Kaca atau Intankah?
"Tahapan dusta yang paling pertama berawal dari keberanian seseoranguntuk melawan dan mendustai dirinya sendiri." (Ibnul Qayyim)
Saudaraku,
semoga detik ini ketaatan kita pada Allah semakin terpacu. Merasakan
betapa mengharu birunya luapan rindu, menjadi hamba pilihan sebagai
seorang muslim. Tinggal kita sajalah yang menambah dan memacu modal
pertama (baca:muslim) agar lebih berkualitas dan tidak selalu menjadi
hamba biasa.
Hati
nurani adalah modal kita semua. Karena sepicik apapun kita, ia tidak
pernah mendustai kebohongan yang mungkin sering dimuntahkan sang mulut.
Ia tersiksa dengan perdebatan logika yang hanya mengedepankan kalkulasi
dunia, yang pada akhirnya diwujudkan dalam tingkah yang entah si pelaku
sadar atau tidak dengan tindakannya. Pada akhirnya, suatu waktu kita
akan bertanya pada diri masing-masing, apa sebenarnya yang sedang kita
lakoni?. Apa sebenarnya yang sedang kita perjuangkan?.
Ibnul
Qayyim berpendapat, bahwa tahapan dusta yang paling pertama berawal
dari keberanian seseorang untuk melawan dan mendustai dirinya sendiri.
Darisana, kedustaan menyebar pada perkataan, kemudian pada perilaku,
kemudian merembet pada anggota badan dan merusak segala perbuatan.
Sensitif
atau kepekaan pada dosa adalah cerminan, kaca atau intankah hati kita.
Terkadang kita sering menutup mata hati dan tidak mau tahu, sehingga
timbul perasaan tidak enak atau takut-takut hanya diawal ketika
melakukan hal yang tidak baik. Semakin dipupuk semakin suburlah rasa
itu. Membuat mata hati rabun, apakah ini suatu kesalahan?, atau wajarkah
jika hal ini saya lakukan?.
Ikhwah
sekalian...Parasahabat mampu merasakan getar-getar kesalahan yang
mereka lakukan dari perubahan hal ihwal istri, anak dan binatang
peliharaan mereka. Sangat burukkah kita, ketika tak mampu merasakan
getaran nurani tatkala ia berbicara "itu salah","tidak wajar saya
melakukan ini" atau "ya, seperti itu lebih baik". Padahal Allah
memberikan kita potensi yang sama, kita dan mereka memiliki satu nurani,
sama-sama manusia, bahkan Allah memberi cobaan yang lebih besar pada
mereka dibanding kita.
Dalam
khilaf, terlalu sering kita memanjakan diri untuk kesalahan-kesalahan
kecil. Berdalih "An-Nas khoto' wan nisyan". Saya sebagai penulis sadar
betul, jika kita bukan malaikat, tapi sering sekali kita menggunakan
barometer yang salah untuk kata ini. Sadar bahwa kita sangat rentan
dengan kesalahan, tapi kita tidak sigap dengan keadaan untuk memperkecil
kemungkinan. Masih saja kurang berhati-hati dengan kekurangan yang
tidak mungkin terlepas dari makhluk bernama manusia. Mungkin sama halnya
ketika kita terkadang menggunakan barometer yang salah terhadap firman
Allah " La yukallifullahu nafsan illa wus'aha". Kita sering
menjadikannya alas an untuk suatu kekurangberuntungan atau dalih untuk
menolak sesuatu bahwa kita bukanlah orang yang tepat. Tapi Ikhwah
sekalian..,para sahabat menjadikan ayat ini sebagai pendorong untuk
melakukan upaya sebesar-besarnya. Mereka memasang tarif
setinggi-tingginya, bukannya melihat dengan kaca mata
serendah-rendahnya.
Merasakan getar-getar kesalahan tak cukup hanya berhenti dengan menyadari. Kata-kata yang sering terlontar "Sudah terlanjur di cap orang, mending
sekalian..". Ukhti..orang yang terjatuh dalam lumpur, tidak ingin
berkubang didalamnya. Secepat kaki kita menarik dan menjauh dari lumpur,
secepat itu pula seharusnya kita lari dari kesalahan. Karena aib,
adalah ketika kita sadar melakukan suatu kekhilafan, tapi kita tidak
ingin bangkit untuk menjadi lebih baik. Malah menjadikan kesalahan itu
sebagai suatu kebanggan. Sekarang pejamkan mata, coba rasakan kembali,
siapa sebenarnya yang menghembuskan bahwa orang lain berpikiran buruk
tentang Anda?. Sadarilah bahwa itu adalah was-wasah syaithan.
Bukankah dengan berpikir buruk seperti itu, kita tetap konsisten dengan
kekhilafan atas dalih "terlanjur jatuh"?. Ya..,syaithan selalu mencari
cara agar kita berkubang dalam kesalahan bersamanya
Sekali
lagi, tak cukup hanya dengan menyadari. Tapi melangkah untuk merubah
dan memperbaiki. Ibarat sampah yang tidak dibersihkan, ia akan berlalat,
bau dan mengundang penyakit baru bagi yang lain. Penyakit itu bisa
berupa lingkungan yang tidak sehat, pandanagn yang tidak baik atau azab
yang merata.
Sampai
disini saya membaca kembali apa yang telah saya tulis. Terbersit
dihati, seolah-olah saya menuduh semua kita sangat bejat, terkesan
kesalahan yang saya singgung adalah kesalahan besar. Sama sekali
tidak!!semua adalah kesalahan-kesalahan kecil yang entah kita sadari
atau tidak. Dosa-dosa kecil yang punya potensi untuk menggunung dan
memburamkan mata hati, menyumbat saluran ilmu, penghalang
nasehat,membuat kita stroke dengan kebaikan, berat dan kaku bergerak
dalam ketaatan.
Naudzubillah,
ketika nurani kita terlalu lemah untuk mendeteksi aib dan kekurangan
diri. Sehingga mata melihat suatu kehinaan sebagai kemuliaan, menabung
kedurhakaan tapi merasa menabung ketaatan, kedurhakaan dianggap
kebanggaan.
Allah berfirman :
" Katakan (Muhammad), "Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?,Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya".(Q.S. Al-Kahfi 103-104)
Saudaraku..
Mari
kuatkan tekad untuk selalu mempersembahkan yang terbaik bagi Rabb yang
tak bosan memperhatikan dan melimpahkan rizki dalam kubangan dosa yang
tak henti kita lakukan. Padahal demi Allah!!Allah tidak butuh pada
ketaatan yang kita lakukan.
Mengimbangi
segunung kealfaan kita dengan kebaikan yang mungkin tak seberapa.
Mengimbangi abad-abad tidur kita dengan detik-detik perjumpaan
dipenghujungnya. Mengukur segudang tawa kita dengan sebait dzikir.
Seorang guru mengingatkan saya, ,bahwa Allah tidak membubuhkan kata-kata
"kastira" dalam perintah ubudiah melainkan dalm perintah
dzikir. "Wazdkurullaha kastira". Karena kita memang sering
lupa!!ya..sangat sering…sekali lupa.
Usahlah engkau persalahkan kakimu, andainya rebah di bumimu sendiri.
Mungkinkah ada kesilapan semalam, lafazkanlah sejujur hati.
Hanya jiwa tulus mengerti, kemanisan nawaitu hati.
Ketenangan dalam mencari, keredhaan dari Mu, Tuhanku. (Rabbani)
Oleh: Siti Ruhayya binti Maddin
Penulis, Alumni Universitas Al-Azhar Mesir, berdomisili di Aceh
Posting Komentar