Syekh Ramadhan Al-Bouty: Saya ingin menikah
Oleh: Husni Nazir, Lc.
photo doc. google |
Dalam kitabnya Haza Walidi, Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi
menceritakan kisah pernikahnnya. Yaitu Ketika Ayah beliau (Syeikh Mulla
Ramadhan Al Buthi) ingin menikahkannya, sedang umurnya ketika itu masih delapan
belas tahun.
Syeikh Mulla berpegang kepada Hadis riwayat yang mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda,“ Barang siapa yang dikaruniakan seorang anak hendaklah ia
memberikan nama yang baik, dan mengajarkannya adab. Apabila ia telah besar
hendaklah ia menikahkankahnya. Apabila
ia telah besar dan tidak dinikahkan lalu ia berbuat dosa, maka dosa tersebut
akan ditanggung oleh ayahnya.”
Syeikh Mulla tidak peduli dengan pendapat yang mengatakan bahwa hadis ini
adalah hadis lemah. Dalam buku tersebut Syeikh Buthi juga menyebutkan bahwa
ayahnya merupakan seorang ahli fikih dan tasawuf.
Ketika rencana pernikahan tersebut disampaikan kepada Syeikh Buthi, beliau
sangat terkejut dengan rencana yang sama sekali tidak terlintas dipikirannya,
untuk menikah di usianya yang masih belia. Beliau pun berusaha keras untuk
meyakinkan ayahnya bahwasanya ia belum berkeinginan untuk menikah.
Usaha Syeikh Buthi tidak membawa hasil, bahkan ayah beliau mengambil kitab
Ihya Ulumuddin dan dibacakan kepadanya tentang kelebihan dan pentinggnya menikah.
Melihat keinginan ayahnya yang sangat besar, Syeikh Buthi tidak ingin
mengadunya dengan keinginannya untuk tidak menikah muda, beliau takut itu akan
menjadikannya durhaka terhadap orang tua. Ia pun akhirnya ridha dengan rencana
ayahnya.
Lalu Ayahnya mengkhitbah seorang wanita untuknya, ia pun menerimanya demi
menaati perintah sang ayah. Syeikh Buthi sangat tau, bahwa ayahnya ketika itu
sedang mengalami masa-masa sulit ekonomi, bahkan hal-hal kecil yang dibutuhkan untuk
keperluan pernikahanpun tidak ada.
Syeikh Buthi sangat teringat, ketika ayahnya mengeluarkan beberapa buku
kesayangannya untuk dijual, demi memenuhi keinginan untuk menikahkan anaknya.
Lalu menikahlah Syeikh buthi. Pernikahannya betul-betul mendatangkan banyak
kebaikan dan keberkahan, serta menjadi pengawal kokoh bagi imannya.
Ada satu hal yang membuat Syeikh Ramadhan Buthi begitu gembira, sekaligus
yang membuatnya berterima kasih kepada ayahnya. Yaitu ketika suatu subuh,
setelah pulang dari mesjid ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan, “
Kamu masih tidur! Seharusnya kedatangan “mereka” harus engkau bayar dengan
sujud bersyukur sepanjang malam.”
Mendengar suara ayahnya Syeikh Buthi terjaga, beliau bergegas keluar
bertanya siapa “mereka” yang dimaksudkan ayahnya.
Ayahnya menjawab, “Sesungguhnya aku bermimpi dan melihat Rasulullah bersama
para sahabat mendatangiku dan berkata, “
Sesungguhnya aku datang untuk mengucapkan selamat kepada Sa’id (Syeikh Buthi)
atas perkawinannya.”
Syeikh Buthi mengatakan bahwa itu merupakan kado perkawinannya yang paling
membahagiakan. Kehidupan Syiekh Buthi setelah itu pun selalu diberikan kesenangan
dan kemudahan dalam keluarganya.
