Mesjid dan Mimpi Khilafah Islamiah
Google. doc |
Oleh : Husni Nazir, Lc.
Hijrah Rasulullah
Saw. ke Madinah Al Munawwarah merupakan titik permulaan daulah Islamiah. Saat itulah sejarah daulah Islamiah pertama
diukir, yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw. Rasulullah membangunnya di
atas tiga pondasi pokok, pembangunan mesjid, menyatukan kaum muslimin secara
umum, Muhajirin dan Anshar secara khusus, serta penulisan undang-undang negara Islam untuk pertama kalinya.
Ketiga asas
tersebut tersusun tertip seperti yang penulis sebutkan, dimulai dengan
pembangunan mesjid, mempersatukan umat dan kemudian pembuatan undang- undang
negara.
Jika kita
bertanya manakah asas yang paling penting diantara ketiga asas tersebut?
Mesjidlah jawabannya.
Inilah yang menjadi alasan kenapa Rasulullah buru- buru membangun mesjid begitu
sampai ke Madinah.
Sebuah
persaudaraan yang Rasulullah ikat akan percuma dan dalam waktu yang singkat ia
akan kembali renggang seperti semula kala, Jika saja bukan karena mesjid.
Sedangkan
Undang-undang, ia hanyalah sebuah ketentuan yang berbentuk tulisan, namun
prakteknya hanya saja dapat direalisasikan dengan peran mesjid.
Kehidupan di luar
mesjid sangat berpotensi menciptakan jurang perbedaan antar sesama umat. Betapapun
kita rajin membawa semboyan ukhuwah islamiah, persaamaan derajat, bahwa
manusia adalah sama, takwalah yang menjadi pembeda, dan lain- lain. Jika saja
umat Islam tidak berjumpa sehari lima waktu di mesjid, semboyan- semboyan
tersebut hanya terdengar oleh telinga, tanpa pernah bisa kita lihat dalam
kehidupan nyata umat.
Tuntutan sosial
menjadikan kita mempunyai status yang berbeda-beda satu sama lainnya. Sebagian ada
yang berkesempatan menjadi pemimpin, sebagian lainnya bawahan, sebagiannya
adalah ketua sedangkan lainnya adalah pengurus, sebagian mereka tajir,
sedangkan sebagian lainnya menyandang status miskin. Kekayaan dan kedudukan
terlalu mendominasi.
Akan tetapi
lihatlah apa yang dilakukan mesjid. Ketika azan berkumandang, semua serentak
meninggalkan pekerjaan menuju ke mesjid. Tidak ada yang membedakan antara
direktur dengan bawahan, pemimpin redaksi, staf pelaksana, cleaning service
, semua serentak melepas jabatan duniawi, sama-sama ber-tawajjuh kepada
Allah.
Sulit bagi kita
untuk mengenali dan membedakan mana yang kaya dan miskin, mana si pemilik
perusahaan dan si pemilik kios, mana yang alim, mana yang muta’allim.
Semuanya bertindih bahu, merapat kaki, meluruskan barisan, seraya bertakbir Allahu
akbar.
Semua sepakat
mengikrarkan tiada tuhan selain Allah. Semua mengakui bahwa masing-masing kita hanya
hamba-Nya yang lemah, tiada apa-apanya. Tak ada yang membuat kita lebih dari
yang lain, selain daripada apa yang Allah titipkan kepada kita.
Dan akhirnya kitapun
mampu melihat orang lain dengan nilai hakikat kita sebagai hamba, bahwa kita
adalah sama-sama hamba, sama- sama mulia dimata Allah, sama-sama bersambung
nasab dengan Rasulullah.
Coba bayangkan jika
saja hal ini selalu terjadi setiap hari lima waktu, masihkan tirai pemisah
diantara kita yang tersisa?
Dari sini
terlihat betapa besarnya pengaruh mesjid untuk mempersatukan umat. Seberapa
kuat perhatian umat Islam untuk memakmurkan mesjid, sekuat itulah persatuan
umat akan terjalin. Dan sebaliknya, seberapa kurang nya perhatian kita akan
mesjid, semakin lemah pula persaudaraan yang terpatri diantara kita. Serta
bagimana pula jika ada yang berusaha menghancurkan mesjid, kemudian mengatakan
kami ingin mendirikan Khilafah Islamiah. Mungkin salah memahami Islam.
Sangat simple
memang. Tetapi bukan masalah simplenya, pertanyaanya sudahkah kita melakukannya?
Tidak, ini bukan
pertanyaan yang perlu dilafalkan dengan lisan, tapi renungan kita dengan hati,
coba tanya pada diri, seberapa seringnya kita menghampiri mesjid dalam sehari
semalam. Sudah cukup seringkah, atau justru kita lebih terobsesi mengabdate
status menggebu tentang khilafah islamiah sedangkan azan berkumandang, dengan
dalil “ Demi umat.”
Pepatah arab
mengatakan, “ Faaqidusysyaik la Yu’thi”. Artinya: Orang yang tidak
memiliki tidak akan pernah bisa memberi.
Sayang, risalah
yang ingin disampaikan oleh Rasulullah melalui mesjid ini, benar-benar telah
menjadi harta Qarun hari ini. Kita tidak berbicara tentang daerah yang jauh
dari siraman agama, tapi justru di markas- markas dan instansi pembentukan
generasi agamapun, ternyata risalah ini juga terabaikan.
Dan akhirnya, mari
sejenak kita membayangkan senyuman Rasulullah di akhir hayatnya. Dari balik
jendela rumahnya Rasulullah tersenyum melihat sahabat shalat berjamaah
yang diimamin oleh Abu Bakar. Cita-citanya
untuk mempersatukan umat telah berhasil. Allahumma shalli wasallim wa baarik
‘ala Saidini Muhammad wa ‘Ala Alihi wa Shahbihi ajma’in.
Semoga hari ini
kita masih bisa membuat Rasulullah terus tersenyum, karena melihat kita yang
saling menyayangi dan bersatu, bagaikan satu keluarga yang besar. Anta akhi
wa ana akhuk, engkau saudaraku, dan aku adalah saudaramu.
Semoga!
Posting Komentar