Setahun Syeikh Buthi: Resensi kitab Hadza Walidi (Bagian II)
Oleh; Rizky Syahputra, Lc.
Kehidupan di Damaskus
Menjadi pendatang dinegeri orang bukanlah hal yang mudah, apalagi untuk
membangun sebuah keluarga. Kehidupan ekonomi Damaskus ketika itu memang tidak
bersahabat, khususnya bagi orang asing yang tidak mempunyai aset apa-apa
seperti Syeikh Mulla.
Suatu ketika, tatkala Mulla Ramadhan dan
keluarganya menumpangi bus yang bertujuan ke Damaskus, mereka bertemu dengan
seseorang yang berasal dari Kurdi. Lelaki itu bertanya kepada Mulla, apa yang
menyebabkan beliau meninggalkan segala harta dan kampung halaman lalu hijrah ke
Damaskus bersama seluruh keluarga?
Mulla Ramadhan hanya menjawab pertanyaan lelaki itu dengan singkat.
Akan tetapi si Lelaki itu justru memperingatkan Mulla bahwa kehidupan di
Damaskus tak semudah yang dibayangkan. Hanya orang-orang yang memiliki harta
berlimpah dan punya kemampuan lebih yang mampu bertahan.
Peringatan laki-laki tersebut sama sekali tidak menggoyahkan tekad Mulla
Ramadhan untuk hijrah di jalan Allah. Beliau percaya Allah tidak akan menyia-nyiakan
hambanya yang hijrah dijalanNya.
Setelah tiba di Damaskus, Mulla dan keluarga menempati satu kamar kosong di
wilayah Kurdi. Benar memang seperti yang dikatakan oleh lelaki yang beliau
jumpai di bus, tak ada profesi lain yang dapat membantu beliau selain menjaja
kitab-kitab bekas berbahasa Kurdi ke seluruh wilayah Suriah.
Istri beliau sempat ragu karena buku-buku
bekas itu harganya terlalu murah. Namun Mulla hanya menyerahkan segalanya
kepada Allah. Dan atas izin Allah dari hasil penjualan buku pertama, beliau
memperoleh untung tiga kali lipat dari modal. Mulla pun terus menjalani profesi
ini hingga dalam waktu satu tahun beliau akan melakukan sekali atau dua kali
perjalanan demi menjajakan buku-buku tersebut ke berbagai wilayah Suriah lalu kembali
dengan membawa kebutuhan pangan untuk keluarga.
Perkenalannya dengan ulama-ulama
Damaskus
Ketika pertama di Damaskus Mulla tidak
dikenal sebagai Alim Ulama, akan tetapi
beliau dikenal hanya sebagai pedagang. Namun seiring berjalannya waktu, beliau berkenalan
dengan beberapa Ulama di lingkungan Kurdi tersebut dalam berbagai kesempatan.
Ketika mereka melakukan diskusi, Mulla sering menjawab soal-soal yang
diutarakan kepada beliau. Akhirnya Mulla dikenal sebagai Faqihussyafii pertama di lingkungan Kurdi tersebut.
Lalu sedikit demi sedikit pelajar-pelajar Kurdi pun datang kepada beliau hendak
berguru, diikuti oleh beberapa pelajar-pelajar
di beberapa Ma’had Damaskus
bahkan dari berbagai wilayah Suriah, baik Kurdi maupun Arab. Ketika masih di
Bhoutan beliau telah menjalani profesi sebagai guru di sekolah-sekolah Kurdi.
Dan atas izin Allah beliaupun kembali menjalani profesi tersebut disamping
kegiatan sehari-harinya sebagai pedagang.
Menjadi Imam Mesjid
Selang beberapa waktu Mulla dan keluarga pun pindah ke rumah pribadi beliau di
Syamdin, setelah sebelumnya hanya tinggal dirumah kontrakan. Disebelah barat dari wilayah itu terdapat
satu dusun yang di di huni oleh penduduk miskin, akhlak mereka rusak juga dihantui
oleh kebodohan. Dan ditengah dusun terdapat tempat terbengkalai yang biasa
digunakan masyarakat untuk menumpuk sampah,
namun dua orang penduduk dusun itu tergerak hatinya untuk membersihkan
tempat tersebut agar terhindar dari kuman dan penyakit.