Husni Nazir, Lc. 'Langit senja di Jami' Azhar' - Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar |
Jangan takut menikah
Dari sini kita bisa melihat bagaimana Syeikh Mulla sangat tau persis fitnah
yang akan dihadapi oleh seorang pemuda. Khususnya cobaan yang berasal dari wanita.
Usia muda bukanlah usia yang gampang untuk menjalaninya, maka untuk membentengi
anaknya dari fitnah tersebut, maka ia bergegas untuk menikahkannya.
Namun bagi sebagian orang menikah menjadi sangat sulit saat ini, yaitu ketika
kebudayaan dan adat yang ada kadang terlalu dibanggakan meskipun bertentangan
dengan agama. Kurangnya tsiqah dengan pertolongan Allah juga menjadi sebab
lainnya. Bayang-bayang kemiskinan akan sama-sama tergambar ketika kata-kata
nikah disebutkan. Padahal Allah mengatakan:
وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Dan nikahkanlah
orang-orang yang masih membujang di antara mu, dan juga orang-orang yang layak
(menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.(An Nur:32).
Opini mahalnya mahar yang heboh dibicarakan belakangan ini, meskipun tidak diangkat
dengan diangkat dengan bahasa yang serius, cukup memberikan kesimpulan kecil,
bahwa kenyataannya, budaya tersebut memang benar adanya, dan sebenarnya bukan
hanya dipraktekkan di sebagian tempat saja. Tetapi hampir diseluruh tempat
salah kaprah ini memang benar terjadi.
Syeikh Ali As-Sais dalam Tafsir Ayat Al Ahkam mengatakan, “Mahar yang
diberikan oleh suami kepada Istri bukanlah sebagai imbalan, akan tetapi ia
semata-mata hadiah dari Allah. Hal ini terbukti karena bahwa manfaat dari pernikahan itu sendiri sama-sama diperoleh
oleh laki-laki dan perempuan. Jadi tidak ada dalil untuk mengatakan bahwa bahwa
itu adalah imbalan.
Jika ini hakikatnya, maka rendah dan tingginya mahar tidak berbanding lurus
dengan tinggi dan rendahnya martabat si perempuan. Karena ketika kita
mengatakan bahwa mahar adalah hadiah, maka besar dan kecilnya itu tergantung
tingkat kesanggupan si pemberi, yaitu si calon suami.
Meskipun demikian, jika ada yang memasang mahar tinggi, tidak boleh juga
dipandang negatif, kalau memang sanggup tidak masalah, karena itu juga
menunjukkan tingkatan penghormatan si laki-laki kepada calon istrinya.
Yang menjadi masalah adalah ketika kita menjadikan mahar tinggi sebagai
sebuah adat dan kebudayaan. Kesalah
pahaman ini sangatlah zalim. Adakah kezaliman yang lebih besar dari
membujangnya pemuda-pemuda Islam hanya karena orang tua yang menginginkan mahar
yang banyak. Apalagi dizaman sekarang ini, dimana iman para pemuda benar-benar
diuji.
Menikah merupakan kebutuhan primer yang tidak boleh tidak untuk dipenuhi.
Untuk menyikapinya Islam telah memberikan tiga solusi. Solusi pertamanya adalah
dengan menikah, dan apabila tidak sanggup maka islam memberikan solusi lainnya
yaitu dengan bersabar dan puasa.
Jika saja pintu yang pertama telah ditutup rapat dengan adat pemahaman yang
salah, akankah para pemuda mau menempuh jalur kedua dan ketiga? Atau malah
mereka akan mencari jalan alternatif lain, yang dilarang oleh Islam.
Melihat praktek lapangan, kadar iman dan ilmu agama yang pas-pasan serta
cobaan yang sangat kuat, telah memaksa para pemuda beralih kepada jalan alternatif
tersebut, hal ini lain hanya karena pintu yang diridahi Allah telah ditutup
dengan adat pemahaman orang tua yang salah kaprah.
Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab? Wallahua’lam.
Posting Komentar