Mengenal Syaikh Bhuty Lebih Dekat
Syeh Ahmad Thayyeb, Syeh Ramadhan Bhuty dan Habib Ali Jifri |
Oleh; Tgk. Saifannur*
Beliau adalah Syeikh Prof.
Dr. Muhammad Saed Ramadhan Al Bhuty, ketua majlis ulama negeri Syam. Beliau
lahir pada tahun 1929, di sebuah tempat bernama Bhut di selatan Turki. Bhuty
kecil yang hanya bisa berbicara bahasa Kurdi akhirnya berhijrah dari Bhut ke
Damaskus bersama ayahandanya Syeikh Mulla Ramadhan, salah seorang mursyid
tarikat Naqsyabandiyah. Ayahnya termasuk ulama besar di Syam yang sangat
diperhitungkan kala itu.
Saat itu, Bhuty kecil mulai
diajarkan bahasa Arab oleh ayahnya, sambil menghafal Al-Quran. Ketika saatnya
sekolah, Bhuty kecil diantarkan oleh sang ayah dari Ruknuddin ke Midan untuk
dimasukkan ke Ma’had Taujid yang diasuh oleh Syeikh Hasan Habannakeh. Midan
adalah salah satu daerah di kota Damaskus, Midan terkenal dengan mobilitas ilmu
fiqh dan ushulnya. Hampir semua ulama Damaskus berasal dari kampung itu, sebut
saja mujtahid terakhir di dunia imam Ibnu Abidin yang berasal dari Midan.
Di ma’had tersebut Bhuty
kecil mendapat pendidikan untuk hati, otak dan jiwanya. Hampir semua anak didikan
syaikh Mujahid Hasan Habannakeh menjadi ulama besar, sebut saja antara lain
Syeikh Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Syeikh Prof. Dr. Muhammad Saed Ramadhan Al
Bhuty, Prof. Dr. Musthafa Saed Al Khin, Prof Dr. Musthafa Bugha yang sering di
sebut imam Syafi’i junior, termasuk Prof Dr. Muhammad Khaer Haekal, pemilik
kitab Al-Jihad fil Islam.
Beliau kemudian melanjutkan
petualangan ilmiyahnya ke Al-Azhar Kairo, sampai akhirnya membawa gelar doktor
dalam ilmu ushul fiqh, dengan disertasinya Dhawabith
Maslahah yang fenomenal itu. Saat ini beliau menjabat sebagai dosen di
fakultas Syariah Universitas Damaskus,
kepala bagian Aqidah wal Adyan. Beliau pernah menjadi dekan fakultas
syariah juga.
Selain mengajar di kampus,
Syeikh Bhuty yang sudah berumur 82 tahun itu masih aktif memberikan pengajian
di mesjid-mesjid, baik itu pengajian “berat” maupun yang biasa. Salah satu jasa
beliau paling besar adalah menghidupkan kembali keilmuan di masjid besar Bani
Umayyah, atau masjid Umawy. Masjid di mana Imam Ibnu Shalah, Imam Izz bin
Abdussalam, Imam Nawawi, Imam Al-Ghazali, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim
serta Imam Ibnu Katsir pernah menimba ilmu. Sebelumnya mesjid ini sudah lama
mati dari kegiatan ilmiah, ia hanya berfungsi sebagai tempat wisata saja.
Sejak tiga tahun lalu,
masjid itu penuh dengan pengajian berbagai disiplin ilmu, dan yang duduk di
sana adalah guru-guru besar yang dikumpulkan oleh Syaikh Bhuty dari semua
disiplin ilmu. Ada Prof. Dr. Mazen Mubarak, pakar bahasa Arab. Syeikh Nuruddin
‘Itr; bapaknya ulama hadits Syam saat ini, Syeikh Abul Huda Yaqubi; pakar
hadits dan tazkiyah, Syaikh Kuraim Rajeh; Syeikhul Qurra’ Syam, dan Syeikh
Bhuty, Serta sejumlah bintang-bintang pewaris Rasulullah lainnya.
Di umur yang sudah sangat
senja itu, beliau masih memikirkan nasib umat. Beliau tidak pernah diam kalau
ada sedikit saja “ketidak-beresan” dalam masyarakat, baik itu perbuatan orang
biasa atau pemerintah sekalipun. Partai Baath yang menguasai Syria sejak hampir
50 tahun itu selalu mengekang kebebasan yang berakibat kepada runtuhnya
kekuasaan mereka.
Pada tahun 70-an, saat
presiden Hafez Asad masih berkuasa, presiden ini terkenal senang membaca buku.
Suatu hari, saat panitia Damascus book fair melaporkan hasil
penyelenggaraan itu kepada presiden, presiden Hafez bertanya buku apa yang
paling laris selama book fair, panitia mengatakan buku “Naqdu al-Auham
Maddiyyah al-Jadliyyah”, karya Muhammad Saed Ramadhan Bhuty. Presiden pun mendapat satu eksemplar
buku itu, dia tertarik dan ingin mengenal lebih jauh siapa itu Saed Ramadhan
Bhuty.
Pada akhirnya Syaikh Bhuty
dipanggil ke istana presiden, dan di sanalah kedekatan mereka bermula, dan
pertemuan pertama itu sangat mengagumkan Presiden Hafez Asad yang terkenal
diktator itu. Akhirnya Syeikh Bhuty menjadi penasehat pribadi presiden. Sampai
setelah dia meninggal, anaknya Bashar Asad pun dekat dengan syaikh Bhuty.
Di zaman fitnah seperti ini,
beliau dituduh sebagai “ulamasu’, ulama “hukkam”, karena pendapat
dan mauqif beliau di Syria. Sampai suatu ketika beliau pernah
mengatakan, “saya tantang orang-orang yang mengatakan saya ulama pemerintah
untuk diskusi dan memberikan dalil bahwa yang saya katakan itu bukan
berdasarkan kitab dan sunnah! Untuk apa saya membela pemerintah? apa yang saya
cari, uang? pangkat? ketenaran? Astagfirullah… saya ini sudah bau kubur,
buat apa yang saya memikirkan hal-hal demikian?”. Itu beliau katakan sekitar 11
bulan lalu dalam sebuah pengajian di masjid Iman, tetapi sampai hari ini tidak
ada satupun yang berani menantang.
Pertama kali saya melihat
beliau 4 tahun lalu, saat saya baru datang ke Damaskus. Saat itu ada pengajian
“fiqh sirah” bersama Syeikh Bhuty di Jami’ Iman. Itu pertama kali saya melihat
syaikh Bhuty. Saya kagum, akhirnya setiap pengajian beliau tidak pernah saya
tinggalkan. Saya hadir di Jami’ Bhuty, masjid Umawy dan di Jami’ Iman.
Sejak saat itu, saya mulai
jatuh cinta sama beliau. Hampir semua buku karya beliau saya baca, mungkin
lebih dari 15 buku. Saya memang tidak mungkin sampai ke derajat beliau, tapi
saya bangga dan bersyukur bisa mendapatkan nasab ilmu dari syeikh Bhuty.
*Penulis adalah lulusan Fak.
Syariah Qanun Univ. Damascus, dan Fak.
Bahasa Arab di Institut Kaftaro, Syria.
Posting Komentar