Di Pangkuan Bidadari (Bagian 1)
Oleh; Tarian Langit
[buletin el-Asyi Edisi 112]
"Razzak, kuburlah
jasadku bersama panglima Allah di negeri ini. Aku mohon kepadamu sampaikan
surat ini kepada calon istriku Aya Khumaisa. Nikahilah dia, karena engkaulah
yang pantas menjadi pendamping hidupnya.
Aku akan menanti kalian berbahagia di dunia ini, dan biarkan Aku bahagia
bersama para mujahid Allah di alam sana".
***
Pagi itu Aku sangat bahagia, rasa
syukur atas nikmat Allah terus ku ucapkan dalam benak hatiku, karena Aku merasa
Allah begitu sayang kepadaku. Bagaimana
tidak, Aku termasuk seorang dari beberapa calon mahasiswa yang akan mendapatkan
beasiswa kuliah di negeri jiran Malaysia.
Seperti cita-citaku sejak kecil,
Aku akan mantapkan niat untuk belajar di Universitas Malaysia, jurusan kedokteran.
Jika Aku bisa memutar kembali skenario Allah ke belakang, maka
ayahku pasti sangat bangga dengan prestasi yang telah Aku dapatkan sekarang
ini.
''Ah...mengapa harus
berandai-andai, bukankan berandai-andai itu perkataan setan.'' Aku jadi
teringat betapa besarnya peran seorang ayah dalam kesuksesanku saat ini.
Ketika Aku masih duduk di bangku
SD, Aku sangat sering mendengar ayah memberikan nasehat dan semangat untukku.
Ayah sering bertanya kepadaku.
"Asyraf jika besar nanti mau
jadi apa?". Tanya ayah.
"Asyraf mau jadi dokter yah". Jawabku polos.
''Kalau mau jadi dokter, Asyraf
tidak boleh bermalas-malasan, karena seorang dokter itu hanya untuk mereka yang
belajar dengan giat bukan dengan malas-malasan". Ucapan manja seorang ayah
kepada anaknya.
"Ia yah, Asyraf akan belajar
dengan rajin agar Asyraf bisa jadi dokter, dan bisa obati ibu dan ayah
Asyraf". Jawabanku ketika itu.
Tapi sayangnya, hanya tiga tahun
ayah bisa membangun motivasi dan semangat belajarku. Ketika aku berumur
sembilan tahun beliau meninggal. Masyarakat sangat terpukul dengan meninggalnya
ayahku, mengingat beliau satu-satunya teungku di pemukiman kami, beliau
juga sangat berpengaruh dalam masyarakat.
"Ya Allah ampunilah dosa
hamba dan dosa kedua orang tua hamba, sayangilah mereka sebagaimana mereka
menyayangiku sejak kecil hingga dewasa ". Doaku dalam kalbu.
"Woooi... kok bengong, orang-orang pada bahagia tu. Ente malah
bengong di sini, mikirin apa sih?'' Razzak membuyarkan semua kenangan-kenangan
indahku bersama sang ayah. Aku hanya membalas dengan sebuah senyuman.
"Jadi ente serius mau ambil
jurusan kedokteran?", tanya Razzak dengan nada lebih serius.
"Ya dong." Balasku
simpel.
"Jawabnya kasih alasan dulu kek,
biar yang nanya puas." Timbalnya lagi kesal.
"Yaaaah ente..alasannya masih
sama kayak dulu di SMA, mau jadi penolong manusia dengan mengobati siapa saja
tanpa kupungut biaya, terutama orang fakir dan miskin." Balasku.
"Ente yakin?" Tanyanya
lagi.
"Ya donk.. Ane yakin.
Ane akan belajar untuk menolong ummat."
Seperti firman Allah dalam surat
Yasin.
“Wah.. Syukurlah.. Makasi atas
ilmu Ust. Asyraf hari ini." Lengkurnya.
"Kita sama-sama belajar Sob."
Balasku.
***
Selesai shalat subuh Aku langsung
siap-siap untuk berangkat ke Malaysia. Semua proses pemberangkatan ditanggung oleh
Badan Beasiswa bagi siswa berprestasi dari negeri jiran.
Kulirik jam tanganku 06:20 wib.
Dua koper baju dan barang keperluan yang lain sudah ibuku siapkan sejak
semalam, sekarang tinggal berpamitan dengan sanak saudara.
Pagi itu rumahku dipenuhi seluruh
keluarga besar, setelah semuanya lengkap Aku menyalami dan meminta kepada
mereka untuk mendoakanku.
Semua senyuman yang menghampiriku
bangaikan suntikan semangat yang menggebu-gebu. Senyuman itu penuh dengan
harapan sebuah kesuksesan untukku.
Target jam Sembilan harus sampai
ke bandara, jadi kami berangkat dari rumah sekitar jam tujuh pagi. Dikarenakan
letak rumah yang begitu jauh dari bandara Sultan Iskandar Muda (SIM).
"Yuukk...brangkat! Gak ada barang yang tertinggal kan
..?" Tanya pak sopir labi-labi.
"Yuk, udah siap semua
barangnya pak, semua udah masuk ke
mobil." Jawabku.
Mobil mulai berjalan. Kulirik ke
belakang, atap rumahku tak terlihat lagi. Jangankan atap rumah, kampung
halamanku saja sudah semakin nampak mengecil.
Aku tidak pernah ke daerah Blang Bintang, jadi Aku memang sama sekali belum tau di mana
letak bandara Sultan Iskandar Muda, namun Aku tau posisi mobil sekarang tepat
di pasar Lambaro.
"Ah...mudah-mudahan cepat sampai ke bandara." Ucapku dalam
hati.
Rasa penasaran akan bandara sirna
seketika. Ketika aku melihat ada sebuah pintu gerbang besar yang berdiri kokoh
bertuliskan "SELAMAT DATANG DI BANDARA SULTAN ISKANDAR MUDA".
"Alhamdulillah akhirnya sampai
juga di tempat tujuan."
Ternyata sampai di sana
teman-teman lain sudah lama menunggu kedatanganku.
"Emm sudah lama nunggu ya?'' Tanyaku memulai pembicaraan.
''Ya ni, hampir berakar nungguin
ente," Jawab Zul sambil bercanda.
"Oohh...ya sudah. Ane minta
maaf kalo sudah buat kalian lama
menunggu. Kalian tau sendiri kan, kampungku jauh banget dengan bandara." Balasku sedikit tersenyum.
"Takkan kami maafkan."
Jawab Zul lagi sambil cengengesan ala Kuda Niel.
"Mana ada lama, Zul aja baru nyampe tu." Timpal Muna
yang juga mau berangkat ke Malaysia.
"Tukan ketauan bohong si Zul."
Balasku lagi sambil meyenggol bahunya dengan bahuku.
“Teman-teman kita chek-in yuk, katanya jam 11.00 kita akan take-off jadi mulai sekarang sudah bisa chek-in." Kata Razzak yang merubah suasana menjadi sedikit serius.
Bersambung...
Posting Komentar