Mencatat Matruh-Siwa ( Bagian Kedua )
Mencatat
Matruh-Siwa ( Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
October 22, 2013
Sosok Nur
el-Ibrahimy, pelajar AL-Azhar era 40-an dengan pakaian jas klasik seakan
terlihat dengan jelas kemarin di Pantai Ajiba. Produktifitas beliau dalam
berkarya seperti hembusan angin pantai Mediterania, Meu sap… sap, kata seorang
kawan.
Kita jadi terkenang
setelah membaca kisah perjalanan sastrawan Mesir yang menyebut seluruh tanah
Aceh adalah puisi. Paling menarik adalah tentang banyaknya riwayat penamaan
kata Aceh, tentang para kafilah dagang Gujarat yang singgah di salah satu
pantai Aceh, lalu terkesima dengan sebuah pohon dan berteriak; acha.. acha..
Seperti halnya sastrawan besar Mesir Najib Mahfud yang terpesona dengan Khan
Khalili, Akhirnya Khan Khalili sendiri menjadi salah satu magnum opus miliknya.
Butuh waktu sekitar
tiga jam perjalanan dari Marsa Matruh untuk meluncur ke Siwa. Kita menyebut
perjalanan ke Siwa ini sebagai silaturrahmi sejarah dan sastra. Silaturrahmi
yang sangat dekat, bahwa sastra yang dibalut dengan sejarah akan lebih gurih
dan renyah. Siwa yang terletak di bagian paling timur Mesir memang punya nilai
sejarah tinggi.
Musik-musik klasik
tanah Eropa yang kita putar selama perjalanan membawa pada guratan sejarah
Yunani. Bahwa ada bentuk pencarian sejarah yang lebih serius tentang
ketertarikan seseorang dengan kota Athena di Yunani, kota yang menyimpan
sejarah besar para ilmuwan dan intelektual sekaliber Plato, Aristoteles dan
senior mereka Thales. Ada sensasi sejarah yang luar biasa disini.
Tentang sosok Tiro
yang mewakili Aceh berhasil menafsirkan semangat Nietzsche dalam tubuh
kecilnya. Penindasan haruslah dimusnahkan sama seperti pembelaan keluarga
Husein di padang Karbala belasan abad lalu. Dan kita dapati bahwa Siwa merekam
itu semua dengan jelas, di mata airnya yang jernih.
Ribuan tahun
sebelum masehi tanah Siwa adalah laut lepas, alam kemudian berproses, lagi-lagi
kita merasakan bahwa peuneujeut tuhan benar-benar maha indah, bertafakkurlah,
afala ta’qilun, afala tatadabarun, afala tatafakkarun, afala tatazakkarun.
Alquran menggunakan istifham li tanbih, sebagai peringatan agar manusia tak
lupa akan hakikat dirinya.
Ada segmen dimana
Siwa menjadi tempat religi kaum penguasa. Sejarah Iskandar Akbar atau Alexander
The Great misalnya, punya makbad di tanah ini. Segmen dimana tanah Siwa yang
dikelilingi lautan garam, 90 Km dari paras laut, ia pantas disebut sebagai
jazirah malah, memproduksi garam terbaik. Siwa yang menjadi penghasil kurma
terbesar di Mesir, kita merasakan itu saat berjalan di jazirah Fatnas, saat
menguyah kurma seperti halnya mengunyah sejarah Siwa ribuan tahun sebelum
Masehi.
Kita mencoba masuk
ke dalam relung kehidupan Siwa, tentang bahasa Barbar yang jelas berbeda dengan
bahasa Arab, bahasa yang digunakan oleh tetangganya, Libia. Kita tersentuh
dengan kehidupan religi penduduk Siwa yang 100 persen beragama Islam, tak ada
kriminal disini, tak ada kong kalikong politik. Nilai-nilai Islam benar-benar
diekpresikan dengan baik. Lelakinya memakai pakaian khas jubah, wanitanya sangat
terjaga.
Mencatat Siwa
adalah mencatat nilai-nilai kesantunan., tanah Siwa telah ditakdirkan tuhan
sebagai tanah subur. Ada ratusan mata air, ada danau garam, dan oase yang
menjadikan masyarakat Siwa tersenyum penuh santun. Berendam di air belerang menjadikan
kepala dipenuhi ide-ide positif. Kita dingatkan akan penyembuhan tradisional
penyakit rematik dan asam urat orang-orang tua dahulu. Siwa menjadi tempat
produksi kemasan air terbaik, Hayat. Seperti namanya, Siwa benar-benar
merupakan kehidupan, dan masyarkat disini bisa memaknainya dengan sangat elegan.
Makbad Amun menjadi
contoh kepingan sejarah yang sebagiannya telah hancur karena badai. Sang ratu
Cleoptra benar-benar menjamah tanah ini, kita mendapati mata air yang diberi
nama ain Cleoptra. Hati kita berdebar manakala mendengar ulasan seorang
masyarakat Siwa, tentang sejarah negerinya, tentang bunga Zaitun yang mekar,
tentang peran Musa bin Nushair membalut Siwa dalam keislaman yang kental.
Rihlah safari atau
Off Road membuat hentakan musik Michael Learns to Rock menjadi sangat nyata dan
menarik. Tembang-tembang kenangan miliknya Nike Ardila atau Dedi Dores sangat
tersiksa bahkan tak mendapat tempat. Off Road ini kita sebut sebagai bentuk
silaturrahmi nyata antara sastra dan sejarah, dimana sastra padang pasir yang
memikat dengan rasa sejarahnya yang kuat. Kehidupan timur Afrika benar-benar
alami, jauh dari sifat-sifat keiblisan; keangkuhan. Disini kita bahkan tak bisa
lagi mendefenisikan tentang makna politik.
Ketika berada di
tengah padang pasir yang menjadi perbatasan Siwa- Libia, seorang kawan berseru,
“wah… kuburannya Muammar Khadafi tak jauh lagi dari sini..” Ini benar-benar
sangat menarik. Off Road via jeep ke padang pasir dan oase benar-benar
mendebarkan, ada suasana sastra yang begitu anggun ketika matahari tenggelam.
Suguhan teh hangat siwa kemudian menambah kesempurnaan itu.
Akhirnya buah kurma
dan ranumnya Zaitun akan menjadi suguhan mengasyikkan tentang seribu satu kisah
Siwa. Kita menjadi jatuh cinta dengan tanah ini, Islam benar-benar di
ekpresikan dengan baik. Pada suatu waktu, kita harus kembali kesini untuk
menyapa Siwa, belajar bagaimana mengelaborasi rasa santun. Barangkali
keangkuhan yang selama ini menjalar, membuat kita tak bisa lagi tersenyum.
Kalaupun tersenyum akan terasa pahit dan ini sangat bertentangan dengan mata
air Siwa yang jernih dan tawar. Siwa bagi kita adalah tempat untuk belajar
mengolah senyum, bagaimana kita bisa mengekpresikan rasa syukur. Sehingga
sastra dan sejarah tetap akan selalu bersilaturrahmi dengan elegan dan penuh
senyum.
Posting Komentar