul tak terkejut lagi.
Sudah seminggu sejak Ayah mengirimkan pesan itu. Sudah seminggu pula Aku secara misterius berubah. Kini bukan Fauzul atau Aulia lagi yang membangunkanku. Tentu saja pada awalnya mereka terkejut, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Aku menjadi aneh. Tapi kurasa mereka juga bersyukur, si tampan ini akhirnya berubah.
Sekarang lihatlah Aku. Menjadi manusia paling rajin hadir muhadharah, jamaah tetap saf terdepan talaqqi di mesjid Azhar. Jika dulunya Aku pembenci garis keras berdesak-desakan di delapan puluh coret, sekarang Aku malah menikmatinya. Seperti mereka yang juga sedang jatuh cinta, bagiku sekarang semuanya terlihat indah. Orang Mesir sebenarnya tidak kasar Kawan. Bagaimana mungkin Kau menuduh penduduk negeri kinanah ini kasar, mereka hanya bersikap sedikit tegas.
Mengenai suhu yang ekstrim dan badai debu, itu merupakan tantangan bagi para penuntut ilmu sepertiku. Bukankah semakin sulit perjuangan semakin indah pula keberhasilannya? Kau mempertanyakan masalah sampah yang berserakan di jalan-jalan? Tak tahukah Kau bahwa sampah itulah yang kelak jadi saksi perjalanan menuntut ilmu? Dan semakin banyak saksi kurasa semakin bagus.
Dan kurasa dibandingkan mereka yang juga sedang jatuh cinta lainnya, Aku sedikit lebih baik. Mereka jatuh cinta pada manusia, sedangkan Aku pada hal yang jauh lebih istimewa, ilmu. Begitulah hari-hariku berlalu sekarang, bangun paling cepat, tidur lebih lambat.
Tentu saja tak seperti waktu yang terbuang sia-sia dulu, sekarang Aku menghabiskan waktu dengan diktat kuliah dan Al-Qur’an. Kau Tzu, menjelajahi Al-Qur’an dan alam pemikiran ulama-ulama tak kalah mengasyikkan dibandingkan menjelajahi Eropa. Andai saja Masisir yang sedang membuang waktunya hanya karena problem yang tempo lalu kurasakan merasakan apa yang Aku rasakan sekarang. Aku sedang berharap.
*Mahasiswa Tingkat 1, Jurusan Syari'ah Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Mesir
yaya... sangat inspiratif. sebuah cerita yang dapat mengubah pola pikir... dengan bahasa yang sangat baik penyampaiannya. jempol buat dek shabron. ijin share ya... ini adalah sesuatu yang layak untuk di baca masyarakat luas.
BalasHapus