Romantika Bu'uts
BU’UTS adalah nama sebuah asrama yang terletak di District Abbasea Cairo, Mesir. Asrama ini dikhususkan untuk menampung semua mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo yang datang dari berbagai belahan dunia untuk menimba ilmu di Mesir. Jaminan beasiswanya berasal dari institusi-institusi Islam Al-Azhar.
Hampir seluruh negara mayoritas berpenduduk muslim telah mengirim utusannya untuk menimba ilmu di universitas tertua itu. Tak ketinggalan, negara-negara nonmuslim pun, seperti Jepang, Amerika Serikat, Prancis, Rusia, dan Inggris juga mengirimkan mahasiswanya untuk menimba ilmu di negeri kinanah itu.
Keistimewaan Universitas Al-Azhar dalam mengajarkan ilmu-ilmu Islam adalah pada posisi netralitasnya yang tetap terjamin. Ia netral dalam menjembatani semua kelompok atau mazhab yang ada dalam Islam. Juga mengajarkan semua ilmu berdasarkan pada keautentikan Islam itu sendiri dan jauh dari unsur-unsur radikalisme. Nilai-nilai inilah yang mendorong beberapa negara Barat mengutus mahasiswanya untuk belajar di bawah naungan bendera Al-Azhar.
Banyak tokoh dan beberapa pimpinan negara dunia adalah mantan penduduk Asrama Bu’uts, seperti mantan presiden Republik Comoro Afrika, mantan presiden Maladewa Samudra Hindia, mantan presiden RI Abdurrahman Wahid, dan banyak lagi tokoh dunia Islam lainnya. Kesemua mereka masih merasakan keterikatan emosional dengan asrama itu. Sebab, selama tinggal dan menuntut ilmu di sana, mereka diperlakukan dengan sangat baik dan mendapatkan semua kebebasan dalam berbagai aktivitas belajar, tanpa ada kungkungan dari pihak mana pun. Sehingga, hal ini menjadi kenangan hidup nan abadi bagi mereka dan sulit terlupakan.
Malah banyak di antara alumni Asrama Bu’uts yang rindu untuk dapat kembali lagi ke asrama itu, walaupun hanya sekadar melihat-lihat lokasi di mana mereka tumbuh dan besar. Di samping untuk menyambangi beberapa pelayan yang kerap membantu mereka dulu. Hal ini, misalnya, pernah dilakukan mantan presiden RI Abdurrahman Wahid dan sejumlah pimpinan negara lainnya.
Di asrama Bu’ust, setiap mahasiswa diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Tanpa ada intervensi dari pihak pengelola asrama. Selama tidak bersentuhan dengan hal-hal politis serta keamanan internal negara setempat. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh positif dalam proses perkembangan pemikiran dan intelegensia para mahasiswanya, karena jauh dari segala bentuk kungkungan serta sanksi fisik yang merugikan.
Namun demikian, Asrama Bu’ust tetap terlarang dan steril dari barang haram narkoba dan sejenisnya. Banyak mata-mata yang ditugaskan pihak pengelola asrama untuk mengawasi masuknya pendatang asing serta barang-barang terlarang lainnya ke dalam lingkungan asrama. Ini semua demi menjaga keamanan serta kenyaman penghuninya. Tidak jarang terjadi, disebabkan oleh kemiripan fisik pada sebagian besar mahasiswa asal Afrika, mereka coba menyelundupkan istri atau karib kerabatnya ke dalam asrama. Namun, aksi tersebut dapat digagalkan. Malah si pelaku mendapat sanksi berat, bahkan ada yang langsung dideportasi ke negara asalnya.
Fenomena Asrama Bu’ust, sungguh sangat berbeda dengan suasana asrama atau madrasah umumnya di Indonesia. Di tempat kita sebagian besar pengelola asrama masih mengandalkan sanksi fisik sebagai ancaman indisipliner. Hal ini tentu saja akan berdampak negatif bagi perkembangan psikologis anak didik. Di samping akan memengaruhi perkembangan pemikiran dan intelegensia mereka kelak saat dewasa.
Sebenarnya, sanksi-sanksi indisipliner bisa saja diganti dengan ganti rugi materi atau pemecatan permanen, sebagaimana berlaku di lingkungan Asrama Bu’ust. Tentu saja jauh lebih baik daripada hanya mengedepankan sanksi fisik yang kelak jelas berakibat buruk bagi perkembangan psikologis anak didik.
Tulisan Tgk. Masykur A Badal, MBA
Pernah menjabat Ketua KMA dan Alumni Al-Azhar Kairo.
Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Citizen Reportase Serambi Indonesia 9 Februari 2012
sumber : http://aceh.tribunnews.com/2012/02/09/merindukan-asrama-buuts-al-azhar
Posting Komentar