Berita itu terdengar oleh Mahyuddin, seorang pengusaha kaya yang baik dari distrik
Kurdi. Atas usaha dan jerih payah, Beliaupun berhasil membangun tempat itu
menjadi sebuah mesjid. Lalu beliau
meminta Mulla Ramadhan untuk menghidupi mesjid itu dan menjadi Imam tetap
disana. Karena Mahyuddin telah megenal Mulla
dan mengagumi dengan keilmuan Mulla Ramadhan.
Setelah beristikharah dan bermusyawarah
dengan beberapa sahabat, Mulla pun menyetujui. Tujuan beliau menyanggupi
permintaan tersebut bukan hanya untuk sekedar menjabat sebagai seorang Imam.
Akan tetapi sebagai seorang Alim beliau
merasa bertanggung jawab untuk menghilangkan kebodohan yang ada dalam
masyarakat tersebut dan menyadarkan mereka dari kejahilan. Akhirnya beliau pindah untuk ketiga kalinya
ketempat yang dekat dengan Mesjid tersebut agar mudah menunaikan kewajiban
beliau.
Metode Dakwah Mulla Ramadhan
Mulla Ramadhan berkata: “ Aku memiliki tetangga seorang lelaki yang selalu
berbuat berbagai jenis dosa besar. Ia adalah peminum khamar, berlidah tajam sekaligus suka bertindak
asusila. Diantara musibah yang paling besar,lelaki itu sering menyewa pelacur
lalu mengundang teman-temannya untuk menggauli pelacur tersebut, setiap malam
rumahnya dipenuhi suara dendang dan nyanyian. “
Mengahadapi kondisi seperti ini Mulla pun berunding dengan beberapa penduduk
yang sholat di Mesjid untuk menasihati lelaki itu, walaupun hasilnya nihil.
Ternyata lelaki tersebut tahu bahwa Mulla
berupaya mengahalang perbuatannya. Maka suatu hari sebelum menjelang sholat
Shubuh lelaki itu datang kerumah Mulla dalam kondisi mabuk dan melempar batu ke
pintu rumah beliau. Bahkan setelah itu ia juga melempari jendela mesjid dengan
batu ketika para jamaah sedang menunaikan shalat.
Syeikh Mulla tau benar, bahwa dalam dakwah kita tidak hanya bergantung pada
keindahan bahasa, dan kehikmatan tingkah, serta berapa banyak nasehat yang
mampu kita berikan, akan tetapi disana ada bagian lain yang sering dilupakan
oleh kebanyakan para pendakwah hari ini. Bagian itu adalah doa. Setelah
berdakwah dengan lisan, seorang dai dituntut untuk menyerahkan hasil dakwahnya
kepada Allah, agar Allah memberikan hidayah kepada orang tersebut. Karena
sesungguhnya hidayah itu hanya ada disisi Allah.
Selang beberapa hari kemudian, tiba-tiba lelaki tersebut mulai mengeluarkan
pelacur-pelacur yang pernah disewa dari rumahnya, dan setelah itu ia berhenti
minum khamar. Bahkan Mulla pernah bertemu dengannya didalam Mesjid dan ia
mencoba mencium tangan Mulla.
Ketika Mulla melaksanakan ibadah Haji, beliau berwasiat agar tidak menghiasi
rumah untuk menyambut beliau ketika pulang. Namun setelah terdengar kabar bahwa
Mulla hampir tiba dari ibadah haji, si lelaki itu justru menghiasi rumah Mulla
dengan hiasan yang special. Walaupun keluarga Mulla sudah melarangnya namun ia
tetap bersikeras. Dan ia meletakkan karpet merah di depan rumah untuk menyambut
kepulangan Mulla. Dan ketika Mulla kembali, keluarga beliau langsung
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mulla pun berdoa dan memuji Allah.
Seorang lelaki yang dulunya bergelimpangan maksiat dan benci kepada beliau kini
menjadi orang yang sangat menghormati Mulla setelah beliau mendakwahi si lelaki
dan memohon kepada Allah untuk menghidayahi lelaki itu.
Bahkan daerah yang dulunya terjangkit kebodohan dan maksiat itu semakin lama
semakin berubah. Penduduk yang shalat di Mesjid semakin ramai bahkan selain
menjadi tempat ibadah mesjid itu juga menjadi tempat menimba ilmu agama. Dan
sekarang Mesjid itu dinamai Mesjid Al-rifai.
Baca juga : Setahun Syeikh Buthi: Resensi kitab Hadza Walidi (bagian I)
Baca juga : Setahun Syeikh Buthi: Resensi kitab Hadza Walidi (bagian I)
Posting Komentar