Cinta Kasih Ibu (1)
Indahnya
ketika kita mampu memberi tanpa menuntut balas, give and forget.
Menerima mungkin, tapi tidak mengharapnya kembali. Karena semua Ia lakukan
hanya untuk mendapat keridhaan Sang Khalik. Sesekali butiran bening itu
menyesali semua tingkahnya selama puluhan tahun silam. Ketika Ia berani pergi meninggalkan keluarga tanpa kabar, walau
hanya dengan sepucuk surat.
Alasannya sederhana, namun sangat menyesakkannya
saat itu, ibunya telah membuatnya malu, membuatnya hina dengan apa yang Ia
punya. Tapi Kini, tepat di akhir penyesalan itu tiba. Mengeluh dan menangis
sedih akan kepergian ibunya. Mengharapkan sesuatu yang mustahil akan terjadi, seperti
dahulu lagi.
*****
Ayahnya
telah meninggal tujuh tahun lalu ketika tsunami meluluhlantakkan Aceh. Sekarang
Ia hanya tinggal dengan ibu. Yach, seorang ibu yang punya keterbatasan,
karena matanya tidak bisa melihat sebelah sejak peristiwa itu. Tak jarang
terdengar hinaan dan caci-maki dari sebagian anak-anak sekolah AL-TAFIA ketika
bu Faridah menjajakan lontong. Tapi, semua itu Ia lalui bak angin bertiup.
Seperti
biasanya, bu Faridah mengayuh sepeda bututnya sembari menjajakan lontong.
Tepat
di pekarangan sekolah.
“Eh,
si buta datang“ kata Retno, anak kelas 3 A.
“Iya,yuk
kita kerjain“ tambah Doni.
“Yuk“
sahut Dedi yang nggak kalah jailnya ngerjain orang tua.
“Hahahaha…si
buta datang, si buta datang“ mereka sahut menyahut mengatai bu Faridah.
Mereka
tidak hanya menghina, tapi mereka juga melukainya. Ditahanlah jalan laju sepeda
miliknya dengan rantai, tepat di tengah jalan. Ia jatuh tersungkur ke tanah, betapa
malang nasib si ibu.
Dari
kejauhan, Faiz melihat ibunya yang diperlakukan tidak hormat. Mata batinnya
terluka, tapi ia mengabaikannya. Membiarkan ibu yang telah melahirkannya
menjadi bualan teman-teman sekolah yang iseng itu. Berat Faiz meninggalkan
ibunya dalam keadaan terluka, namun ia terlanjur malu untuk mengakui wanita
cedera itu adalah ibunya.
******
“Assalamualaikum
pak“ Faiz mengucapkan salam pada wali kelas, pak Azman.
“Waalaikumsalam,
masuk Faiz “ pinta pak Azman.
“Pak,
Saya minta surat pernyataan wali murid tentang peluang beasiswa yang bapak
bicarakan akhir pekan lalu.”
“Surat
itu harus diambil oleh orang tua Kamu“ lanjut pak Azman memberi pengertian.
“Pak,
tapi…“suaranya terhenti.
“Iya,
bapak mengerti Faiz. Tapi kamu masih punya orang tua. Lain ceritanya jika Kamu
hanya tinggal sendiri”. Beliau menghela napas panjang.
“Okay,
Saya izinkan Kamu untuk kali ini saja“, kata pak Azman sambil mencari surat
yang dimaksudkan untuk Faiz.
“Iya
pak,terima kasih“ sahut Faiz sembari menjabat tangan wali kelasnya.
Sepulang
sekolah, Faiz membuka lembaran yang berisi kesediaan wali murid, lalu
menandatangani semua persetujuan itu.
“Anak
ibu sudah makan?“ tanya bu Faridah dari ruang tengah.
“Iya
bu, Saya sudah kenyang“ sahutnya mengharap ibu tidak membawakan makanan
untuknya saat itu.
“Eum,
ya sudah. Nanti kalau mau makan ada mie goreng kesukaan Kamu lho,dimakan ya“ goda ibu.
“Iya
bu, sebentar lagi Faiz makan “ia menjawab sekenanya, lalu kembali fokus pada
lembar beasiswa itu.
Keesokan
harinya Faiz mengembalikan surat itu kepada pak Azman
“Pak,ini
suratnya“ kata Faiz.
“Iya“,
sambil menerima surat dari tangan Faiz.
“Faiz“,
panggil pak Azman.
“Iya
pak“ sahut Faiz dan menoleh kearahnya.
“Faiz,
tolong perhatikan ibumu, jaga Dia
baik-baik. Jangan biarkan Ia terluka, karena ridha Allah ada pada keridhaan
orang tua,dan kebencian Allah ada pada kebencian mereka” begitulah notice pak Azman seakan tahu
apa yang Ia perbuat selama ini.
“Baik
pak “ jawab Faiz lalu berpamitan.
*********
Tepat
di sepertiga malam wanita tua itu bangun dari tidurnya, memohon kehadirat Sang ilahi
rabbi. Mengeluh dan mengadu semua keluh dan kesah yang Ia alami. Serta mencurahkan
semua syukur atas dirinya dan Faiz.
“Ya
Allah puji dan syukurku kepada-Mu, selawat dan salamku untuk Rasulullah yang tak
pernah lelah dalam menyampaikan risalah-Mu. Tuhan Yang Maha Esa, ampunilah
dosa-dosa yang pernah Aku lakukan dan yang dilakukan anakku, baik yang kami
sengaja maupun tidak. Sesungguhnya ampunan-Mu sangat luas.
Ya
Allah, syukurku atas nikmat sehat, Islam dan iman yang Engkau berikan. Ya
Rabbi, Engkau yang mengetahui semua isi hati kami. Jadikanlah Faiz anak yang
berguna bagi nusa dan bangsa. Lindungi langkahnya, bahagiakanlah Ia didunia dan
diakhirat, amin ya rabbal alamin…”
Setelah
tahajud wanita tua itu menuju kamar Faiz, lama Ia mematung mengamati wajah buah
hatinya yang sedang pulas. Hatinya amat bahagia memiliki Faiz. Walaupun ketika
ia menjajakan makanan di sekolah, Faiz tidak pernah muncul, apalagi makan
bersama. Sungguh ikhlas perempuan ini mengais rezeki demi anaknya. Terkadang
rindu membuncah, ingin melihat wajah dan polah aktif Faiz di sekolah.
Dikecupnya
kening Faiz, “semoga Allah memberkahi dan melindungi langkahmu wahai anakku “ doa
bu Faridah.
Itulah
cinta tulus dan suci dari seorang ibu untuk anaknya. Cinta yang tidak pernah
mengharap balas budi baiknya. Cinta yang membuat sang ibu merawatnya,
mendoakannya hingga akhir hayat.
Bagian Kedua Click Here
Bagian Kedua Click Here
Posting Komentar